Kekuatan cinta, yaitu menerima, merasakan, dan mengembangkan, perlu dibudidayakan dengan belajar menerima mereka yang berbeda, merasakan apa yang dirasakan orang lain, juga dengan melatih imajinasi dan perasaan.
Oleh
ANTONIUS STEVEN UN
·4 menit baca
Kompas
Supriyanto
Cinta memiliki tiga kekuatan yang bisa dibudidayakan. ”Hanya cinta,” kata filsuf Jerman-Amerika Hannah Arendt (1958), ”yang bisa mengampuni.” Pengampunan adalah kemampuan manusia yang dibutuhkan untuk menghadapi ketakmungkinan membatalkan suatu tindakan (irreversibility of action).
Arendt berpandangan bahwa hanya cinta yang mampu menghasilkan pengampunan karena cinta menerima identitas pribadi seseorang (who somebody is) termasuk di dalamnya kesediaan untuk mengampuni apa pun yang ia lakukan. Saya memahaminya sebagai kekuatan untuk menerima.
Kekuatan cinta yang lain adalah kekuatan untuk merasakan. Sekalipun kurang menggemari diferensiasi esensialis antara manusia dan binatang, tetapi pernyataan filsuf Amerika Serikat Richard Rorty (1998) menarik untuk diperhatikan. Rorty mengatakan, ”Kita dapat merasakan satu sama lain (feel for each other) jauh lebih besar ketimbang yang binatang dapat rasakan.” Manusia dapat memiliki perasaan solidaritas dan empati yang kurang dimiliki oleh binatang. Hal ini merupakan salah satu ekspresi cinta.
Selain menerima dan merasakan, masih terdapat satu kekuatan cinta yang lain. Kekuatan itu adalah kekuatan untuk mengembangkan. Kekuatan cinta pada seorang ibu membuatnya berkeinginan kuat dan berusaha keras untuk menjadikan anak-anaknya lebih baik, lebih maju, lebih berkembang bahkan ketimbang dirinya sendiri.
Ketiga kekuatan cinta tersebut, yaitu menerima, merasakan, dan mengembangkan, perlu dibudidayakan. Budidaya cinta dalam tiga kekuatan ini sangat diperlukan karena hal-hal menyedihkan terjadi belakangan ini justru dilakukan oleh insan-insan yang seharusnya menjadi teladan cinta.
Sebagai contoh, ada tokoh agama yang diduga terlibat dalam organisasi teroris yang jelas-jelas antikeberagaman. Contoh lain yang menyayat hati adalah ada anggota tentara membuang tubuh remaja korban kecelakaan, dan ada guru agama merudapaksa siswi-siswi binaannya.
Belajar menerima
Budidaya kekuatan cinta yang menerima perlu dilakukan, antara lain dengan senantiasa belajar menerima mereka yang berbeda keyakinan. Meminjam istilah Nietzsche, cinta seharusnya ditujukan bukan saja kepada mereka yang berbeda, tetapi juga kepada mereka yang paling jauh (love of the farthest). Cinta kepada musuh adalah merupakan ekspresi utama cinta kepada yang paling jauh.
Bung Hatta mengingatkan, ”Penghargaan manusia sebagai makhluk Tuhan adalah inti sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa” (Yudi Latif, 2014). Menurut catatan sejarawan Pancasila, Yudi Latif (2014), Bung Hatta mewujudnyatakan pemahamannya tentang ketuhanan yang berperikemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Seorang seniman sedang menggambar sebuah Garuda Pancasila di ajang Festival Mural Bhayangkara 2021 di Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (30/10/2021).
Proklamator kita ini menjalin hubungan saling mengasihi dengan tokoh Ahmadiyah Sayyid Shah Muhammad Al-Jaeni, yang menjadi anggota Panitia Pemulihan Pemerintahan RI Pusat pimpinan Ki Hadjar Dewantara. Ketika Sayyid sakit dan dirawat di RSCM, Bung Hatta menjenguknya beberapa kali. Sayyid mengirimkan buku kepada Bung Hatta yang gemar membaca, dan juga menjenguknya beberapa kali ketika ia sakit.
Teladan Bung Hatta adalah contoh sederhana yang bisa diwujudnyatakan dalam kehidupan kita masa kini. Budidaya cinta dengan menerima yang pribadi yang memiliki pandangan yang berbeda perlu terus dilakukan. Anak-anak perlu dilatih untuk belajar menerima mereka yang berbeda.
Selain itu, budidaya cinta dalam bentuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain perlu terus dilakukan. Di dalam aplikasi bentuk cinta ini, kita perlu menggunakan imajinasi. Mari kita membayangkan apa yang dirasakan oleh orang lain. Apabila kita menempatkan diri kita pada posisi mereka, apakah kita bersedia menjadi korban kekerasan yang akan membuat masa depan kita suram?
Apabila guru, polisi, tentara, dan kita semua menggunakan imajinasi untuk membayangkan anak-anak itu sebagai anak-anak kita, apakah kita rela melihat masa depan mereka hancur karena perbuatan kita? Bagaimana perasaan orangtua anak-anak korban kekerasan itu? Kita perlu terus membudidayakan cinta dengan melatih imajinasi dan perasaan kita.
Apabila guru, polisi, tentara, dan kita semua menggunakan imajinasi untuk membayangkan anak-anak itu sebagai anak-anak kita, apakah kita rela melihat masa depan mereka hancur karena perbuatan kita?
Hal inilah yang tampak dalam diri guru Musmuliadi dari Desa Sukadana, Lombok Utara (Kompas, 4/5/2020). Ia rela menjadi guru honorer dengan gaji Rp 250.000, jauh di bawah upah minimum kabupaten yang lebih dari Rp 2 juta. Hal ini ia lakukan karena ia prihatin dan merasa kasihan kepada anak-anak di dusun tersebut yang tidak bisa mengenyam pendidikan.
Ia tidak mengorbankan siswa-siswi untuk kepentingannya, ia justru mengorbankan diri untuk kepentingan para anak didiknya. Dengan membayangkan perasaan anak-anak atau membayangkan perasaan rakyat, guru dan juga pejabat akan memiliki cinta yang mengorbankan diri untuk kepentingan orang lain.
Hal yang diperlihatkan oleh guru Musmuliadi bukan saja merupakan ekspresi kekuatan cinta yang merasakan, tetapi juga kekuatan yang mengembangkan. Ia bertekad untuk membuat kehidupan anak-anak di daerah itu menjadi lebih baik. Obsesinya hanya satu, yakni anak-anak bisa mengenyam pendidikan dan menjadi manusia terdidik. Sungguh mulia cintanya.
(Antonius Steven Un, Meraih Gelar PhD dari Departemen Filsafat Vrije Universiteit Amsterdam; Dosen STT Reformed Injili Internasional; Twitter: @AntoniusUn)