Kebijakan makroprudensial BI tetap perlu disinergikan dengan kebijakan pemerintah dan OJK agar dapat memberikan dampak optimal pada perbaikan ekonomi menuju ekonomi Indonesia yang kuat dan berdaya tahan.
Oleh
ARDHIENUS
·5 menit baca
Perbankan nasional sedang menghadapi tantangan berupa fungsi intermediasi yang belum optimal di tengah likuiditas melimpah dan modal yang kokoh. Ini ditandai dengan laju penyaluran kredit yang masih bergerak pelan.
BI mencatat kredit yang dikucurkan perbankan pada Oktober 2021 baru tumbuh 3,24 persen secara tahunan (yoy). Sementara rasio alat likuid terhadap Dana Pihak Ketiga dan permodalan masing- masing 34,05 persen dan 25,30 persen. Meski kredit tumbuh rendah, capaian ini lebih baik dibanding Oktober 2020 yang tumbuh minus 0,47 persen.
Laju kredit yang rendah itu tentu belum cukup guna menopang pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Sebabnya, sumber pembiayaan pembangunan masih bertumpu pada gelontoran kredit perbankan. Di sisi lain, hasil survei BI November 2021 menunjukkan permintaan dan penyaluran kredit korporasi terindikasi meningkat. Ini berarti perbankan nasional masih perlu didorong melalui berbagai kebijakan agar aliran kredit bisa mengucur deras.
Sementara itu, dinamika kondisi ekonomi global mulai menunjukkan tanda-tanda era normalisasi kebijakan moneter longgar. Banyak bank sentral di seluruh dunia mulai mengganti arah haluan dengan mengurangi suntikan likuiditas dan meningkatkan suku bunga acuan.
Bahkan bank sentral AS, The Fed, yang merupakan rujukan bank sentral di seluruh dunia telah memutuskan mempercepat penghentian suntikan likuiditas sampai pada Maret 2022 dan menaikkan suku bunga hingga tiga kali pada 2022.
Laju kredit yang rendah itu tentu belum cukup guna menopang pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
Kondisi eksternal ini membuat respons kebijakan moneter BI pada masa datang lebih difokuskan pada kebutuhan stabilitas (pro-stability), sebagaimana ditegaskan Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia, 23 November 2021. Kebutuhan pro-stability mendorong ditahannya pergerakan suku bunga acuan pada level rendah sejak pandemi sampai muncul tanda-tanda kenaikan inflasi.
Meski begitu, BI tetap memperhatikan kebutuhan pertumbuhan (pro-growth). Dan untuk memenuhi itu, BI meracik kebijakan makroprudensial sebagai bagian dari bauran kebijakan BI, selain kebijakan sistem pembayaran, pendalaman pasar uang dan percepatan digitalisasi ekonomi keuangan yang inklusif dan berkelanjutan.
Menyasar UMKM
Sepanjang 2021, kebijakan makroprudensial untuk mendo -rong penyaluran kredit telah dikeluarkan BI dalam bentuk kebijakan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial/RPIM. Kebijakan yang mulai berlaku pada 2022 ini akan menyasar kredit sektor UMKM, masyarakat berpendapatan rendah serta pembiyaan inklusif lainnya.
Pilihan pada sektor UMKM sungguh tepat karena UMKM memiliki peran signifikan dalam perekonomian Indonesia. Data Kemenkop UMKM 2019 menunjukkan sektor UMKM memiliki pangsa pasar 99 persen, menyerap tenaga kerja 96,92 persen, dan berkontribusi terhadap PDB 57,1 persen.
Di tengah pandemi, UMKM perlu uluran tangan dari berbagai pihak, salah satunya berupa pembiayaan atau permodalan. Menurut catatan BI, potensi pembiayaan ke sektor UMKM sangat besar mencapai Rp 1.605 triliun, meliputi usaha mikro Rp 331 triliun, usaha kecil Rp 534 triliun dan usaha menengah Rp 740 triliun.
Kebijakan RPIM juga telah memperluas opsi bank untuk membiayai UMKM melalui berbagai saluran. Tak hanya kredit langsung ke UMKM, namun bisa juga melalui jalur rantai pasok, lembaga keuangan dan badan layanan yang menyalurkan kredit ke UMKM seperti PT Pegadaian dan PT Permodalan Nasional Madani, dan pembelian surat berharga pembiayaan inklusif (SBPI) yang diterbitkan pemerintah, BI, bank, lembaga dan/atau badan usaha yang memiliki program pengembangan UMKM dan pembiayaan inklusif di Indonesia.
Dengan begitu, bank yang tak memiliki kompetensi dalam penyaluran kredit secara langsung ke UMKM atau model bisnisnya tidak pada sektor UMKM, dapat tetap berpartisipasi melalui jalur rantai pasok, lembaga keuangan dan badan layangan, dan pembelian SBPI.
Di sektor properti, BI juga telah memperpanjang kebijakan pelonggaran rasio loan to value (LTV) untuk kredit properti paling tinggi 100 persen untuk seluruh jenis kredit properti seperti rumah tapak, rumah susun serta ruko/rukan, dan ketentuan uang muka untuk kredit kendaraan bermotor menjadi paling sedikit nol persen, hingga Desember 2022.
Kebijakan yang dikeluarkan di triwulan I-2021 ini dinilai cukup berkontribusi dalam mendorong pertumbuhan kredit properti, terutama kredit pemilikan rumah (KPR) pada level cukup tinggi mencapai 9,6 persen (yoy) Oktober 2021.
Sektor properti merupakan salah satu sektor strategis bagi perekonomian dengan kontribusi mencapai 13,6 persen terhadap PDB Indonesia di 2020.
Akselerasi di sektor properti berarti banyak industri yang jadi bagian dari rantai pasok juga akan pulih dan pada gilirannya akan membuka kembali lapangan kerja yang cukup besar.
Kebijakan di 2022
Menurut Asisten Gubernur BI Juda Agung dalam acara bincang-bincang BI bersama masyarakat (BIRAMA), 2 Desember 2021, BI sedang menggodok insentif untuk perbankan yang menyalurkan kredit di sektor ekonomi hijau seperti kredit pada energi surya, angin dan kendaraan listrik. Insentif ini ditujukan untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan hijau. Kebijakan ini rangkaian respons BI dalam menghadapi perubahan iklim, setelah sebelumnya meluncurkan kebijakan kredit properti dan kendaraan bermotor berwawasan lingkungan pada 2019.
Kebutuhan kredit untuk pengembangan ekonomi hijau memiliki potensi sangat besar.
Kebutuhan kredit untuk pengembangan ekonomi hijau memiliki potensi sangat besar. Misalnya, menurut laporan Indonesia Energi Transition Outlook (IETO) 2022, pengembangan energi terbarukan butuh pendanaan 25 miliar dollar AS-35 miliar dollar AS (setara Rp 350 triliun-Rp 490 triliun) per tahun hingga 2030. Kebutuhan ini akan meningkat menjadi 45 miliar dollar AS-60 miliar dollar AS (setara Rp 630 triliun-Rp 840 triliun) setelah 2030 hingga 2050.
Pengembangan ekonomi dan keuangan hijau juga telah menjadi tuntutan global. Mau tidak mau Indonesia harus melakukan itu. Bila tidak, Indonesia akan dikucilkan dan terekspos risiko seperti adanya hambatan ekspor unggulan akibat pajak karbon dan akses keuangan global yang semakin terbatas.
Tentu saja kebijakan makroprudensial BI tetap perlu disinergikan dengan kebijakan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar dapat memberikan dampak optimal pada perbaikan ekonomi menuju ekonomi Indonesia yang kuat dan berdaya tahan.
ArdhienusAnalis Senior di Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Bank Indonesia