Kita jangan terjebak pada wacana mengenai sentralisasi dan desentralisasi riset. Ukurannya jelas. Jika dalam dua-tiga tahun pusat riset hasil peleburan tidak menghasilkan karya unggul, berarti konsep BRIN gagal.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Dalam kurun dua dasawarsa terakhir, tidak ada wacana kebijakan riset yang heboh, seperti halnya yang menyangkut Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN.
Kontroversi tak hanya lembaganya, tetapi juga sosok kepala, ketua dewan pengarah, dan konsekuensi kebijakannya. Terakhir adalah absorpsi Lembaga Eijkman setelah terjadi pada institusi yang sudah lama eksis, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Sejumlah kalangan, terutama cendekiawan, menggalang dukungan menolak peleburan Eijkman ke dalam BRIN. Sebab, selain akan mengganggu proses riset, juga berimplikasi pada terpinggirkannya sejumlah tenaga dan staf serta menghilangkan roh penelitian lembaga. Eijkman sejauh ini memuncaki penolakan dan protes publik tentang sentralisasi riset.
Pendukung sentralisasi berargumen, dengan desentralisasi, di tengah dana terbatas, riset tak menghasilkan karya signifikan. Keluaran hasil riset relatif kecil dibandingkan negara tetangga yang maju. Indeks sitasinya pun kecil. Kontribusi Indonesia untuk pengembangan ilmu pengetahuan juga kecil.
Padahal, melihat potensinya, ada banyak sains dan teknologi yang bisa diangkat menjadi topik riset unggul, mulai dari riset tentang vulkanologi dan cincin api, tanaman hortikultura, energi terbarukan, juga tentang kesehatan masyarakat yang relevan dengan upaya penanggulangan Covid-19, misalnya.
Alih-alih menghasilkan dampak fenomenal, riset Indonesia bisa dibilang nirgaung alias melempem. Komoditas penting bagi kesejahteraan masyarakat masih banyak yang diimpor, buah-buahan tropis populer tidak muncul dari negara kita.
Kita fair. Kondisi kurang prestasi dalam riset, selain laporan hasil penelitian menumpuk tinggi, tak sepenuhnya salah peneliti. Pemerintah yang semestinya mendukung inovasi dalam negeri acap menafikan dengan regulasi yang tak memungkinkan temuan riset mendekati hilir, apalagi sukses di pasaran.
Kondisi kurang prestasi dalam riset, selain laporan hasil penelitian menumpuk tinggi, tak sepenuhnya salah peneliti.
Atas dasar minimnya prestasi riset nasional di tengah gelombang besar perubahan yang disebabkan oleh kemajuan teknologi digital, atau datangnya Revolusi Industri 4.0, pemerintahan Presiden Joko Widodo memandang perlu dilakukannya tata ulang pranata riset di Tanah Air.
BRIN sebagai alternatif wajar diberi kesempatan mendinamisasi aktivitas riset dan inovasi nasional. Salah satu pilihan kiprahnya, seandainya bisa memutar balik jarum jam, semestinya memilih bidang yang dibutuhkan Indonesia, menggalang sumber daya, dan memacu menghasilkan produk inovasi cemerlang.
Namun, kita saksikan BRIN lebih suka menata yang ada. Dengan personalia elitenya yang dirasa kurang akseptabel, lengkap sudah potensi BRIN untuk menjadi institusi yang minimal kontroversial, kalau bukan ”disliked”.
Di bidang sains, teknologi, dan sosial-ekonomi, dunia kini sedang menyongsong hadirnya era kemajuan baru. Kita jangan terjebak pada wacana mengenai sentralisasi dan desentralisasi riset. Ukurannya jelas. Jika dalam dua-tiga tahun pusat riset hasil peleburan tidak menghasilkan karya unggul, berarti konsep BRIN gagal.