Evolusi Kloset dan Tinja di Selokan
Jika kau sekarang bisa duduk di kloset sambil menonton serial terbaru di Netflix atau bahkan sambil mengikuti webinar, itu karena evolusi toilet dan kloset yang telah berjalan berabad-abad.
Sepertinya dari awal harus kuperingatkan kepadamu, tulisan ini akan sedikit jorok, bahkan menjijikkan. Oleh karena itu kusarankan sebaiknya tidak sambil makan ketika membacanya. Sangat besar kemungkinan kau akan merasa mual, syukur-syukur tidak muntah.
Begini. Di kampung sebelah ada lelaki paruh baya bernama Pak Taris. Menurut ingatan masa kecilku pada tahun 1970-an, ia bernama lengkap Mutaris. Ke mana-mana Mutaris selalu mengenakan kopiah dan sarung. Selain itu, tubuhnya yang tinggi dan besar membuatnya mudah dikenali. Sebagai perantau Mutaris bekerja menjadi pedagang. Pertama-tama berjualan soto ayam Madura di perempatan dekat rumahku, lalu terakhir menjajakan lontong tahu.
Nah, lontong tahunya termasuk enak dengan paduan bumbu kacang plus petis. Padahal sayurnya cuma tauge rebus plus remahan kerupuk kampung. Bapak termasuk yang paling sering minta dibelikan lontong tahu Mutaris. Oh ya, meski sebutannya lontong tahu, sebenarnya Mutaris menggunakan ketupat yang dibalut dari janur. Begitulah sering kali warga di desaku yang menjadi langganan Pak Mutaris menyebutnya sebagai lontong tahu.
Sebelum membuka rombong jualannya di siang hari, setiap pagi Pak Mutaris bersama beberapa perantau lainnya beriringan mendatangi selokan irigasi di barat kampung. Pada sebuah empang kecil terdapat beton pembagi air menuju sawah-sawah petani, Pak Mutaris bersama rombongannya selalu berjongkok. Mereka berderet-deret membuang hajat di selokan irigasi para petani.
Kami anak-anak desa, di masa itu, biasanya suka mandi di sebuah empang seukuran kolam ikan lele di bagian hilir. Oleh karena itu, tidak jarang kami menemukan tinja yang hanyut beriringan. Biasanya, tinja yang paling besar dan panjang mengambang di bagian belakang. Jika sudah begitu, kami berteriak-teriak, ”Awas ada tahi…. Ada tahi…. Itu tahi Pak Taris...”
Kami mengidentifikasi tinja yang paling besar dan panjang milik Pak Mutaris mengingat tubuhnya yang tinggi dan besar pula. Para petani, termasuk Bapak, sering kali pula menyebut hal yang sama. Jika di pengalapan, hulu sawah, tempat air biasanya mengalir menggenangi sawah, terdapat tinja panjang dan besar, Bapak selalu mengumpat, ”Kakin, ini pasti ulah Si Mutaris itu….” Kata ”kakin” itu khas umpatan orangtua untuk menyatakan kesal walau sampai sekarang tak jelas benar maknanya.
Jika dalam beberapa hari kami tidak menemukan tinja yang panjang dan besar, kami bisa memastikan bahwa Pak Taris sedang tidak berada di kampungnya. Bisa jadi ia pulang ke Jawa Timur atau mungkin memiliki urusan penting yang membuatnya harus keluar kampung. Kami pun terkadang melongok ke lokasi berjualannya, dan memang benar ia tidak sedang berjualan.
Kebiasaan selama ini, Raja selalu membuang hajat di kebun belakang kerajaan.
Persoalan tahi ini sudah diceritakan dalam sebuah dongeng di desaku. Seorang abdi raja bernama I Belog selalu diberi perintah oleh Raja bahwa ia tidak boleh mendahului rajanya jika sedang berjalan. Tugasnya adalah menjadi pengiring Raja. Karena itu harus selalu mengambil posisi di belakang. Dalam satu perjalanan ke tengah hutan untuk berburu, Raja sakit perut. Kebiasaan selama ini, Raja selalu membuang hajat di kebun belakang kerajaan.
”Belog, di mana aku harus buang hajat. Perutku sangat sakit,” kata Raja.
”Kalau Tuan buang hajat di kebun, hamba tidak bisa menunjukkan rasa bakti seorang abdi,” kata Belog.
”Maksudmu?”
”Kita cari sungai, hamba akan mengiringi Tuan.”
Tanpa pikir panjang Raja berkenan menuju sebuah sungai kecil. Aliran airnya jernih cukup deras. Bahkan terdengar gemeletuk bebatuan yang beradu karena didera arus air terus-menerus.
”Nah Tuanku bisa ambil posisi di dekat batu besar itu. Hamba sebelah sana,” kata Belog.
Raja berjongkok di bagian hilir sambil membuang hajat, sementara I Belog buang hajat di bagian hulu raja. Tak berapa lama, Raja berteriak, ”Belog mengapa kau buang hajat di sana. Ini tahimu mengarah kepadaku… Lihat kakiku tersangkut tahi milikmu.”
Dengan santai Belog bilang, ”Sebagai abdi hamba harus selalu mengiring di belakang Raja, bukan? Nah, tahi hamba akan selalu berada di belakang tahi Tuanku, ketika hanyut menuju hilir. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang abdi?”
Raja tercekat. Ia tidak bisa berkata-kata. I Belog, dari namanya memang berarti ”bodoh”, tetapi kebodohannya selalu berhasil menjebak perkataan dan perintah Raja.
Kupikir sejak zaman dongeng di masa lalu, orang-orang, termasuk raja, terbiasa membuang hajat di sungai atau di kebun. Barangkali kau ingat tentang wabah sampar yang menyerang kota London dalam beberapa periode waktu. Terakhir kota itu luluh lantak disergap sampar pada September 1665. Tak kurang sekitar 100.000 warga kota itu dikabarkan meninggal. Kutu tikus dituding sebagai penyebar bakteri Yersinia pestis. London bahkan pada tahun 1346-1353 telah mengalami gelombang pertama serangan sampar atau pes.
Sungai Thames sudah menjadi sungai yang berbau tinja. Padahal, di sisi sungai itu terdapat gedung parlemen Inggris.
Banyak pendapat yang menyebutkan, pangkal soal tikus menguasai kota London karena pengelolaan sanitasi yang buruk. Pada abad ke-17, orang-orang London yang tinggal di apartemen tinggi membuang tinja dengan bungkus-bungkus plastik ke Sungai Thames, yang membelah kota itu. Sampai-sampai tahun 1858 terjadi tragedi The Great Stink, di mana pemerintah kota memaksa penduduk mengikuti sistem pembuangan tinja yang telah dirancang pemerintah. Sebabnya, Sungai Thames sudah menjadi sungai yang berbau tinja. Padahal di sisi sungai itu terdapat gedung parlemen Inggris.
Kejorokan itu ditambah pula dengan kekacauan pembuangan jenazah korban pes di beberapa bagian Sungai Thames. Selain berbau tinja, Thames juga menjadi sumber bau busuk yang berasal dari mayat-mayat korban sampar.
Kenyataan yang serupa terjadi di delta Sungai Gangga. Pada 1817-1824 wabah kolera mulai merebak di negara itu, menyerang kota-kota, seperti Kolkata dan Dhaka (sekarang Bangladesh), lalu merambat ke Burma dan Sri Lanka. Tahun 1819 kolera tercatat telah masuk Pulau Jawa di Hindia Belanda. Penyakit ini juga merebak karena pengelolaan sanitasi yang buruk. Orang-orang yang menghadiri ritual Kumbh Mella di kota Jessore berhadapan dengan sistem sanitasi yang buruk. Lagi-lagi kotoran manusia menjadi pangkal soalnya.
Baca juga: 1.000 Jamban dari Ibu Negara
Sejarah pandemi yang panjang akibat sanitasi yang buruk mendorong pemerintahan Orde Baru menggulirkan program jambanisasi. Aku ingat di rumahku tergeletak banyak sekali jamban karena Bapak menjadi salah satu perangkat desa. Kami juga akhirnya memiliki toilet pertama, yang letaknya terpisah dengan rumah. Bahkan jauh di kebun belakang di antara pohon pisang.
Kotoran yang terkumpul kemudian dilemparkan begitu saja dari jendela apartemen karena warga malas turun ke tempat pembuangan tinja
Program jambanisasi tak sekadar menyerahkan jamban lalu membangun kakus di masing-masing rumah. Persoalan sesungguhnya adalah mengubah kebiasaan buang hajat di selokan, sungai, atau kebun. Dan bagian inilah yang paling susah. Pemerintah kota London sampai-sampai mendenda warganya yang kedapatan membuang tinja dengan melemparkannya dari jendela ke sungai. Pada pertengahan abad ke-18 kebiasaan warga yang tinggal di apartemen-apartemen membuang hajat dengan menggunakan pispot di kamarnya. Kotoran yang terkumpul kemudian dilemparkan begitu saja dari jendela apartemen karena warga malas turun ke tempat pembuangan tinja.
Mengubah kebiasaan dari membuang hajat di kebun atau sungai sungguh bukan perkara mudah. Pada tahun itu, hampir tak ada warga yang mau membuat toilet di dalam rumahnya sendiri, sebagaimana kini kau biasa saksikan. Kakus-kakus yang terpisah jauh di kebun adalah seperti proses transisi, tempat warga masih merasa membuang tinja di kebun, tetapi telah ditampung di sebuah bilik tersendiri. Masalahnya, air penyiram jamban yang terkadang harus diangkut dengan ember dan itu dianggap merepotkan.
Baca juga: Untung Ada Kredit Jamban
Warga perantauan, seperti Pak Mutaris dan para perantau lainnya, tetap menganggap membuang hajat di selokan jauh lebih efektif. Tak perlu menyiram dan bebas dari pengap bau bilik kakus. Sampai pertengahan tahun 1980-an, ketika aku sudah meninggalkan desa untuk bersekolah, menurut cerita adik-adik sepupuku, tahi Pak Mutaris masih menjadi isu yang diceritakan dari mulut ke mulut. Tak jarang para ibu, yang dagangannya berdekatan dengan empang di mana dulu aku sering mandi, mengumpat-umpat karena bau yang menguar. Ketika air selokan surut karena dibendung di bagian hulu oleh para petani, tinja-tinja itu terdampar di antara rerumputan dan kemudian lengket di tanah.
Suatu hari santer terdengar isu, jika Pak Mutaris tak segera mengubah kebiasaannya dalam membuang hajat, warga desaku tidak akan berbelanja lontong tahu kepadanya. Bahkan disebut-sebut lontong tahu jualan Pak Mutaris telah tercemar kotoran. Banyak di antara para pembelinya yang kemudian kedapatan menderita sakit muntaber, kata isu itu.
Warga perantauan, seperti Pak Mutaris dan para perantau lainnya, tetap menganggap membuang hajat di selokan jauh lebih efektif.
Sejak itu jualan Pak Mutaris bertambah sepi. Sebagai pedagang kecil yang mengandalkan hidup hariannya dari berjualan makanan tentu Pak Mutaris kelabakan. Ketika sesekali pulang kampung, Pak Mutaris tetap mangkal di perempatan dekat rumahku, tetapi tidak lagi berjualan lontong tahu. Ia berjualan es sirup. Penggantian menu dagangan itu pun rupanya tak cukup kuat untuk mengerek pembeli. Tetap saja Pak Mutaris kesepian, sampai akhirnya aku dengar ia pulang kembali ke kampungnya di Jawa Timur.
Soal pembiasaan manusia membuang hajat di dalam kakus membutuhkan waktu berabad-abad. Orang-orang Mesir Kuno telah lama memanfaatkan parit sebagai saluran pembuatan tinja. Parit-parit di Mohenjodaro di lembah Sungai Indus, Provinsi Sind, Pakistan, telah lama dimanfaatkan sebagai kakus. Tetapi kloset yang dibuat dalam peradaban Romawi kuno dianggap sebagai model kloset pertama di dunia. Tahun 1596 sesungguhnya Sir John Harington telah menemukan desain kloset bilas. Kloset Harington telah menggunakan bejana penampung tinja dan tangki air untuk menyiram. Tetapi karena masih menguarkan bau tak sedap, kloset ini tidak populer.
Baca juga: Masalah Sanitasi Bukan Semata Soal Teknis
Tahun 1775 Alexander Cummings menemukan kloset bilas tak berbau yang kemudian disebut valve closet. Rahasianya, kloset ini menggunakan saluran pembuangan berbentuk leher angsa atau menyerupai huruf ”S”. Cummings mendesain agar air tetap menggenang di permukaan kloset untuk menghalangi bau yang keluar dari dalam bak penampungan. Lalu tahun 1889, barulah Bostell mendesain kloset bilas wash down, yang bentuk dan fungsinya mirip seperti yang kita kenal sekarang.
Sebelum desain-desain kloset yang ditempatkan di bilik kakus berkembang, kota-kota yang padat penduduk sejak abad pertengahan seperti London mengumpulkan tinja di satu lokasi khusus. Pada malam hari beberapa orang pekerja mengangkut tinja-tinja itu dengan cara dipikul untuk dibuang ke pembuangan akhir. Sejak itulah dikenal istilah ”kotoran malam”. Artinya, aktivitas pengangkutan tinja dari kolam penampung sementara menuju pembuangan akhir. Tentu saja pengangkutan itu justru menebarkan bau tak sedap di seluruh penjuru kota.
Sekarang ketika sesekali pulang kampung, jarang kutemukan tinja mengambang di saluran irigasi para petani. Warga perantauan di mana dulu Pak Mutaris tinggal, sebagian besar sudah memiliki kakus atau lebih populer disebut toilet. Jadi butuh sekitar 50 tahun alias setengah abad, untuk ”memberadabkan” warga agar membuang hajat di toilet rumah masing-masing.
Waktu sepanjang itu, belum apa-apa jika dibandingkan sejak Ratu Elisabeth I menggunakan kloset siram pertama buatan Harrington. Terhitung 200 tahun setelah itu, barulah kloset bisa digunakan sebagai sarana utama sanitasi umum.
Jadi jika kau sekarang bisa duduk di kloset sambil menonton serial terbaru di Netflix atau bahkan sambil mengikuti webinar dengan sekumpulan orang di kejauhan sana, itu karena evolusi toilet dan kloset yang telah berjalan berabad-abad. Jika setelah itu kemudian kau lupa menge-flush klosetmu, nah, itu bisa dicap kurang beradab. Apa bedanya dengan Pak Mutaris?