Tak sedikit yang resah menghadapi situasi di negeri ini. Mengapa di Indonesia tercinta ada saja permasalahan, termasuk yang terakhir mengenai situasi penelitian kita. Sempat terpikir, mungkinkah itu suratan takdir?
Tulisan Sulistyowati Irianto, ”Matinya Masyarakat Ilmiah”, di harian Kompas (7/1/2022) menganalisis dinamika riset di Indonesia dan menggambarkan tantangan yang kompleks. Utamanya pada persoalan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Namun, permasalahan tata kelola dan manajemen melahirkan efek domino.
Mulai dari tercerabutnya kebebasan akademik, matinya budaya ilmiah, hingga hilangnya roh ilmuwan. Sebagai masyarakat awam, terpikir bahwa kondisi tersebut tak lepas dari relasi sains dan politik. Ada hal yang belum beres dalam pendewasaan sikap politik terhadap pengembangan kebijakan sains dan teknologi, yang harus diakui tak menjadi arus utama.
Akhirnya yang terjadi adalah tumpang-tindih dengan munculnya desentralisasi. Jacques Ellul lewat esainya, ”Masyarakat Teknologi”, di bunga rampai Teknologi dan Kebudayaannya (YOI, 1983), mengingatkan bahwa desentralisasi bisa bermasalah bagi sebuah negara. Ia dapat membuat negara berdalih pencapaian kepentingan, lalu membuat pengaturan yang bersifat otoriter.
Perlu kerendahan hati dari berbagai kalangan yang memiliki tanggung jawab akan memijah kebernalaran bangsa dalam urusan iptek. Kita juga paham, iptek tidak bisa berdiri sendiri. Ia butuh sokongan aspek lain, baik itu pendidikan, budaya, sosial, politik, hukum, maupun ekonomi. Perlu transdisiplin dan kolaborasi ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan banyak orang.
Kesadaran muncul agar tak sebatas ucapan penuh klise dan sloganistik baik atas nama bangsa maupun negara. Persis yang pernah ditulis astronom dan ahli filsafat Karlina Supelli dalam esainya, ”Keindahan, Kebebasan untuk Menyangsikan dan Kegentaran Publik” (2001).
Konsep ”kepentingan publik” sering kali terpolitisasi dan menjadikan ilmu pengetahuan tak teramalkan. Semoga segera ada jalan dalam memecah kebuntuan.
Joko Haryono
Penjual Buku; Jl Slamet Riyadi, Laweyan, Solo
Tulisan Dobel
Saya pelanggan Kompas sejak masih kuliah tahun 1998. Saya berlangganan di loper koran terdekat saat di Palembang ataupun setelah di Tangerang, Banten, dan Bogor.
Halaman Opini Kompas menjadi rubrik yang memperkaya wawasan kami mahasiswa yang ketika itu aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, seperti Senat Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Jurusan, dan organisasi ekstra kampus lainnya.
Beberapa bulan terakhir saya menemukan artikel ganda di rubrik Opini Kompas. Jumat (7/1/2022), artikel berjudul ”BRIN Tanpa ’Brain’” karya Carunia Mulya Firdausy terbit dengan judul sama di media online Rakyat Merdeka dengan penulis Herman Suherman (4/1/2022).
Demikian juga pada artikel berjudul ”’Quo Vadis’ BPPT di Era Ekonomi Inovasi” karya Hammam Riza (21/8/2021) terbit pada hari yang sama di Media Indonesia.
Apakah kebijakan Kompas sekarang memungkinkan artikel yang sama terbit di media lain? Terima kasih.
Destika Cahyana
Perumahan Taman Melati, Pengasinan, Depok
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas informasi yang Saudara sampaikan. Hingga saat ini, kebijakan Redaksi Kompas adalah tidak menerima artikel yang juga dikirim ke media lain. Kami berusaha untuk mengecek terlebih dahulu agar artikel hanya dimuat di Kompas, tetapi adakalanya lolos dari kami. Kami mohon maaf atas kejadian tersebut dan sekaligus mengingatkan para penulis untuk tidak mengirim tulisan serupa ke media lain apabila mengirim tulisan ke Redaksi Kompas.