Catatan Pinggir soal Soedjatmoko
Bulan Januari ini, pemikir utama Indonesia Soedjatmoko genap berusia 100 tahun. Pemikir Indonesia terkemuka ini, telah melahirkan satu titik pemikiran dari rantai panjang wacana pembangunan global tentang kebebasan.

Heryunanto
Bulan Januari ini, pemikir utama Indonesia, Soedjatmoko, genap berusia 100 tahun. Pemikiran tokoh yang lahir pada 1922 (wafat: 1990) ini merembes jauh ke dalam wacana pembangunan global.
Dalam komentar atas buku Soedjatmoko, Development and Freedom (1980) Anne Elizabeth Murase, dari Sophia University, menyatakan bahwa pemikiran Soedjatmoko adalah desakan (kepada aktor-aktor global) untuk ”rethinking the development process and for a morale commitment to support the yet unrealized ideal of development in freedom” (memikirkan ulang proses pembangunan dan komitmen moral untuk mendorong gagasan pembangunan dalam kebebasan yang belum terwujud saat ini.”
Sebagaimana akan ditengok di bawah, (kebebasan) adalah jantung keprihatinan Soedjatmoko sepanjang hidupnya. Untuk itu, perlu ada catatan tentang tokoh ini, walau bersifat ”pinggiran”. Mengapa ”pinggiran”? Karena ”catatan utama” tentang Soedjatmoko telah ditulis oleh Ignas Kleden (dalam buku Soedjatmoko, Etika Pembebasan, [1984]), dengan sangat komprehensif.
Dokter Zhivago dan ide kebebasan
Untuk memulainya, dengan sengaja saya membaca tulisan Soedjatmoko atas Dr Zhivago. Tulisan Soedjatmoko yang berjudul ”Dr Zhivago: Manusia di Tengah Revolusi” ini menarik dalam dua hal. Pertama, pada kualitas tulisannya.
Dengan ”dingin”, Soedjatmoko melihat novel karya Boris Pasternak tersebut sebagai sebuah lukisan tentang Revolusi Rusia (1917) yang bertransformasi sebagai ”banjir maha besar” yang membuat wilayah pinggiran turut tergenang secara tak terelakkan. Dalam situasi semacam ini, manusia bagaikan debu, terombang-ambing tanpa mampu membuat perencanaan tentang diri dan nasibnya.
Sebagaimana akan ditengok di bawah, freedom (kebebasan) adalah jantung keprihatinan Soedjatmoko sepanjang hidupnya.
Lukisan Soedjatmoko ini mempermudah memahami inti gagasan Boris Pasternak, pengarang novel Doctor Zhivago. Ini penting ditekankan karena bahkan penerjemah karya ini dari bahasa Rusia ke dalam bahasa Inggris mendapat kesulitan.
Seperti tertara dalam ”Translators’ Note” novel tersebut, kita membaca keterangan seperti ini: ”Bahasanya mempunyai daya hidup tinggi yang sangat mungkin jarang terdapat di dalam kesusastraan negeri mana pun dan mungkin juga di Rusia sendiri". Karena itu, ”sifat-sifat ini mengadang para penerjemah dengan kesukaran-kesukaran yang nyaris tak tertanggulangi, dan kami tak bisa bersikap berpura-pura bahwa kami telah melakukan hal yang benar dalam terjemahan ini, betapapun hanya secuil, dari naskah aslinya.”
Kendatipun demikian, seperti telah disinggung, Soedjatmoko berhasil menguraikan inti gagasan Boris Pasternak tersebut dengan ”sempurna” kepada pembaca Indonesia.
Ketika abad berganti, walau pasti tak pernah membaca tulisan Soedjatmoko ini, Tony Brenton, penyunting buku Historically Inevitable: Turning Point of the Russian Revolution (2016) ”mengulang” lukisan Revolusi Rusia sebagai ”banjir maha besar” tersebut: ”Revolusi itu mengenakan kekuasaan totalitarian ajaran komunis yang akhirnya memerintah sepertiga umat manusia, mendorong munculnya Naziisme pada 1930-an, dan karena itu (juga) Perang Dunia Kedua, dan menciptakan penentang Barat selama empat puluh tahun perimbangan teror Perang Dingin. Sulit menemukan contoh lain di mana kejadian-kejadian hanya di dalam beberapa tahun, terpusat di dalam sebuah negara, dan sebagian besar di sebuah kota, mempunyai akibat-akibat sejarah besar semacam itu.”
Baca juga : Belajar Pembangunan Menyeluruh dari Soedjatmoko
Dan jika kita lihat lebih jauh, terutama setelah periode apa yang disebut sejarawan EH Carr dalam The Bolshevik Revolution (1966 [1953]), sebagai the year of isolation and diplomatic feelers (tahun isolasi dan diplomasi usul perdamaian), ”banjir besar” Revolusi Rusia tersebut mengalir ke Eropa dan Asia. Tanpa saling ”berkoordinasi”, Soedjatmoko, Tony Brenton, dan Carr telah mengungkapkan lukisan yang sama.
Kedua, untuk suatu alasan, saya terkesan dengan ”kesimpulan” Soedjatmoko atas Doctor Zhivago ini. Di sini, ia menulis: ”Dr Zhivago sebenarnya mengandung peringatan bagi umat manusia seluruhnya. Ia memperingatkannya, bahwa kehidupan manusia tak dapat dicukupi oleh politik dan filsafat politik saja. Tidak peduli politik apa dan filsafat mana. Hidup itu senantiasa terelakkan dari perangkap akal manusia.”
Lalu, Soedjatmoko melanjutkan: ”Sebab, filsafat politik bersandarkan pada pengertian tentang hidup dan ia bukan hidup itu sendiri. Maka, apabila berdasarkan suatu filsafat politik kita, dari atas, hendak pengatur kehidupan manusia dalam keseluruhannya, atau jikalau dalam kita berpolitik, kita mengklaim memiliki kebenaran yang mutlak, kita sebenarnya telah menjalankan suatu keangkuhan terhadap hidup itu sendiri. Pesan Dr Zhivago ialah sebaliknya, yaitu yang dapat disebut dengan suatu istilah yang tidak dipakai Pasternak sendiri: humility of the mind, akal yang berendah hati.”

Ini menarik. Terutama karena Soedjatmoko melanjutkan uraian kesimpulannya dengan mengutip sebuah frasa dalam naskah novel Doctor Zhivago tersebut: coddling man, exalting him above the rest of nature and worshiping him (mengagung-agungkan manusia, membesarkannya di atas semua alam dan memujanya). Secara subyektif, frasa ini membawa ingatan saya kepada makalah yang pernah saya tulis tentang Mohammad Natsir dengan judul ”Menolak Menjadi Heidegger: Pemikiran Politik dan Demokrasi Mohammad Natsir” (2008). Di dalam tulisan tersebut, saya lukiskan sikap Natsir yang ”curiga” terhadap pemujaan orang besar.
Akan tetapi, di dalam konteks ide kebebasan manusia dan penolakan akan penindasan, harus kita catat bahwa kesimpulannya tentang novel Doctor Zhivago di atas ditulis oleh Soedjatmoko (dalam majalah Siasat) pada Februari 1959.
Mengikuti karya Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962), kita tahu sejak 1957, politik Indonesia telah ditandai oleh menguatnya kaum solidarity makers atas kaum adminstrators.
Kaum solidarity makers ini, dalam definisi Feith, adalah ”para pemimpin yang terampil sebagai penghubung antar-berbagai kelompok dengan tingkat modernitas dan efektivitas politik yang berbeda-beda, sebagai penghimpun massa, dan sebagai pembentuk simbol-simbol integratif.”
Berbeda dengan kaum administrators yang disebut Feith sebagai ”para pemimpin dengan keterampilan pemerintahan, teknikal, legal, dan bahasa asing yang dibutuhkan untuk menjalankan aparatur modern yang sangat khusus dari sebuah negara modern, kaum solidarity makers menyingkirkan sikap sabar menjalani prosedur demokrasi konstitusional. Ketidakstabilan politik dan ”perpecahan” ideologis selama periode demokrasi konstitusional yang diterapkan sejak akhir 1945, telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi bukanlah jalan terbaik bagi sistem politik Indonesia.
Dalam format konstitusi ini, presiden memegang kekuasaan besar.
Dalam situasi inilah ”orang besar” harus tampil untuk mengintegrasikan seluruh kekuatan-kekuatan politik dan ideologis demi ”keselamatan” nasional. ”Orang besar” itu adalah Soekarno, yang menggunakan frasa John Legge dalam Sukarno: A Political Biography (1972), representing a new order of power (mewakili kekuasaan tatanan baru).
Dan dalam tatanan baru itu, Soekarno muncul sebagai fulcrum (titik tumpu) proses integrasi kekuasaan yang sebelumnya, di bawah sistem demokrasi konstitusional, dipersepsikan terpencar-pencar itu. Dan kita tahu, ”puncak” aksi penataan baru sistem politik yang telah berlangsung sejak lahirnya ”Konsepsi Presiden” pada 1957 ini adalah Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959: pembubaran Konstituante dan pengembalian Undang-undang Dasar (UUD) kepada format semula yang dikukuhkan pada 18 Agustus 1945.
Dalam format konstitusi ini, presiden memegang kekuasaan besar. Dan dalam keadaan di mana kekuatan partai-partai politik mengalami kemunduran drastis, secara otomatis Presiden Soekarno tampil sebagai kekuatan yang tak tertandingi, baik menurut ketentuan konstitusi maupun real politics.
Dalam periode inilah Soedjatmoko menulis tinjauan novel Doctor Zhivago karya Boris Pasternak tersebut. Saya kira, usaha Soedjatmoko mengutip frasa coddling man, exalting him above the rest of nature and worshiping him dari novel Doctor Zhivago di atas bertujuan ganda. Yaitu, selain menggambarkan keadaan riil yang terjadi di Rusia pasca-Revolusi 1917, juga mengungkapkan kekhawatiran akan apa yang terjadi di Indonesia ketika ia menulis tinjauan novel itu.

Supriyanto
Pembangunan dan ide kebebasan
Puluhan tahun kemudian, yakni pada 1979, Soedjatmoko tetap memelihara kekhawatiran yang sama. Dalam sebuah ceramahnya di Tokyo, yang terbit dalam bentuk buku berjudul Development and Freedom, Soedjatmoko mengungkapkan kekhawatiran ini dengan mengatakan: ”Human freedom is certainly the first victim of such a future” (Kebebasan manusia tentunya merupakan korban pertama dari masa depan yang semacam itu). Di sini, perspektifnya atas novel Doctor Zhivago berlanjut.
Hanya, kekhawatiran Soedjatmoko itu kini tertuju pada efek pembangunan yang secara struktural ”mengharuskan” adanya konsentrasi kekuasaan. Ini berkaitan dengan laporan Bank Dunia yang dibuat pada 1978 yang mengungkapkan bahwa program pemberantasan kemiskinan mutlak (absolute poverty) tak akan tercapai pada tahun 2000 kendatipun telah dicanangkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Keyakinan Bank Dunia itu mendorong Soedjatmoko berkata: ”Laporan itu juga memperlihatkan bahwa prospek suram ini bertahan, terlepas dari pola pertumbuhan yang dipakai, yaitu terlepas dari jenis model pertumbuhan apa pun atau model-model pemerataan bagi pembangunan. Jika proyeksi ini benar, dan dengan mengingat kemiskinan, buta huruf dan penganggur yang meluas dalam penduduk dunia ini, apakah ada prospek bagi kebebasan manusia yang bermakna?”
Puluhan tahun kemudian, yakni pada 1979, Soedjatmoko tetap memelihara kekhawatiran yang sama.
Ini, pada esensinya mengungkap kekhawatiran akan kekuasaan otoriter yang secara struktural “terpaksa” muncul demi usaha melenyapkan kemiskinan tersebut. “Seluruh skenario untuk hidup di dalam dunia yang penuh sesak, lapar dan bersaing yang semacam itu,” tulis Soedjatmoko, “memperlihatkan bertambahnya tekanan-tekanan ke arah otoritarian dan penindasan yang lebih besar, persaingan yang lebih tajam dan konflik atas sumber-sumber daya langka dan meningkatnya kekerasan, baik antar negara maupun di dalam negara itu sendiri.”
Soedjatmoko lalu menutup paragraf di atas dengan mengatakan, seperti telah dikutip, bahwa kebebasan manusia menjadi korban pertama dalam situasi kehidupan yang semacam itu.
Di sini kita melihat bahwa sumber ancaman terhadap kebebasan dan otonomi manusia bagi Soedjatmoko tidak bersifat tunggal. Di dalam lukisan tentang novel Doctor Zhivago, ancaman tersebut berasal dari ekspresi politik revolusioner. Dan di dalam “politik pembangunan”, ancaman tersebut datang atau berasal dari keharusan struktural terbentuknya kekuasaan kuat dan terpusat yang diasumsikan perlu guna memberantas kemiskinan.
Di sini kita melihat bahwa sumber ancaman terhadap kebebasan dan otonomi manusia bagi Soedjatmoko tidak bersifat tunggal.
Terobosan "Democratic Theory of Development"
Inilah dilema “abadi” umat manusia di dalam mempertahankan kebebasan. Sebab, terutama di negara-negara berkembang, di mana penguasa harus tunduk pada siklus kekuasaan berjangka pendek, gagasan pembangunan yang diajukan penganut Neo-Keynesian dengan metode big push (dorongan besar) jauh lebih “menggoda”.
Sebagaimana disampaikan oleh Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dalam disertanya, “The Political-Economy of Development: The Case of Indonesia Under the New Order Government, 1966-1978” (1980), di dalam masyarakat-masyarakat terbelakang secara ekonomi, sosial dan pendidikan, kaum Neo-Keynesian berpendapat bahwa “hanya dengan a frontal attack of massive capital formation (pembombandiran langsung pembentukan modal besar-besaran), terobosan yang menentukan dapat terjadi, yang melahirkan momentum fase “tinggal landas” dan mengarah kepada ekonomi yang tumbuh berkelanjutan dengan kekuatan sendiri.”
Jalan ini melahirkan efek politik-ekonomi tertentu. Pertama, seperti kita lihat di mana pun di negeri berkembang, banjir modal telah menggenangi wilayah terpencil sekalipun dengan menyingkirkan kalangan tak mampu. Kedua, mengikuti Karl Wittfogel dalam Oriental Despotism (1980 [1950]), pengorganisasian usaha besar semacam ini secara struktural mendorong pemusatan kekuasaan yang, karena itu, mengancam kebebasan. Sebuah dilema manusia, seperti dinyatakan di atas, “abadi”.

Didie SW
Akan tetapi, Soedjatmoko berusaha memecahkannya dengan menjagokan democratic theory of development (teori pembangunan berdasarkan demokrasi). Yaitu, sebuah “theory about the kinds of development and their trajectories that are supportive of, and not destructive to freedom and human dignity” (teori tentang jenis-jenis pembangunan dan perlintasan-perlintasannya yang mendukung, dan bukan bersifat menghancurkan kebebasan dan kedigdayaan manusia).
Pada konteks operasional, democratic theory of development ini mengingatkan kita pada kritik Karl Polanyi pada praktik “ekonomi pasar’ yang cenderung melahirkan fictious commodities (komoditas palsu). Dalam karyanya, The Great Transformation (1942), Polanyi menyatakan efek destruktif ekonomi pasar terjadi karena memasukkan “tanah” dan “manusia” sebagai komoditas yang diperjual-belikan. Inilah pangkal, kata Polanyi, lahirnya ketidakadilan material, karena baik “tanah” maupun “manusia” adalah ciptaan Tuhan. Ketimpangan yang dilahirkannya inilah, di dalam perspektif Soedjatmoko, melahirkan efek undemocratic developement.
Kendatipun demikian, sejak 1980-an, bahkan di Indonesia telah tersebar gagasan pembangunan alternatif berbasis lembaga swadaya masyarakat.
Tentu, penerapan democratic theory of development ini tampak muskil. Kendatipun demikian, sejak 1980-an, bahkan di Indonesia telah tersebar gagasan pembangunan alternatif berbasis lembaga swadaya masyarakat.
Dan pada tingkat pemikiran global, karena serangan terhadap Europe-biased development strategy semakin gencar, telah diperkenalkan gagasan people-centered development, seperti dinyatakan Ismid Hadad dalam diskusi tentang Soedjatmoko di LP3ES, 10 Januari 2022.
Kelak, di samping gagasan-gagasan lain yang kian berkembang, kita menemukan frasa It is A Shareholders’ World. Sebagaimana diajukan Thomas Widlock dalam An Anthropology and the Economy of Sharing (2016), frasa tersebut mengarah kepada a self-image of the shareholding society justru di dalam masyarakat kapitalis itu sendiri.

Fachry Ali
Di sini, kita melihat democratic theory of development Soedjatmoko bukan hanya terus bergaung. Melainkan, menyambung ke belakang kepada, setidak-tidaknya, Karl Polanyi, dan ke depan, kepada antropolog ekonomi Thomas Widlock. Dalam seratus tahun kelahirannya, Soedjatmoko, pemikir Indonesia terkemuka ini, telah melahirkan satu titik pemikiran dari rantai panjang wacana pembangunan global tentang kebebasan manusia.
Fachry Ali Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)