Penyelesaian konflik diharapkan akan diselesaikan di meja perundingan antara AS dan Rusia. Namun, berbagai kalangan skeptis, dialog antara AS-Rusia tak akan mencapai terobosan, karena keduanya memiliki kepentingan.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Pola hubungan Amerika Serikat dengan Rusia, yang penuh prasangka, tampaknya tidak juga surut, seperti terlihat dalam krisis perbatasan Ukraina.
AS mengecam keras Rusia, karena menyiagakan pasukan di sepanjang perbatasan dengan Ukraina. AS dan negara Barat lain mendukung Ukraina dalam menghadapi ancaman Rusia.
Sumber utama persoalan terletak pada niat Ukraina untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pimpinan AS. Keinginan itu didukung kuat AS dan negara Barat lainnya. Sebaliknya, Rusia yang berbatasan langsung dengan Ukraina merasa sangat terganggu. Rusia merasa seperti tertampar, ketika membayangkan pasukan dan mesin perang NATO ditempatkan di Ukraina, yang berada di depan halaman rumahnya.
Kehadiran dan peran NATO yang mencolok akan membuat Rusia merasa terjepit dan terkepung, terutama karena tiada kekuatan pengimbang. Pakta Warsawa sebagai saingan NATO di era Perang Dingin bubar bersama keruntuhan Uni Soviet.
Sebagai ahli waris utama Uni Soviet, yang bubar tahun 1991, Rusia menjadi sensitif atas sikap Ukraina, sebab sama-sama pernah bergabung di Uni Soviet dan aliansi pertahanan Pakta Warsawa. Sudah berkali-kali Rusia mengingatkan NATO untuk menghentikan upaya memperluas keanggotaan ke negara bekas pecahan Uni Soviet. Namun, peringatan itu tak digubris. NATO kian leluasa.
Tak bisa pula diabaikan keinginan mayoritas masyarakat Ukraina untuk bergabung dengan Barat, sebab mungkin tertekan selama era Uni Soviet periode 1922-1991. Semangat pro-Barat warga Ukraina memuncak pada Revolusi 2014, yang menjatuhkan pemerintahan yang pro dan bersahabat dengan Rusia.
Persoalan bertambah kompleks, sebab Rusia yang merasa terpukul melampiaskan kemarahannya dengan mencaplok Semenanjung Krimea. Semenjak itu, Ukraina tak pernah tenang, karena digoyang oleh gerakan separatis, yang diduga didukung Rusia.
Ukraina tak pernah tenang, karena digoyang oleh gerakan separatis, yang diduga didukung Rusia.
Keadaan bertambah runyam karena Rusia menggerakkan pasukan ke wilayah perbatasan Ukraina. Risiko perang terbuka dikhawatirkan semakin besar karena pasukan Ukraina mengambil posisi berhadapan dengan pasukan Rusia. Kekuatan militer Ukraina juga digambarkan lebih canggih ketimbang tahun 2014, ketika diserang Rusia. Semangat bertarung Ukraina juga meningkat karena mendapatkan dukungan Barat.
Penyelesaian konflik diharapkan akan diselesaikan di meja perundingan antara AS dan Rusia. Namun, berbagai kalangan skeptis, dialog antara AS-Rusia tak akan mencapai terobosan, karena keduanya memiliki agenda kepentingan masing-masing, yang bisa saja jauh dari kepentingan bangsa Ukraina.
Segera terbayang pula bangsa Ukraina tampak seperti tidak berdaya, kehilangan kedaulatan dan kemandirian di tengah tarik-menarik kepentingan negara lain, khususnya AS dan Rusia.