Dunia sains dan inovasi tak beda dengan dunia seni, sastra, jurnalisme. Ia adalah dunia penjelajahan. Imperatifnya kebebasan.
Setidaknya demikian kesan saya membaca kisah Stewart Brand yang diuraikan secara singkat dalam buku World Without Mind (Penguin Random House UK, 2017). Cerita tentang Brand merupakan bagian paling saya suka dari buku itu. Penulisnya, Franklin Foer, seperti menulis novel.
Dilukiskannya, pada kabut kenangan awal 1960-n yang kini perlahan-lahan menguap, Brand mengendarai mobil dari San Francisco menuju wilayah penampungan kaum Indian (di Amerika istilahnya reservation), Warm Springs Reservation. Ia mendapat pesanan untuk membikin brosur mengenai Indian.
Sebagai ”putra mahkota kelompok hippies”—begitu Foer menyebutnya—Brand bertelanjang dada. Di leher tergantung kalung manik-manik. Brand berasal dari keluarga cukup berada. Ayahnya eksekutif perusahaan periklanan. Saya bayangkan di saku celana Brand ada lintingan ganja.
Kaum hippies, yang bagi zaman ini tentulah dianggap manusia purba, memuja kebebasan dan memiliki idealisme—atau tepatnya ilusi—mengenai dunia baru yang lebih baik, penuh cinta dan damai.
Menjelajah berbagai kemungkinan hidup sebagai manusia bebas, termasuk menyelenggarakan pesta acid dengan band Grateful Dead, pada perkembangannya Brand menciptakan Whole Earth Catalog. Terbitan yang dicetak 2,5 juta kopi itu semacam panduan, memberi informasi dan jaringan bagi mereka yang ingin hidup bebas, mandiri, seperti kaum hippies yang waktu itu hidup dalam koloni-koloni.
Mengidolakan pemikir-pemikir pada zamannya termasuk Marshall McLuhan yang menunjukkan signifikansi peran medium (sebagai akademisi McLuhan waktu itu tak ubahnya seorang selebritas), Brand percaya pada gagasan McLuhan bahwa dunia bakal menyatu dalam suatu jaringan. Istilah yang populer dan kini telah menjadi klise, global village.
Tak kalah konyol pertengkaran melalui piranti ini, dari soal sensitif agama sampai hal-hal tidak perlu dan remeh-temeh, bertengkar demi pepesan kosong.
Kala itu spiritualitas baru atau New Age tengah merebak. Brand mengartikulasikan impian generasinya, bahwa apa yang tidak bisa ditransformasikan oleh sistem politik akan diterobos oleh teknologi. Termasuk humanitas, ketika politik gagal, komputer akan ambil alih.
”Whole Earth Catalog adalah salah satu bible generasi kami,” pendiri Apple, Steve Jobs, pernah berujar.
Diilhami oleh jiwa-jiwa bebas seperti Brand itulah tumbuh kerajaan IT di selatan San Francisco yang namanya kemudian dikenal seluruh dunia: Silicon Valley. Silicon Valley tidak lahir dari omong besar politikus, melainkan semangat komunal, semangat pembebasan, tercermin di antaranya dari panampilan para CEO. Egaliter, tidak birokratis, mereka mengenakan T-shirt, dan tentu saja tidak menghamba partai politik.
Foer mengutip buku Fred Turner, From Counterculture to Cyberculture: The Catalog membantu menciptakan kondisi di mana komputer mikro dan jaringan komputer bisa dibayangkan sebagai piranti pembebasan.
Hanya saja itulah paradoks teknologi yang sejatinya sejak awal telah disadari para pelopor Silicon Valley. Inovasi teknologi ini akan melahirkan monopoli. Tak terhindarkan, melampaui teknologi elektrik sebelumnya, sistem jaringan ini memengaruhi sistem syaraf dan otak manusia dalam skala yang barangkali tak diduga sebelumnya.
Dikiranya kalau ruang dan waktu terhapus, dunia jadi desa besar, manusia bakal hidup bertetangga, damai dan bahagia, seperti impian The Beatles dalam lagu ”Yellow Submarine”.
Nyatanya tidak demikian. Orang kini lebih tergesa-gesa, bekerja 24 jam sehari, sibuk dengan diri sendiri, menjadi a loner, terpaku pada layar digital masing-masing. Tak kalah konyol pertengkaran melalui piranti ini, dari soal sensitif agama sampai hal-hal tidak perlu dan remeh-temeh, bertengkar demi pepesan kosong.
Betapa pun dunia senantiasa membutuhkan terobosan dan inovasi.
Hanya saja, kalau Silicon Valley lahir dari jiwa-jiwa merdeka, Stewart Brand dengan mobil yang pada bumper-nya tertulis manifesto suku Indian, ”Custer Died for Your Sins”, di sini sains dan teknologi adalah dunia birokrasi, dunia pejabat.
Negeri ini negeri pejabat. Aktivis, pedagang, artis, tua-muda, semua jadi pejabat. Mereka menguasai lembaga-lembaga, institusi, organisasi, tak ketinggalan menguasai jalan raya dengan mobil dilengkapi sirine dan lampu strobo. Memang menyebalkan.
Adakah yang percaya mereka tergopoh-gopoh karena hendak memajukan sains, riset, kebudayaan, bangsa, atau memajukan apa saja?
Saya tidak percaya.