Berapa pun harga yang akan ditetapkan untuk membeli vaksin, menjual vaksin penguat adalah kebijakan yang salah kaprah dan tidak etis. Di masa pandemi, vaksin adalah barang publik yang harus tersedia dan mudah diakses.
Oleh
IRMA HIDAYANA
·5 menit baca
Negara-negara yang tengah dilanda gelombang baru Covid-19 menggalakkan vaksin penguat (booster). Suntikan dosis ketiga vaksin Covid-19 ini diyakini mampu memperkuat perlindungan terhadap infeksi akibat varian Omicron. Studi interim menunjukkan pemberian dosis ketiga vaksin Covid-19 diperlukan karena kekebalan yang diperoleh dari kedua dosis sebelumnya akan menyusut seiring berjalannya waktu.
Namun dalam konteks Indonesia, program vaksinasi booster yang akan diselenggarakan awal Januari 2022 belum tentu efektif menghadapi ancaman gelombang baru Covid-19. Bahkan bisa kian mempertajam kesenjangan perlindungan akibat infeksi korona, apalagi ada skema berbayar.
Mengapa? Sebab kesenjangan vaksinasi di Tanah Air masih relatif besar. ”Mantra” WHO bahwa no one is safe until everyone is safe atau tidak ada yang selamat hingga semua orang selamat berlaku untuk vaksin penguat. Artinya, selama pandemi masih terjadi, semua manusia penghuni Bumi belum bisa terlindungi jika yang lainnya belum mendapatkan vaksinasi.
Karena itu, WHO mengingatkan, negara yang cakupan vaksinasi kelompok rentannya masih rendah, vaksin penguat tak dianjurkan dilakukan. Pemberian vaksin dosis pertama dan kedualah yang harus dikejar sebelum vaksin penguat.
Indonesia mungkin termasuk yang harus mengejar capaian vaksinasi dosis primer pertama dan kedua sebelum memberikan booster.
Indonesia mungkin termasuk yang harus mengejar capaian vaksinasi dosis primer pertama dan kedua sebelum memberikan booster. WHO telah beberapa kali menekankan, keberhasilan vaksinasi bukan hanya dilihat dari jumlah cakupan, melainkan siapa yang mendapatkan vaksinasi.
Hingga 24 Desember 2021, sekitar 156 juta penduduk Indonesia telah mendapatkan dosis lengkap vaksin. Sementara sekitar 110 juta orang atau 53 persen dari total target vaksinasi (bukan total jumlah penduduk) telah menerima dosis lengkap. Meski terlihat besar, tetapi belum tepat sasaran. Karena vaksinasi lansia dan kelompok rentan lainnya masih rendah.
Selama pandemi masih berlangsung, sesuai anjuran WHO, vaksinasi harus diberikan kepada kelompok yang paling rentan terinfeksi terlebih dahulu untuk memastikan perlindungan yang baik. Dimulai dari tenaga kesehatan, lansia, mereka yang memiliki gangguan kesehatan tertentu, penyandang disabilitas, ibu hamil, dan anak-anak. Menyusul setelahnya masyarakat yang masuk dalam kelompok non-rentan atau usia produktif, sehat, tanpa memiliki gangguan kesehatan.
Mereka yang rentan terinfeksi diprioritaskan karena pertahanan tubuhnya melawan perusakan organ dan keparahan akibat infeksi virus jauh lebih lemah sehingga kemungkinan terjadi keparahan dan kematian jauh lebih tinggi.
Di luar itu, United Nation Human Rights menambahkan kelompok rentan yang harus dipastikan dapat vaksinasi adalah kelompok minoritas, miskin, masyarakat adat, kelompok LGBT, pengungsi, gelandangan, dan kaum minoritas lainnya.
Namun selama hampir setahun berjalannya vaksinasi, cakupan vaksinasi kelompok rentan, seperti lansia, masih cukup rendah. Di awal program vaksinasi perhatian khusus justru diberikan kepada mereka yang tak termasuk kelompok rentan, seperti pekerja kreatif, pekerja seni, dan pelaku ekonomi yang masih segar bugar.
Dari 21,5 juta lansia yang ditargetkan, baru 8,7 juta orang atau 40 persen sudah mendapatkan dosis lengkap. Sayangnya justru tidak ada data rinci capaian kelompok rentan lainnya. Data tentang jumlah capaian kelompok rentan selain lansia digabung dengan masyarakat umum lain sehingga mengaburkan data cakupan masing-masing kelompok
Ini semua menggambarkan beban pemerintah yang harus diselesaikan segera sebelum memulai program pemberian vaksin penguat untuk masyarakat umum. Pelaksanaan vaksinasi booster untuk umum saat jumlah kelompok rentan yang sama sekali belum mendapatkan vaksin masih cukup besar hanya akan memperlebar kesenjangan. Menempatkan yang rentan semakin mudah terinfeksi, semakin dekat dengan keparahan, serta kemungkinan ancaman kematian. Pada akhirnya justru memperlama Indonesia berada di masa pandemi.
Vaksin penguat berbayar
Selain itu, rencana kebijakan vaksin penguat berbayar justru menghambat penguatan kekebalan populasi dan melemahkan perlindungan dari ancaman infeksi. Awal September lalu, baik Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin maupun Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah menyampaikan bahwa skema vaksin penguat gratis hanya akan diberikan kepada lansia dan peserta penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan. Siapa saja yang masuk peserta PBI?
Menurut Pasal 14 Ayat 2 UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, penerima bantuan iuran adalah fakir miskin dan orang tak mampu, dengan catatan, mereka memiliki nomor induk kependudukan dan terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Pemerintah juga berencana memberikan vaksin gratis kepada anak-anak usia 11-12 tahun. Total, vaksinasi gratis akan diberikan ke sekitar 137,2 juta jiwa. Selebihnya masyarakat yang tak masuk dalam kategori lansia dan fakir miskin penerima PBI harus membayar dari kantong masing-masing. Sehingga, lebih dari 70 juta penduduk sasaran penerima vaksin harus merogoh kantong pribadi guna mendapatkan vaksin penguat.
Berapa pun harga yang akan ditetapkan untuk membeli vaksin, menjual vaksin penguat adalah kebijakan yang salah kaprah dan tidak etis.
Berapa pun harga yang akan ditetapkan untuk membeli vaksin, menjual vaksin penguat adalah kebijakan yang salah kaprah dan tidak etis. Di masa pandemi, vaksin adalah barang publik (public goods) yang bersifat non-excludable atau tak akan mungkin mencegah siapa pun menerima manfaat si vaksin. Sidang Kesehatan Dunia (The World Health Assembly/WHA) Ke-73 pada 18 Mei 2020 menyebutkan bahwa vaksin Covid-19 adalah barang publik yang diperlukan untuk mencegah, menekan, dan menghentikan penularan.
Karenanya public goods harus tersedia dan mudah diakses oleh semua. Skema vaksin berbayar sangat memungkinkan menjadi faktor penghambat vaksinasi bagi mereka yang tak mampu. Ini bertentangan dengan resolusi WHA ke 73/2020.
Selain itu, rencana kebijakan skema vaksin penguat berbayar melanggar janji pemerintah kepada dunia untuk menjamin bahwa vaksin Covid-19 diberikan secara gratis. Menlu RI Retno Marsudi bersama lebih dari 150 perwakilan negara dan organisasi lain juga sudah menandatangani komitmen bersama, The People’s Vaccine, untuk menjamin vaksin diberikan secara gratis, terutama kepada tenaga kesehatan, kelompok rentan, dan mereka yang miskin untuk menyelamatkan kehidupan warga. Rencana skema vaksin penguat berbayar otomatis mencederai komitmen Pemerintah Indonesia.
Irma Hidayana,Co-initiator LaporCovid19, Pengajar Kesehatan Masyarakat di St Lawrence University, AS.