Usia dan Gejala Kelumpuhan Musikal
Usia 30 menjadi titik pemberhentian dalam mengeksplorasi jenis-jenis musik baru, selain karena kesibukan juga karena melemahnya kadar persepsi musikal. Ini diperparah dengan filter bubble yang terjadi di dunia digital.

Supriyanto
Beberapa teman berkisah tentang kemunduran selera musiknya. Lima tahun terakhir, bahkan mungkin lebih jauh lagi, mereka kesulitan mencari karya musik baru yang sesuai dengan selera, terutama di media digital semacam YouTube. Akibatnya, di kolom pencarian, mereka selalu memasukkan judul musik yang hanya disukai, dan karya itu yang saban hari didengar.
Beberapa kali mereka berniat mencari karya musik baru untuk menambah referensi, dengan memasukkan kata kunci penyerta ”terbaru”. Namun, yang keluar justru musik serupa atau sejenis dengan seleranya.
Saya meyakini algoritma digital menuntun mereka untuk selalu berkubang pada lubang yang sama sehingga pilihan-pilihan yang diberikan selalu monoton. Terlepas dari bagaimana algoritma mengendalikan atau bahkan mengontrol jenis musik yang mereka sukai, tetapi ada faktor lain yang saya kira patut untuk dipertimbangkan, yakni paralisis musikal, di mana selera musik kita akan berhenti pada rentang usia tertentu.
Baca Juga: Problematika Musik Indonesia Mutakhir
Gelembung saring
Sejatinya musik baru senantiasa muncul, tetapi kehadirannya selalu menjadi eksklusif. Dengan kata lain, adanya algoritma digital memungkinkan karya itu tidak dapat tersentuh oleh publik sepenuhnya. Filter bubble atau gelembung saringan adalah efek dari algoritma yang memungkinkan manusia hari ini hanya bersentuhan dengan apa-apa yang disukai saja (Eli Pariser, 2011).
Tidak terkecuali musik. Karya-karya musik terbaru hanya akan masuk pada lubang (gelembung saring) yang memiliki kedekatan dengannya, baik jenis, karakter bunyi, dan gaya musikal. Akibatnya, pada sebagian orang akan merasa bahwa musik mengalami kemandekan kekaryaan karena akses mendapatkan musik baru itu tidak pernah ditampilkan di linimasa media sosialnya.
Karya-karya musik terbaru hanya akan masuk pada lubang (gelembung saring) yang memiliki kedekatan dengannya, baik jenis, karakter bunyi, dan gaya musikal.
Musik terpolarisasi, atau terkotak-kotakkan, berdasar klasifikasi yang dibuat secara virtual. Kerja algoritma itu terjadi gegara jejak ”klik” yang kita tinggalkan, kemudian dianalisis, dan diambil kesimpulan tentang apa-apa yang menjadi minat kita.
Bagi generasi milenial, nasibnya cenderung beruntung. Kebutuhan akan asupan karya baru dapat terpenuhi karena selera mereka dibangun berdasar atas perkembangan industri musik terkini, sehingga karya baru yang mengedepankan tampilan atau wajah kekinian mengalir menjadi notifikasi (update) di jagat media sosial mereka.
Sementara sayangnya, bagi orang-orang yang lebih tua, gejala serupa tidak terjadi. Generasi lama akan lebih sibuk mencari jenis musik yang pernah bersentuhan dengan dunianya di usia muda. Musik-musik itu kini masuk dalam kategori ”musik kenangan”.

Membeli kenangan suara di bursa musik Blok M Square, Jakarta, 19 Januari 2020.
Uniknya, banyak di antara mereka enggan untuk mengetahui perkembangan musik terbaru karena dianggap sudah jauh di luar gaya musikal yang disukai. Saban hari jika hendak mendengar musik, nama kelompok musik atau judul lagu kesukaannya menjadi kata kunci, dan algoritma merekam itu semua. Di kemudian hari, berita-berita tentang musik idola dan sealirannya keluar dan terus menerus mengalir deras di dinding media sosial.
Yang muncul berikutnya adalah fanatisme berlebihan. Gejala musik-sentrisme, menganggap gaya musik pilihannya paling baik di antara yang lain, dengan seketika menyeruak. Lihatlah setiap musisi, penyanyi, dan kelompok band memiliki penggemar yang militan, dengan nama-nama khas yang dilekatkan pada mereka untuk menandai tentang eksistensi dan selera musikalnya.
Baca Juga: Musik dan Suasana Hati
Tidak jarang antarpenggemar itu bisa saling hujat dan menjatuhkan. Kelompok fans yang satu tidak pernah berupaya mendengar dan menyukai gaya musik dari kelompok fans lain, begitu juga sebaliknya. Para fans itu membentuk lingkaran sosial dan jaringan pertemanan yang nyata-nyata sepaham dengan mereka.
Maka, urusan musik kemudian bukan sekadar bunyi atau suara, tetapi juga menyangkut kompleksitas psikologi penggemarnya (baca penggemar K-Pop). Dalam konteks yang demikian peran jagat digital sangat menentukan, ada semacam ”hunian-hunian” eksklusif yang hanya boleh ditempati oleh orang-orang eksklusif pula, dengan ciri menolak penghuni baru yang tak sejalan dengan selera musikalnya.

Penggemar boy band K-pop Korea Selatan berkumpul di pintu masuk stasiun metro di Seoul, Rabu (15/12/2021) waktu setempat.
Paralisis
Deezer, sebuah layanan streaming musik melakukan survei pada 2018. Survei itu berkaitan dengan preferensi dan kecenderungan seseorang mendengarkan musik. Survei dilakukan di lima negara, yakni Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan Brazil. Melibatkan lebih dari 5.000 responden dari berbagai latar belakang dan usia.
Hasilnya cukup menarik untuk disimak, yakni ada kecenderungan (60 persen) seseorang tidak lagi memiliki minat mendengarkan musik baru saat usia menginjak 30 tahun. Gejala yang demikian oleh beberapa pengamat disebut sebagai ”kelumpuhan musikal” atau musical paralysis. Beberapa sebab kadang sama sekali tidak berhubungan dengan musik, seperti bertambahnya rutinitas pekerjaan, karena di usia 30 tahun seseorang sudah dihadapkan dengan tanggungjawab besar seperti berumah tangga sehingga aktivitas mendengarkan musik baru tidak terpenuhi.
Ada kecenderungan (60 persen) seseorang tidak lagi memiliki minat mendengarkan musik baru saat usia menginjak 30 tahun.
Jauh sebelum survei Deezer itu dilakukan, Oliver Bones dan Christopher Plack lewat tulisannya ”Losing the Music: Aging Affects the Perception and Subcortical Neural Representation of Musical Harmony” (2015), menjelaskan bahwa penuaan atau bertambahnya usia seseorang memengaruhi kadar persepsi dan representasi pada karya musik. Seseorang yang bertambah tua cenderung kesulitan membedakan akord, nada-nada, dan kontur melodi. Otomatis lagu-lagu baru baginya terasa sama, monoton, dan tidak ada beda.
Sementara mereka dengan gejala yang demikian meyakini bahwa musik-musik yang sesungguhnya, enak didengar, berkualitas, keren dan indah, adalah peristiwa musik yang didengarnya kala masih muda. Di usia sebelum 30 tahun, gejolak dan semangat sebagai generasi muda meledak-meledak. Mereka berupaya menemukan identitas dirinya, termasuk dalam konteks musik. Usia 30 menjadi titik pemberhentian dalam mengeksplorasi jenis-jenis musik baru, selain karena kesibukan juga karena melemahnya kadar persepsi musikal.

Para penonton di kelas festival bergaya metal menunggu kelompok musik Metallica tampil dalam konsernya di Stadion Utama, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (25/8/2013).
Hal itu semakin diperparah dengan filter bubble yang terjadi di dunia digital. Mereka berkomunikasi dan berbagi pandangan dengan orang-orang seusia yang mengalami gejala serupa. Banyaknya karya musik baru dianggap sebagai ”noise”. Mereka terjebak dalam lingkaran musik(al) yang selalu sama. Ironisnya, apabila musik itu diputar lewat pengeras suara dengan lantang, didengarkan oleh tetangga kanan-kiri, dia menikmati sementara yang lain tersakiti.
Adagium baru pun berkembang, musikku adalah musikku, dan musikmu adalah musikmu. Kelumpuhan musikal menjadi penanda bahwa selera musik dapat berhenti di satu titik tertentu, dan oleh karena itu bijaklah dalam memandang selera musik orang lain yang berbeda dari selera kita.
(Aris Setiawan, Etnomusikolog, Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Facebook: Aris Setiawan)