Buku ini hanya mengingatkan, manusia jangan menjadi budak teknologi, tetapi tetap sebagai tuan atas alat-alat hasil teknologi. Apa yang disampaikan mirip ketika Jacques Ellul mengingatkan bahaya teknologi.
Oleh
ST. SULARTO
·5 menit baca
Kompas
Supriyanto
Judul buku langsung mengingatkan diktum ”Aku berpikir maka aku ada” (cogito ergo sum) yang termasyhur dan diakrabi banyak orang. Diktum ciptaan Rene Descartes (1596-1650) abad ke-17 itu menjadi tonggak awal modernisme di Eropa yang sebelumnya didominasi pemikiran dan ajaran Gereja. Descartes berangkat dari ”aku yang menyangsikan dan menyangsikan itu adalah berpikir”, sehingga aku menjadi eksistensial, karena kesangsiannya tidak bisa disangsikan.
Dengan perkembangan teknologi digital di abad ke-21, apakah diktum itu masih berlaku? Buku ini tidak menjawab secara eksplisit, mungkin karena di dunia pemikiran filsafat dunia belum ada yang berani tegas mengatakan demikian sehingga penulisnya kurang bernyali mengoreksi diktum Descartes. Namun yang jelas, dengan buku ini secara implisit, F Budi Hardiman yang berlatar belakang disiplin filsafat dan sudah menulis banyak buku filsafat, dengan malu-malu sudah menunjuk ke sana.
Penulisnya tidak membongkar secara kritis diktum Descartes, seperti yang biasa sebagai cara kerja yang dilakukan para filsuf—mengkritisi filsafat sebelumnya—melainkan dengan mendeskripsikan dan menganalisis fenomenologi kondisi yang aktual. Oleh karena itu, rumusan yang dia introdusir ”Aku klik maka aku ada”, mirip diktum Descartes. Dengan demikian, yang dilakukan dengan rumusan itu bukanlah membongkar—sebab kenyataannya memang masih berlaku—melainkan melengkapi diktum Descartes. Dalam konteks ini temuan dan sumbangan buku ini perlu diapresiasi.
Digital memang mendisrupsi berbagai hal, tetapi tetap ada yang tetap tidak tersentuh.
Meskipun arah budaya digital bahkan nirkertas sudah, sedang, dan akan terus berlangsung, kenyataan saat ini belum seluruhnya terjadi dalam budaya serba digital. Digital memang mendisrupsi berbagai hal, tetapi tetap ada yang tetap tidak tersentuh.
Ketika media cetak semakin tergusur media elektronik dan digital, misalnya, industri media massa belum semua menghapus industri cetak mereka. Walaupun terjadi penurunan oplah, tidak hanya media massa (koran dan majalah), tetapi juga buku. Artinya, belum seratus persen kita hidup dalam budaya digital, termasuk belum tercukupinya sarana infrastruktur.
Taruh contoh, di Indonesia dari sekitar 270 juta penduduknya sudah memiliki HP sekitar 345 juta dan sekitar 205 juta memiliki internet, masih sekitar 1.000 desa (17 persen seluruh Indonesia) belum ada sinyal. Kondisi geografis yang sangat bervariasi, luas dan kesenjangan sosial ekonomi budaya itu, belum memungkinkan kehidupan dalam budaya digital secara serentak.
Melihat maraknya kehidupan budaya digital yang mendisrupsi berbagai aspek kehidupan saat ini, penulisnya menawarkan satu imbauan dan ajakan, setelah menyampaikan kondisi perilaku pengguna teknologi digital agar tetap waspada. Senyampang itu dengan tegas dinyatakan tidak menolak kehadiran budaya digital.
Kehadiran teknologi mendatangkan banyak kemudahan dan percepatan komunikasi. Buku ini hanya mengingatkan, manusia jangan menjadi budak teknologi, tetapi tetap sebagai tuan atas alat-alat hasil teknologi. Apa yang disampaikan mirip ketika Jaques Ellul mengingatkan bahaya teknologi.
Dari sikap reflektif menjadi sikap refleks
Dengan mengutip uraian tentang homo digitalis karya Rafael Capurro (2017), komunikasi dan bahasa sebagai ciri manusia yang mendasar Yuval Noah Harari (2019), manusia yang dikendalikan teknologi digital mengalami proses peralihan dari homo sapiens ke homo digitalis Christian Montag (2018), penulis berpendapat dugaan peralihan digital evolusioner itu beralasan (hlm 37-39). Ponsel pintar telah menjadi ekstensi kapasitas pikiran manusia. Semua data tersimpan mengganti pikiran manusia.
Homo digitalis bukan lagi I think sebagaimana halnya sejak Descartes, tetapi I browse. Manusia berpikir lewat internet. Aku makin identik dengan aku-online sementara aku-offline makin surut ke belakang. Akhirnya diktum aku berpikir diganti aku klik. ”Aku klik maka aku ada”. Pikiran manusia mengerucut di jari.
Sejalan dengan etimologi kata digitus dari bahasa Latin yang berarti jari, homo digitalis pun bisa berarti ”manusia jari”, bukan manusia bijak atau sapiens (hal 39). Homo digitalis bukan sekadar pengguna gawai, melainkan bereksistensi lewat gawai yang ditentukan dengan tindakan digital seperti uploading, chatting, posting, dan selfie. Aku-online beda dengan aku-offline.
Fanatisme sebagai cara bersikap adalah kelanjutan tindakan digital, yakni sikap refleks dan anti-refleksi. Internet dan media sosial menjadi lingkungan yang memerosotkan sikap reflektif menjadi sikap refleks. Dengan cepat kebencian yang berasal dan dikembangkan dari sikap ini (aku-online) lewat media-media sosial dengan cepat diteruskan ke aku-offline dalam kehidupan nyata (hlm 78-78).
Di butir ini terletak ajakan penulis, pengguna gawai waspadalah terhadap dampak penyalahgunaan, belum lagi sudah berkembangnya pemakaian teknologi digital hanya untuk hiburan. Di butir ini kata kuncinya, pengguna gawai dan hasil budaya teknologi digital tetap bisa berperan sebagai tuan atas dirinya, tuan atas alat teknologi dan bukan sebaliknya. Disampaikan pula ajakan agar proses pendidikan sebagai sarana agar manusia pemakai gawai semakin bijak sekaligus menjadi tuan atas alat teknologi digital sebagai keharusan.
Menegaskan ”kerugian” atas kehadiran budaya digital, disampaikan hasil penelitian efek negatif pemakaian ponsel (hlm 41). Dikutip dari buku Homo Digitalis (2018) Christian Montag, menurut sebuah studi tiga bulan pemakaian ponsel terus-menerus ternyata mempengaruhi otak anak, seperti berkurangnya kemampuan mengambil keputusan, mengendalikan emosi, melaksanakan rencana, mengingat, dan menjadi impulsif.
”Klik yang berkeutamaan”
Buku ini terdiri atas delapan artikel, satu prolog dan epilog. Kecuali artikel ke-8, tujuh artikel lainnya sudah pernah diterbitkan atau disampaikan dalam berbagai kesempatan dan berbagai keperluan antara tahun 2018-2020. Dengan pengolahan sesuai dengan maksud buku, ke-8 artikel tidak terasa sebagai bunga rampai yang terpisah-pisah, melainkan berkelindan, dan tujuh artikel memperkaya artikel pertama (”Siapakah Manusia di Era Digital?).
Artikel terakhir yang khusus dipersiapkan untuk buku ini, menegaskan dan membingkai buku dan menegaskan ajakan mewaspadai tindakan klik sebagai ”klik yang berkeutamaan” dari tereduksinya tindakan manusia yang disebut Hannah Arendt sebagai ”klik yang banal” dalam komunikasi digital (hlm 209-248).
Agar tidak menyisakan tanda tanya, penulis menjelaskan alasan mengapa mempertemukan pemikiran Aristoteles (384-322 SM) yang hidup di zaman Yunani kuno dengan Arendt (1906-1975) yang hidup di masa Nazi, yang keduanya tidak mengenal internet ketika dunia terhubung dalam satu klik? (hlm 110).
ARSIP PRIBADI
St Sularto
Keterhubungan mereka terletak dalam pemikiran mendasar tentang etika komunikasi digital zaman kini dalam dimensi moral tindakan manusia, juga ketika manusia melakukan tindakan dengan jari (hlm 210). Selain itu disinggung juga faktor lain, bahwa Arendt pemikir yang banyak dipengaruhi Aristoteles selain oleh guru dan kekasihnya, Martin Heidegger (1889-1976-hlm 225). Anjuran etika Aristoteles ”klik yang berkeutamaan”, menegaskan maksud dasar buku: Harap waspada dalam budaya digital, dan Jangan jadi budak teknologi digital!
St Sularto
Wartawan Senior
Data Buku
Judul Buku: Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital