Membelokkan narasi ke arah hak asasi manusia seringkali menjadi cara untuk penguatan argumen dari aktivitas gerakan ekstrem. Namun negara punya kewenangan dan legitimasi dalam membatasi hak asasi ini.
Oleh
ARINDRA KARAMOY
·4 menit baca
Mengutip Kompas.id (29/12/2021) dalam artikel Radikalisasi Melalui Internet Semakin Menguat, bahwa sejak Januari hingga Desember 2021 lebih dari 600 situs atau akun yang berpotensi radikal telah diidentifikasi Badan Nasional Penanggulangan Teorisme (BNPT) untuk kemudian dihapus melalui kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Situs yang dihapus itu berisi konten propaganda dengan rincian informasi serangan (409), anti-Negara Kesatuan Republik Indonesia (147), anti-Pancasila (85), intoleran (7), dan takfiri (2). Selain itu, juga terdapat konten mengenai pendanaan dan pelatihan terorisme.
Pada tahun 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun merilis keterangan pers tentang pemblokiran konten internet yang memuat radikalisme dan terorisme sebanyak 11.803 konten mulai dari tahun 2009 sampai tahun 2019. Konten-konten tersebut ada di berbagai platform, seperti Youtube, Twitter, Instagram, Facebook, ataupun Telegram.
Penutupan situs-situs media pers dan akun media sosial itu menimbulkan pro dan kontra. Masing-masing dengan alasan tersendiri. Bagi yang pro, misalnya, menyebutkan bahwa pemblokiran itu sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permen Kominfo) Nomor 19 Tahun 2014 yang menyediakan payung hukum untuk menutup akses terhadap situs internet bermuatan negatif dan meresahkan masyarakat. Sesuai aturan tersebut, konten yang bisa dilaporkan dan dapat diblokir adalah menyangkut privasi, pornografi anak, kekerasan, suku, agama, ras, dan antargolongan.
Sementara pihak yang kontra, misalnya, berpendapat bahwa tidak ada definisi jelas mengenai ”situs radikal”. Lalu ada juga yang membawanya ke ranah pelanggaran hak asasi manusia karena menganggap bahwa berpendapat dan mendapatkan informasi adalah bagian dari hak asasi manusia.
Melihat uraian di atas, maka, persis di sini persoalannya, bahwa hak asasi manusia sering kali mengalami tegangan dalam perspektif kelompok yang disebut ”radikal” dengan negara. Bagaimana refleksi terhadap tegangan ini, khususnya dari sisi hak asasi manusia?
Kebebasan dan hak
Menurut Franz Magnis Suseno dalam bukunya, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan oleh masyarakat, melainkan karena ia manusia. Hak-hak asasi manusia merupakan rincian operasional dalam menghormati martabat manusia. Dengan martabat manusia dimaksud bahwa manusia, berbeda dengan organisme lain, merupakan nilai pada dirinya sendiri.
Hak asasi manusia ini juga diakui secara universal. Artinya, semua manusia memiliki hak asasi yang sama, tanpa terkecuali. Perserikatan Bangsa-Bangsa pun sudah mengakuinya secara terang benderang.
Hak mengenai kebebasan-kebebasan sudah ditentukan dalam rumusan HAM sejak awal. Misalnya saja, hak untuk bebas dari penangkapan sewenang-wenang, kebebasan beragama, kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan berkumpul dan berserikat, serta kebebasan mendapatkan informasi. Hak-hak tersebut adalah sebagian dari hak-hak generasi pertama dari perjuangan hak asasi manusia.
Lalu, di mana posisi negara terhadap hak-hak asasi manusia? Di Indonesia, tentang hak-hak asasi manusia sudah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 bab 10A. Negara tentu wajib untuk melindungi hak-hak asasi manusia, baik warga negaranya maupun warga negara asing yang berada dalam teritorinya.
Romo Magnis menambahkan, kebanyakan hak asasi manusia dalam kondisi situasi tertentu dapat saja dibatasi.
Di sisi lain, negara juga memiliki kemampuan untuk membatasi hak asasi manusia. Romo Magnis menambahkan, kebanyakan hak asasi manusia dalam kondisi situasi tertentu dapat saja dibatasi. Misalnya, hak atas kebebasan mengungkapkan pendapat—terkait dengan pers—boleh saja dibatasi jika terindikasi adanya ancaman yang dapat membahayakan masyarakat.
Akun media sosial memang bukan pers, tetapi mereka bekerja dalam ruang publik yang sama. Malah konten akun media sosial cenderung lebih ”liar” karena tidak memiliki penanggung jawab redaksi seperti pers. Hal yang perlu dipahami, pembatasan suatu hak asasi manusia hanya sah jika berdasarkan ketentuan dalam undang-undang dasar, dan disetujui oleh wakil rakyat serta berlaku hanya sementara waktu.
Sebagai manusia dan juga sebagai warga negara, para pemilik media dan akun yang ditutup oleh pemerintah, memiliki hak asasi terutama dalam hal untuk berpendapat. Mereka memiliki hak untuk menuliskan pendapatnya atau apapun pemikirannya dalam situs yang mereka kelola.
Hak tersebut bahkan juga tertulis dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan, dalam Pasal 28 F dijelaskan bahwa: ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Artinya, masyarakat luas pun—sebagai pembaca situs dan follower akun—memiliki hak untuk mendapatkan berita atau informasi yang valid, terutama di dalam negara demokrasi. Valid perlu digarisbawahi. Valid dalam artian informasi-informasi yang berimbang, bukan hanya berdasarkan informasi tanpa kelengkapan data-data sahih dan interpretasi keagamaan sempit. Oleh karena itu, pembaca pun memiliki hak untuk jauh dari propaganda dengan narasi atau pesan yang dapat menghasut dan memecah belah.
Para pemilik situs atau akun berhak untuk berpendapat, tetapi yang perlu disadari adalah negara punya kewenangan dan legitimasi dalam pembatasan hak asasi. Jika kebebasan berpendapat dianggap berpotensi merugikan atau menimbulkan keresahan, bahkan mencelakakan masyarakat luas, negara memiliki otoritas untuk bertindak.
Membelokkan narasi ke arah hak asasi manusia sering kali menjadi cara untuk penguatan argumen dari aktivitas gerakan ekstrem. Oleh karena itu, pentingnya pemangku kebijakan terkait isu radikalisme ini memiliki kecakapan tentang bagaimana hak asasi manusia bekerja.
Arindra Karamoy, Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara; Alumni Kajian Intelijen Strategis Universitas Indonesia