Arsitektur Kesehatan Global dalam Perspektif Politik Internasional
Tulisan singkat ini ingin memotret arsitek kesehatan global dari kacamata politik internasional. Ingin menjelajah lebih jauh mencari jawab apa saja yang perlu dilakukan untuk mengkonstruksi arsitektur kesehatan dunia.
Dalam literatur konvensional, masalah kesehatan masih dianggap sebagai persoalan "low politics", sehingga dianggap kurang signifikan untuk diurus oleh negara.
Kalau yang dimaksud adalah masalah kesehatan “pada umumnya”, masih patutlah untuk dianggap sebagai isu low politics.
Akan tetapi, kalau yang kita bicarakan adalah pandemi Covid-19 —yang hingga Desember 2021 telah merenggut nyawa lebih dari lima juta jiwa di seluruh dunia dan di Indonesia tercatat korban sejumlah 150.000-an lebih— maka memosisikan kesehatan sebagai persoalan low politics sungguh sangat naif.
Virus Covid-19 yang terus bermutasi hingga sampai galur Omicron dan varian-varian lainnya, memang belum pernah terjadi dalam sejarah dunia, kecuali Flu Spanyol yang terjadi lebih dari seabad yang lalu. Sama ganasnya, sama globalnya, tetapi situasi dan kondisi pendukungnya sangat berbeda.
Sebagai bagian pendukung dari diplomasi kesehatan yang kali ini sedang digencarkan oleh Indonesia terkait dengan presidensi G-20 tahun 2022, tulisan singkat ini ingin memotret arsitek kesehatan global dari kacamata politik internasional. Ingin menjelajah lebih jauh mencari jawaban apa saja yang perlu dilakukan untuk mengkonstruksi arsitektur kesehatan dunia berdasarkan perspektif politik internasional?
Mengapa arsitektur kesehatan global harus dilihat sebagai isu politik internasional?
Epistemologi krisis
Mengapa arsitektur kesehatan global harus dilihat sebagai isu politik internasional? Karena hal ini berkait dengan pandemi Covid-19 yang telah merenggut lebih dari lima juta jiwa, mengakibatkan lebih dari 100 juta orang menjadi miskin, lebih dari 800 juta penduduk di seluruh dunia mengalami kelaparan.
Mengonstruksi arsitektur kesehatan global dari perspektif politik internasional menuntut semua negara di dunia ikut melakukan gerakan bersama dalam menanggulangi krisis kesehatan ini. Politik Internasional memosisikan persoalan arsitektur kesehatan global untuk menghadapi pandemi Covid-19 (maupun pandemi lain di masa depan) sebagai isu high politics agar semua negara menghadapinya secara bersama-sama.
Kredo “Recover Together, Recover Stronger” dalam presidensi G-20 sangat tepat, tetapi harus didukung dengan sosialisasi akademik yang menawarkan perspektif kritis yang baru ini, yang memosisikan human security sebagai traditional security supaya semua negara bertanggung jawab bersama, karena pandemi Covid-19 mengancam keselamatan manusia secara global dan simultan.
Baca juga : Indonesia Usung Misi "Recover Together, Recover Stronger"
Ancaman global
Menganggap Covid-19 sebagai ancaman global menjadikan isu arsitektur kesehatan global sebagai isu strategis dalam politik internasional.
Menghadapi ancaman pandemi ternyata tak lebih mudah daripada menghadapi ancaman perang nuklir. Virus korona, varian Delta, varian Omicron dan segenap turunannya tidak pandang bulu. Manusia manapun, baik yang komunis maupun kapitalis liberal, semuanya berpotensi menjadi korban.
Hampir dua tahun ekonomi global terjebak dalam fobia global, ribuan penerbangan internasional dihentikan, pabrik -pabrik, toko, restoran ataupun kerumunan menjadi alergi sosial yang mencekam. Isu kesehatan yang semula hanya meru -pakan isu biasa langsung memaksa orang, di seluruh dunia, untuk taat protokol kesehatan yang kedengaran sederhana tetapi sangat melelahkan. Korona muncul sebagai panglima global dalam rezim "koronokrasi" yang totaliter tanpa kompromi terhadap pasar.
Memang tidak semua orang percaya bahwa virus itu benar-benar telah mencekam dunia. Banyak orang yang menganggap peristiwa itu sebagai konspirasi para pihak yang mendapatkan keuntungan dari kepanikan global tersebut. Dalam arsitektur kesehatan global, kelompok orang semacam ini harus diyakinkan bahwa keberadaan mereka, dengan cara hidup mereka, mengancam kehidupan orang lain dan mengancam diri mereka sendiri.
Didie SW
Jumlah mereka tidak banyak, tetapi penanganan pandemi memerlukan ketegasan komando global yang eksistensial, yang tak kenal kompromi, yang berpola pre-emptif, yang berupaya menihilkan semua halangan, karena sifat pandemi memang tanpa ampun. Yang percaya maupun yang tidak percaya, semuanya bisa menjadi mangsanya.
Suprastruktur arsitektur kesehatan global
Kalau persoalan epistemologi dan penanganan pro-anti konspirasi sebagai bagian dari suprastruktur yang harus dikelola lebih dulu dalam arsitektur kesehatan global, bentuk riil suprastrukturnya adalah multilateralisme penanganan pandemi secara serentak.
Keselamatan manusia harus menjadi prioritas tujuan masyarakat dunia. Harus percaya seratus persen bahwa pandemi Covid-19 hanya “melahap” manusia, tidak menyerang hewan, tanaman maupun bangunan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), COVAX(Covid-19 Vaccine Global Acces), dan GAVI (Global Alliance for Vaccine and Immunization) dan sejenisnya merupakan suprastruktur yang harus bervisi global untuk kemanusiaan. Karena pandemi termasuk sebagai bencana yang tak bisa diprediksi maka lembaga penjamin mitigasi dan penanganan semacam asuransi kesehatan global menjadi sangat diperlukan.
Sayang rencana pembentukan Global Health Fund di bawah G20 Join Finance Task Force yang memerlukan dana sekitar 15 miliar dollar AS per tahun tidak disepakati oleh banyak negara anggota.
Kalau global health insurance (asuransi kesehatan global) dianggap riskan bisa saja dimulai dengan Intercontinetal Health Fund, yang pengelolaannya berbasis benua. Ada di Afrika, Asia, Eropa, Amerika maupun Australia. Mengapa tidak?
Tulus Warsito Guru Besar Politik Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta