Mulai tahun ini interaksi di dalam desa hingga supradesa mengerucut pada adu argumentasi data berikut aksi komunikasi rasional. Butuh melatih peralihan tindakan dan pemikiran fokus atas data obyektif dan hasil algoritma.
Oleh
IVANOVICH AGUSTA
·3 menit baca
Pemahaman liar Yuval Noah Harari teruji di desa pada 2022: yang paling tahu adalah pemilik algoritma dana desa atau DD berikut data desa. Permenkeu No 190/2021 memuat lampiran 900 halaman pagu DD bagi setiap desa. Ini memotong hambatan tahunan hingga enam bulan untuk sekadar menunggu penerbitan peraturan kepala daerah atas pagu DD di wilayahnya.
Yang paling mendasar, pameran rincian pagu saban desa dalam regulasi nasional memupus tandas mitos ”daerah lebih paham lantaran berjarak spasial paling dekat ke desa”. Harari-lah yang benar, di masa kini yang paling paham hanyalah penguasa data mikro desa.
Kalaupun dalam regulasi DD 2022 terselip kontradiksi kala nilai kinerja desa menunggu usulan pemda, itu lebih sebagai kesopanan birokrasi karena kenyataannya sampai 2020 ukuran kinerja desa selalu dikalkulasi Kemenkeu sendiri.
Sementara berbagai pihak bergerak mengolah data desa ke level nasional, Kemendesa PDTT menjaga data mikro tetap dikuasai desa. Menyadari keunggulan argumen Harari, Permendesa No 21/2020 segera menetapkan data SDGs Desa sebagai sumber daya milik desa agar desa berdaulat atas data 100.470.045 warga, 33.379.692 keluarga, 517.329 rukun tetangga, dan wilayah 74.960 desa.
Algoritma kreasi Kemendesa PDTT menyuguhkan olahan data jadi informasi kebutuhan setiap warga desa, demand setiap keluarga, pilihan lokasi rukun tetangga untuk mengakselerasi kemajuan, hingga rekomendasi kebijakan bagi pemerintah desa. Informasi terekap ke tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional.
Sementara berbagai pihak bergerak mengolah data desa ke level nasional, Kemendesa PDTT menjaga data mikro tetap dikuasai desa.
Tanpa bisa mundur lagi, mulai tahun ini interaksi di dalam desa hingga supradesa mengerucut pada adu argumentasi data berikut aksi komunikasi rasional. Maka, sejak awal tahun butuh melatih peralihan tindakan dan pemikiran, dari sewenang-wenang berbasis kekuasaan, kekayaan, ataupun titel akademis, menjadi fokus atas data obyektif beserta hasil algoritmanya.
Dana Desa 2022
Sebagai salah satu komponennya, nilai DD dipengaruhi transfer ke daerah dan desa (TKDD). Sayang, antara 2021-2022 TKDD turun dari Rp 795 triliun menjadi Rp 770 triliun. Setelah terus meningkat dari Rp 20,7 triliun pada 2015 sampai Rp 72 triliun pada 2021, untuk pertama kali pada 2022 DD turun menjadi Rp 68 triliun. Sewindu DD kelak tersalur Rp 468 triliun pada akhir 2022.
Pengalokasian DD semakin asimetris sesuai kondisi geografis, kependudukan, terutama jumlah warga miskin, ataupun kinerja pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa. Dari semula 90 persen DD dibagikan merata, kini hanya maksimal 65 persen komponen untuk meratakan dana. Proporsi 30 persen diperuntukkan desa yang luas sekaligus dipadati warga miskin.
Alokasi afirmasi untuk desa tertinggal/sangat tertinggal turun jadi 1 persen karena dialihkan jadi 4 persen untuk mengganjar desa yang bergerak lebih cepat menuju kemandirian.
Sejak 2020, penyaluran DD dibalik dari tahap pertama 20 persen, tahap kedua 40 persen, dan tahap ketiga 40 persen, menjadi 40:40:20. Warga desa mendapatkan manfaat lebih cepat, diindikasikan 50 persen dana desa telah terserap pada triwulan pertama, padahal tahun sebelumnya masih sulit dicapai hingga satu semester.
Sayang, kepala desa tampaknya keberatan atas pengalokasian DD 2022. Mereka menolak ketentuan 40 persen DD sebagai bantuan sosial bagi keluarga miskin, mengelak mengalokasikan 20 persen guna ketahanan pangan dan hewani, juga hendak menahan 8 persen keharusan menganggarkan penanganan risiko Covid-19.
Demonstrasi kepala desa, debat kusir, adu mulut beralasan ideologi, tradisi, dan kekuasaan kehilangan relevansinya, digantikan aksi komunikasi data.
Ivanovich Agusta,Sosiolog Pedesaan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi