Kalau buruh harus berjuang keras untuk kenaikan upah yang tidak seberapa, anggota DPRD DKI Jakarta cukup menaikkan tunjangan untuk diri sendiri, melalui pembahasan dengan Pemerintah DKI.
Oleh
Sri Handoko
·3 menit baca
Dulu saya pernah tinggal di DKI Jakarta dan ber-KTP DKI Jakarta. Jadi, meskipun sekarang sudah pindah alamat di Jawa Tengah, saya masih tergelitik kalau ada berita tentang DKI yang perlu direnungkan.
Membaca Kompas (10 dan 11 Januari 2022) serta berita di media daring tentang kenaikan tunjangan anggota DPRD DKI, saya sungguh prihatin. Membandingkan kenaikan tunjangan anggota DPRD DKI dengan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) buruh di DKI membuat terenyak. Alangkah kontradiktifnya.
Saat memperjuangkan kenaikan upah minimum, kaum buruh harus berpeluh-peluh. Mengeluarkan segala daya, energi, waktu, dan biaya dengan segala risikonya untuk demo berhari-hari. Bersyukur Gubernur DKI lantas merevisi kenaikan upah tersebut. Naik 5,1 persen, dari semula Rp 4.416.186 menjadi Rp 4.641.854 per bulan.
Namun, yang menjadi sorotan, kalau buruh harus berjuang keras untuk kenaikan upah yang tidak seberapa, anggota DPRD cukup menaikkan tunjangan untuk diri sendiri, melalui pembahasan dengan Pemerintah DKI.
Hasil pembahasan berupa evaluasi dan rekomendasi itu kemudian diputuskan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kompas, 10/1/2022, halaman 12). Maka naiklah tunjangan perumahan anggota DPRD Rp 10 juta belum dipotong pajak. Ini masih ditambah tunjangan lain, seperti tunjangan komunikasi intensif.
Buruh harus mati-matian mengusahakan kenaikan upah minimum melalui musyawarah, bipartit, tripartit, sampai akhirnya demo. Sementara anggota DPRD merasa wajar saja menaikkan tunjangan dirinya.
”Kami juga tidak sembarang menaikkan. Ekonomi sudah membaik, APBD juga membaik. Tunjangan kami sudah 3-4 tahun tidak naik,” kata Wakil Ketua DPRD DKI (Kompas, 11/1/2022, halaman 12).
Sri Handoko
Tugurejo, Semarang
"Matinya Masyarakat Ilmiah"
Baguslah, Desk Opini telah meloloskan tulisan ”Matinya Masyarakat Ilmiah” (Kompas, 7/1/2022).
Prof Sulistyowati Irianto dalam tulisannya itu mengatakan, ”Umumnya mereka, masyarakat ilmiah, menjadi bagian silent majority.”
The silent majority ialah ”Mayoritas Tutup Mulut” (MTM), ”Sluman, slumun, slamet,” kata wong Jowo.
Kata Shineho Panza di ”Don Quixote de La Mancha”, ”Mulut yang tertutup rapat tidak kemasukan lalat.”
L Wilardjo
Guru Besar (Em) Fisika, Klaseman, Salatiga
Rekam Jejak
Awal tahun 2022, persiapan pemimpin daerah ataupun organisasi menghadapi pilkada serentak dan Pilpres 2024 makin terasa.
Yang sudah kita lihat antara lain pemasangan baliho di berbagai tempat strategis. Penggerakan mesin politik (partai) pun mulai masif. Upaya mengenalkan diri menjadi penting karena pemilihan langsung (one man one vote).
Berbagai lembaga survei memublikasikan persentase tingkat kepercayaan masyarakat. Maka, upaya saling menyalip untuk meraih posisi sudah pasti terjadi. Namun, ada yang lebih terukur dan terbaca publik, yaitu rekam jejak.
Rakyat sekarang sudah bisa menilai kemampuan dan kredibilitas seseorang, apalagi jika pernah memimpin di suatu daerah/wilayah. Kalau berhasil akan mendapat jempol, kalau gagal—apalagi korupsi—akan ada konsekuensi dan bahkan berhadapan langsung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rekam jejak kepemimpinan menjadi indikator yang bisa dipercaya oleh rakyat.
Contoh konkret rekam jejak yang baik adalah perjalanan karier Presiden Joko Widodo. Dari saat menjadi tukang kayu, menjabat Wali Kota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta, hingga akhirnya Presiden Republik Indonesia dua periode.