Independensi Lembaga Riset
Peleburan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ke BRIN menjadi pertaruhan soal masa depan riset. Perpres No 78/2021 tentang BRIN justru memperlihatkan tiga karakter dominan, yakni birokratisasi, sentralisasi, dan kendali.
Peleburan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ke BRIN tidak hanya melahirkan kontroversi publik, tetapi juga menjadi pertaruhan soal masa depan riset.
Pasalnya, mandat Perpres No 78/2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) justru memperlihatkan tiga karakter dominan, yakni birokratisasi, sentralisasi dan kendali, dibandingkan upaya mengembangkan dan menguatkan kelembagaan riset.
Secara formal, ketentuan Pasal 3 Perpres menyatakan, BRIN mempunyai tugas membantu Presiden menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan secara nasional yang terintegrasi, serta melakukan monitoring, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Masalahnya, apakah ketentuan formal yang demikian relevan untuk mengembangkan budaya riset, menciptakan iklim riset untuk produksi pengetahuan, dan meneguhkan hal paling mendasar dalam kebebasan akademik, yakni independensi institusi akademik?
Jawabannya, tak cukup mengandalkan bunyi pasal (formal legisme), tetapi perlu dan bijak menjejaki dinamika riset dan tata kelolanya selama ini. Terlebih, dunia ilmu pengetahuan tak pernah lepas dengan konteks politik ekonomi yang memengaruhi.
Terlebih, dunia ilmu pengetahuan tak pernah lepas dengan konteks politik ekonomi yang memengaruhi.
Birokratisasi
Hukum yang dilahirkan bukan ”turun dari langit”. Ia merupakan proses politik yang menjembatani kepentingan-kepentingan dominan. Tata kelola riset, termasuk formalisasi ketentuan di perpres, harus pula dibaca sebagai proses politik yang sedang bekerja, yakni arah atau orientasi politik riset.
Orientasi politik riset hal yang jamak terjadi di suatu negara. Penyelenggara kekuasaan pun menghendaki dukungan atau legitimasi sains untuk memandu kebijakannya. Namun, dalam konteks politik kemunduran demokrasi, sebagaimana dituliskan pemikir sosial politik (Hadiz 2017; Warburton, Aspinall 2019; Aspinall, Fossati, Muhtadi & Warburton, 2020; dan Wijayanto et al 2021), publik (tak terkecuali ilmuwan) pun jadi khawatir atas perkembangan politik riset ini.
Ancaman birokratisasi jadi dimungkinkan ketika melemahnya kualitas demokrasi justru kian memberi jalan kuasa otoritarianisme bentuk baru yang memanfaatkan demokrasi. Diskursusnya tampak progresif, tetapi instrumentasinya justru regresif. Keinginan BRIN menata rasio pendanaan yang besar bagi swasta, upaya memastikan pegawai honorer diubah jadi ”alih daya”, atau diakomodasi sebagai ASN, justru melahirkan relasi kuasa timpang yang berujung dua hal: pendisiplinan dan penundukan ilmuwan.
Baca juga : Paradigma BRIN dalam Lintasan Pembangunan Iptek
Pembelajaran soal birokratisasi ilmu pengetahuan dan kelembagaannya pernah terjadi di masa lalu. Dalam bukunya The Floracrats: State-Sponsored Science and the Failure of the Enlightenment in Indonesia, Andrew Goss (2011) menceritakan bagaimana birokrasi membuat para ahli flora di Indonesia justru gagal berkembang dan menjadikan ilmuwan ”floracrats”.
Birokratisasi pelembagaan riset dengan pendekatan institusionalisme BRIN, terlebih dalam kebijakannya tanpa jeda dan transisi yang memadai, kecenderungannya akan berpusat pada urusan ”gedung, pegawai, dan nomenklatur anggaran”. Logikanya efisiensi dalam perangkap neoliberalisme (proyek swasta, produk, tenaga alih daya, komersialisasi), bukan mendorong iklim dan tradisi riset yang memberi ruang otonomi dan kebebasan bagi ilmuwannya.
Perkuat independensi?
Dalam situasi sekarang, apa yang mungkin dilakukan? Lembaga Eijkman bersama lembaga riset lain telanjur dileburkan. Pegawai tak sedikit dihentikan hubungan ketenagakerjaannya.
ALMI mengingatkan agar pemerintah bersedia memikirkan upaya penguatan ekosistem riset guna pengembangan sains dan teknologi unggul, bermanfaat, dan berkelanjutan di Indonesia. Kerangka regulasinya perlu mendukung riset independen, lintas disiplin, dan kolaboratif. Sistem dan tata kelola kelembagaan riset diupayakan dengan pendekatan plural. Artinya, memiliki ruang untuk memelihara kemandirian dan keunikannya, bahkan menjaga independensinya sebagai bagian sistem ketatanegaraan.
BRIN adalah lembaga pemerintah, di bawah kekuasaan eksekutif. Masalahnya, BRIN juga mengintegrasikan peneliti dan kelembagaan riset di bawah organ kekuasaan penyeimbang lain (legislatif dan yudisial), seperti peneliti di bawah DPR, MA, ataupun MK.
Independensinya harus ditafsir menjaga konstitusionalitas relasi kuasa ketatanegaraannya. Komnas HAM sebagai lembaga negara penunjang (state auxiliary body) dan independen, misalnya, bekerja berdasarkan mandat UU No 39/1999 (vide: Pasal 76 juncto Pasal 89 Ayat 1) memiliki tugas, fungsi, dan kewenangan yang berbeda dengan BRIN.
Prinsip independensi kelembagaan Komnas HAM yang diintegrasikan ke BRIN tak hanya bertentangan dengan aturan di atasnya, tetapi juga dengan Prinsip-prinsip Paris (1993) berkenaan Status dan Fungsi Lembaga Nasional untuk Melindungi dan Memajukan Hak-hak Asasi Manusia dan Prinsip-prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik (2017).
Prinsip itu menegaskan, insan akademik harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan. Negara harus hadir mencegah dan menghindari upaya teknokratisme pengetahuan. Prasyarat untuk pembaruan menuju penguatan iklim pengembangan riset itu menegaskan posisi negara untuk tidak menjadikan lembaga riset, universitas, dan pendidikan tinggi sebagai institusi korporatisme negara (state corporatism).
Roh dan tradisi kebebasan akademik perlu proses panjang menumbuhkannya.
Roh dan tradisi kebebasan akademik perlu proses panjang menumbuhkannya. Kita semua patut khawatir, konsekuensi dari korporatisme negara adalah tunduk pada kepentingan politik kekuasaan dan pasar, yang justru bertentangan dengan tujuan mulia pendidikan di Pembukaan UUD 1945 sebagai pencerdasan kehidupan bangsa.
Penumbuhan roh dan tradisi ini butuh keberanian, bukan dikerdilkan jadi soal kepatuhan pada aturan dan meyakini kepastian hukumnya, melainkan sebaliknya, membutuhkan lahirnya kepemimpinan ilmuwan yang memiliki visi tak terbelenggu regulasi atau aturan sebagai produk politik kepentingan.
Peleburan lembaga riset yang justru membatasi atau bahkan membelenggu para ilmuwannya sebaiknya dihentikan dan diberikan jalan keluar yang mengadaptasi relasi yang lebih mencerminkan jaminan perlindungan kebebasan akademik dan penguatan independensi kelembagaan riset itu sendiri.
Herlambang P Wiratraman, Dosen FH UGM dan Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI)