Perlu evaluasi serius terhadap pembentukan undang-undang. Apalagi waktu DPR dan presiden tinggal dua tahun lagi. Padahal, mendekati tahun politik 2024, partai-partai politik akan disibukkan agenda pemenangan pemilu.
Oleh
Muhammad Naufal
·3 menit baca
Kompas/Priyombodo
Instalasi pakaian kekerasan seksual menghiasi pagar Gedung DPR, Jakarta, saat berlangsung unjuk rasa memperingati Hari Ibu, Rabu (22/12/2021). Pengunjuk rasa dari berbagai aliansi perempuan ini menuntut pengesahan terhadap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Menarik menanggapi tulisan Ibu Bivitri Susanti (Kompas, 6/1/2022) berjudul ”Legislasi untuk Siapa”. Kita harus sadar betul bahwa proses legislasi kita sedang tidak baik-baik saja. Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024 sebanyak 221 RUU baru 10 rampung.
Tidak sedikit pula legislasi yang disahkan justru berseberangan dengan kehendak rakyat. Contohnya UU KPK dan Omnibus Law. Legislasi yang mendesak malah mandek prosesnya. Bahkan, RUU PDP (Perlindungan Data Pribadi) masih diwarnai perdebatan alot antara DPR dan pemerintah terkait lembaga otoritas data, padahal kebobolan data pribadi terus terjadi.
Demikian pula RUU Perampasan Aset selalu masuk dua Prolegnas jangka menengah terakhir, tetapi selalu terpental di Prolegnas prioritas tahunan. RUU Pemilu, khususnya Pasal 222 UU No 7/2017 terkait dengan presidential threshold yang ditentang berbagai kalangan justru ditarik dari Prolegnas 2021.
Oleh karena itu, dibutuhkan evaluasi serius terhadap pembentukan undang-undang. Apalagi waktu DPR dan presiden tinggal dua tahun lagi. Sementara di sisi lain, mendekati tahun politik 2024, partai-partai politik akan disibukkan pada agenda pemenangan pemilu.
Bivitri menyoal ketersambungan lembaga perwakilan dengan masyarakat. Pernyataan ini diafirmasi oleh survei tingkat kepercayaan terhadap institusi negara yang dirilis Indikator Politik, Desember 2021. Hasilnya, DPR dan partai politik menempati posisi paling buncit.
Menarik ditunggu, dari 40 RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2022, berapa banyak RUU yang dapat disahkan? Semoga DPR mencapai target dan sesuai aspirasi rakyat.
Muhammad Naufal
Jalan Serut, Kayu Putih, Pulogadung, Jakarta Timur
Tanggapan Nasdem
Tulisan Moch Nurhasim, peneliti Pusat Riset Politik BRIN berjudul ”Votalitas Elektabilitas Parpol” (Kompas, 12/11/2021) perlu diluruskan.
Kesalahan ada dalam paragraf ke-7 yang berbunyi ”Stagnasi suara PDI-P dan Gerindra juga beberapa partai tengah, seperti Nasdem dan PKS pada Pemilu 2019, menyebabkan sebaran suara pemilu, bukan pengerucutan suara pemilu”.
Kata ”stagnasi”, menurut KBBI, berarti keadaan terhenti (tidak bergerak, tidak aktif, tidak jalan). Artinya, kata stagnasi untuk menunjukkan bahwa perolehan suara PDI-P, Gerindra, Nasdem, dan PKS itu jalan di tempat. Kalaupun meningkat, sangat lambat.
Perlu saya informasikan bahwa Partai Nasdem, berdasarkan data dan fakta, meningkat signifikan, baik dalam aspek perolehan suara maupun perolehan kursi pada Pemilu 2019 dibandingkan dengan Pemilu 2014. Jadi, pernyataan di opini Moch Nurhasim itu tidak benar.
Pada Pemilu 2019, Nasdem mendapat 12.661.792 suara dibandingkan dengan tahun 2014 sebesar 8.402.812 suara. Naik 50,68 persen sehingga tidak tepat kalau disebut stagnasi.
Kursi DPR RI yang diperoleh Nasdem dari Pemilu 2019 adalah 59 kursi, sedangkan 2014 hanya 36 kursi. Naik 63,88 persen, kursi terbanyak keempat di DPR.
Charles Meikyansah
Ketua DPP Partai Nasdem Bidang Media
dan Komunikasi Publik; Anggota DPR RI
Ralat
KOMPAS/KARINA ISNA IRAWAN
Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Loto Srinaita Ginting
Dalam opini ”Tantangan Manajemen Utang” (Kompas, 30/12/2021), saya menyebutkan bahwa di Indonesia, utang luar negeri ditangani oleh Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan (Cyrillus Harinowo, 2002).
Kemudian ada informasi bahwa hal itu kurang pas. Setelah saya cek, ternyata kini sudah ada ditjen yang khusus mengelola utang, yakni Ditjen Pengelolaan Utang (DJPU), Kemenkeu. DJPU kemudian berubah menjadi Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) sesuai Peraturan Presiden No 28/2015.
Saya mohon maaf dan menjadi pelajaran berharga untuk cek ulang ke depan.