Pemilihan Bali adalah tepat. Kita contohkan Thailand yang dalam 20 tahun terakhir menguasai 40 persen wisata kesehatan dunia. Sisanya, 40 persen, dipegang Singapura dan India, 20 persen lagi terbagi di beberapa negara.
Oleh
Hadisudjono Sastrosatomo
·5 menit baca
Pembukaan suatu rumah sakit dalam Kawasan Ekonomi Khusus Kesehatan—diharapkan menerapkan standar internasional dengan kerja sama Mayo Clinic Amerika Serikat—adalah keputusan tepat meski sangat terlambat.
Sejak puluhan tahun lalu masyarakat kesehatan, khususnya para dokter, mengusulkan hal ini. Bersyukur di pengujung pemerintahannya, Presiden Jokowi menangkap potensi ini dan berupaya mewujudkannya.
Pemilihan Bali adalah tepat. Kita ambil contoh Thailand yang dalam 20 tahun terakhir menguasai 40 persen wisata kesehatan dunia. Sisanya, 40 persen, dipegang Singapura dan India, 20 persen lagi terbagi di beberapa negara.
Thailand memulai dengan mengandalkan kekuatan jenis wisata khas lokal, yaitu pijat Thai (Thai massage). Krisis pemerintahan dengan berbagai kudeta tidak berpengaruh. Kesadaran akar rumput untuk bertahan membangun kekuatan budaya bangsa dalam keseharian.
Rumah Sakit Bumrungrad Thailand adalah contoh keberhasilan dalam menanamkan kepercayaan internasional terhadap berbagai jenis pelayanan kesehatan.
Sebagai rumah sakit bertaraf internasional, RS Bumrungrad diakui dalam bentuk sertifikat akreditasi JCI, yang menilai mutu pelayanan kesehatan. Rumah Sakit Bumrungrad Thailand bermutu dalam profesi, bersaing dalam tarif, dan rapi dalam membangun kerja sama layanan kesehatan.
Thailand memiliki Kementerian Wisata dan Olahraga dan memberi definisi tentang wisata kesehatan pada 2010. Ada dua kategori, yaitu wisata promosi kesehatan dan wisata pengobatan yang lebih tepat disebut wisata medik. Intinya ada kesadaran pemerintah dan langsung mengimplementasikannya dalam bentuk kebijakan.
Mengacu pidato ulang tahun kemerdekaan Presiden Jokowi, membangun manusia Indonesia maju dan tangguh hanya terlaksana dengan meningkatkan kecerdasan dan akhlak mulia masyarakat seperti kejujuran.
Mutu manusia yang profesional menjadi inti keberhasilan upaya wisata jasa ini. Selama penyakit masyarakat tidak ditangani dengan kesungguhan, seperti korupsi, kekerasan seksual, pelanggaran HAM, etika antarmanusia, dan berbagai watak luhur lainnya, jangan berharap cita-cita di atas akan tercapai.
Hadisudjono Sastrosatomo
Anggota Tim Pengarah Etika Bisnis dan Organisasi
SS-PEBOSS–STM PPM Menteng Raya, Jakarta 12970
Alasan Berobat ke Luar Negeri
Kompas, 28/12/2021, melansir berita bahwa Indonesia kehilangan potensi pendapatan hingga Rp 97 triliun akibat banyaknya warga Indonesia yang berobat ke luar negeri.
Untuk itu, pemerintah saat ini membangun rumah sakit bertaraf internasional di Kawasan Ekonomi Khusus Kesehatan di Bali dengan luas areal 41,5 hektar.
Sebenarnya beberapa kota besar di Indonesia sudah memiliki rumah sakit bertaraf internasional, tetapi hal ini tidak menyurutkan animo masyarakat ke luar negeri. Penang, Malaysia, dan Singapura masih menjadi tujuan.
Berdasarkan pengalaman beberapa kerabat yang pernah berobat ke Penang dan Singapura, mereka mendapatkan pelayanan petugas dan dokter sangat memperhatikan pasien dan keluarga, pemeriksaan dan diagnosis penyakit yang lebih cepat dan akurat, pasien atau keluarga mendapatkan penjelasan lengkap penyakit, termasuk tindakan yang dilakukan.
Di sekitar rumah sakit juga tersedia penginapan bagi keluarga pasien yang relatif terjangkau biayanya dan bersih.
Bagi keluarga pasien, kesembuhan anggota keluarga adalah nomor satu. Meskipun demikian, pertimbangan biaya, kecepatan, dan cara penanganan menjadi alasan lain mengapa banyak warga Indonesia berobat ke luar negeri.
Selain pembangunan fisik rumah sakit bertaraf internasional, dibutuhkan pembangunan kualitas sumber daya manusia dan layanan rumah sakit untuk kebutuhan pasien.
Pangeran Toba P Hasibuan
Sei Bengawan, Medan 20121
Perilaku Aparat 1
Sungguh berita yang menyayat hati, dua remaja korban tabrakan di Nagreg bukannya dibawa ke rumah sakit, tetapi malah dibuang jauh dari tempat kejadian oleh penabrak. Mereka diperkirakan adalah tiga aparat TNI.
Seandainya betul bahwa pelakunya adalah aparat TNI, panglima TNI sepantasnya memberikan sanksi tegas sesuai aturan yang berlaku.
Agar peristiwa brutal semacam ini tidak terulang, institusi TNI perlu mengkaji ulang dan memperbaiki seleksi penerimaan, metode pendidikan, ataupun pembinaan karier anggota. Terutama yang menyangkut watak, perilaku, moral, kejiwaan, dan sifat kesatria sebagai anggota TNI. Dari tamtama, bintara, hingga ke perwira tinggi.
Pada hakikatnya TNI adalah dari rakyat dan untuk melindungi rakyat.
FX Wibisono
Jl Kumudasmoro Utara, Semarang 50148
Perilaku Aparat 2
Membaca headline Kompas, 28 Desember 2021, menambah daftar kontradiksi kisah kehidupan kemanusiaan.
TNI/Polri yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat justru jadi monster mengerikan. Oknum aparat menjadi perusak tatanan norma, mencabik keadilan, menistakan kemanusiaan.
Betapa tidak, ada anggota TNI menganiaya siswa SMP dan anggota Polri memerkosa anak dari keluarga yang sedang menghadapi kasus hukum.
TNI/Polri lahir dari masyarakat sekaligus anggota masyarakat, kenapa tidak punya rasa kemanusiaan terhadap ”rahim” yang melahirkan, tidak simpati terhadap komunitas tempat bersosialisasi?
Mungkin pola perekrutan perlu dievaluasi sebab jika proses rekrut awal bermasalah, bisa dipastikan perjalanan kedinasannya juga bermasalah.
Masyarakat yang seharusnya dilindungi malah akhirnya menjadi korban.
Perilaku TNI/Polri yang cenderung arogan mungkin dilandasi percaya diri berlebihan, merasa sebagai masyarakat kelas satu, sipil kelas dua.
Lihat contoh pola berlalu lintas di jalan raya, seakan jadi pemilik fasilitas publik, minta diistimewakan. Padahal, biaya operasional TNI/Polri dibiayai negara dari uang rakyat.
Sebagai orang beriman kita harus percaya terhadap hukum keseimbangan, semua perbuatan ada karmanya. Karma bisa terjadi kapan saja, di mana saja, menimpa diri sendiri atau anggota keluarga.
Setelah metode perekrutan diperbaiki, saat TNI/Polri aktif berdinas perlu mendapat pendidikan tambahan. Tidak hanya kewiraan, nasionalisme dan kebangsaan, tetapi juga pembinaan mental psikologis berkelanjutan. Dengan demikian, terbentuk pribadi TNI/Polri yang humanis.
TNI/Polri juga harus membuka diri terhadap masukan dari luar, bukan membungkam kritik saran. Inilah TNI/Polri ideal sesuai sumpah Sapta Marga Prajurit. Di antaranya setia kepada NKRI, dekat dan melindungi rakyat. Rakyat berinteraksi dengan TNI/Polri seharusnya merasa nyaman, bukan justru ketakutan.
Sebenarnya masih banyak TNI/Polri yang baik, sopan dan manusiawi, tetapi perilaku ”oknum” merusak citra korps dan menggerus kepercayaan masyarakat.
Jayalah TNI dan Polri.
Yes Sugimo
Jl Melati Raya, Melatiwangi, Cilengkrang Bandung 40616
Cita Rasa
Dalam artikel Kompas berjudul ”Kedaulatan RI” (Senin, 27/12/2021), Prof (Em) Dr Ariel Heryanto menulis: ”Kita menuntut dunia mengakui RI sudah merdeka sejak 1945. Namun, hingga kini pekik ’merdeka!’ masih sering menyertai pidato. Seakan-akan kita sendiri belum yakin bahwa RI sudah merdeka”.
Yang sering menyertai pidatonya dengan pekik ”merdeka” bahkan diteriakkan tiga kali ialah Prof Dr (HC) Hajah Megawati Soekarnoputri.
Ariel dan Mega sama-sama tidak salah. Masing-masing sesuai dengan seleranya.
Cita rasa tidak dapat diperdebatkan (Over smaak valt niet te twisten).