Menelaah Potensi Implementasi Pembatasan Emisi di Indonesia
Pencapaian target penurunan emisi sebesar 29 persen pada 2030, jika mengikuti praktik baik negara lain, dilakukan dengan menetapkan batas maksimum emisi yang boleh dihasilkan sejumlah sektor penghasil emisi terbesar.
Berdasarkan World Resource Institute (WRI) Indonesia 2020, Indonesia berada pada urutan kedelapan dari 10 negara penyumbang gas rumah terbesar dan merupakan salah satu negara yang masih bergantung pada sektor energi. Tercatat emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Indonesia sebesar 965,3 MtCO 2 e atau setara dengan 2 persen emisi dunia, dengan jumlah emisi gas rumah kaca Indonesia yang berasal dari sektor energi. Salah satu cara untuk menanggulanginya adalah dengan membatasi emisi gas rumah secara bertahap.
Pembatasan ini tentu diatur melalui rangkaian rangkaian yang dibuat pemerintah. Saat tulisan ini dibuat, bagian-bagian dari rangkaian regulasi tersebut masih dibuat dan kita harus menunggu hingga regulasi tersebut diterbitkan. Di sejumlah negara lain, praktik seperti ini sudah diterapkan. Negara-negara di Eropa telah menerapkan mekanisme seperti ini sejak tahun 2005.
Pada awal penerapannya, tentu tidak mudah bagi banyak perusahaan untuk mengubah pola aktivitas maupun pola produksi yang pada masa tersebut melibatkan penggunaan energi yang melepaskan energi karbon. Pada sejumlah perusahaan, sering kali diperlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti mesin-mesin produksi lama dengan peralatan baru yang ramah lingkungan. Begitu pula saat peraturan serupa akan diterapkan di Indonesia. Dipastikan akan ada perusahaan-perusahaan yang harus melakukan penyesuaian yang besar.
Baca juga : Momentum Akselerasi Pembangunan Rendah Karbon
Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan dan energi dari pemerintah, ada perusahaan yang mengkhawatirkan dampak tersebut pada kinerja perusahaannya. Pasalnya, beberapa waktu sebelumnya, perusahaan tersebut baru mengeluarkan investasi yang sangat besar untuk memasang pembangkit listrik di pabriknya untuk mengurangi ketergantungan pada listrik PLN.
Saat investasi dilakukan, perusahaan itu dapat memperkirakan menggunakan peralatan tersebut selama waktu yang jauh lebih lama. Investasi ini awalnya diperhitungkan untuk meningkatkan efisiensi produksi yang akan meningkatkan pendapatan perusahaan selama masa penggunaan teknologi tersebut. Hal ini merupakan investasi yang sangat besar dan tidak bisa digunakan begitu saja dengan, misalnya, sumber listrik dari panel surya.
Perusahaan seperti ini akan menghadapi kendala besar apabila dihadapkan dengan penurunan emisi karbon. Harus ada penghitungan ulang atas perimbangan perputaran dana perusahaan. Oleh karena itu, perlu disiapkan jalan keluar bagi perusahaan yang menghadapi situasi seperti ini.
Bertahap
Penerapan regulasi seperti itu harus bertahap. Biasanya pemerintah suatu negara akan menentukan target penurunan emisi yang terjadi pada suatu waktu mendatang dan harus dilakukan secara progresif dari tahun ke tahun.
Indonesia telah menetapkan target penurunan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030. Jika penerapannya mengikuti pola yang berhasil dijalankan di negara lain, pemerintah akan menetapkan batas emisi yang dihasilkan oleh sejumlah sektor yang menjadi penghasil emisi terbesar di Indonesia.
Penetapan batas maksimum ini tentu dengan membandingkan besarnya emisi tahunan yang dihasilkan oleh sektor-sektor ini. Anggap saja ada dua sektor A dan sektor B yang sebelumnya menghasilkan emisi hingga 10.000 ton ekuivalen karbon dioksida per tahun, dengan emisi setiap sektor sebesar 6.000 ton dan 4.000 ton. Maka pada penerapan tahun pertama, pemerintah membatasi emisi yang boleh dihasilkan oleh sektor A sebesar 5.700 ton dan sektor B sebesar 3.800 ton. Artinya, pemerintah mengharapkan terjadinya penurunan emisi sebesar 500 ton pada tahun itu.
Baca juga : Pembangunan Versus Pengurangan Emisi
Dengan rencana pembatasan yang ditetapkan pemerintah, diharapkan total emisi yang dihasilkan pada tahun pertama bisa turun dari 10.000 ton menjadi 9.500 ton. Dengan skema penurunan bertahap, pada tahun berikutnya, pemerintah bisa meningkatkan target penurunan lebih lanjut, misalkan membatasi total emisi kedua sektor menjadi hanya 9.000 ton.
Untuk memastikan ada upaya penurunan emisi, pemerintah bisa menerapkan strategi tertentu. Misalkan dengan menyisihkan 500 ton tambahan sebagai cadangan bilamana target penurunan emisi tidak mencapai hasil yang diharapkan. Dengan demikian, pemerintah secara efektif menerapkan peraturan yang membatasi total emisi kedua sektor menjadi 9.000 ton pada tahun pertama ini. Sektor A hanya diperbolehkan menghasilkan emisi sebesar 5.400 ton, sementara sektor B dibatasi pada 3.600 ton.
Selanjutnya, hak untuk menghasilkan emisi ini akan dibagikan kepada perusahaan-perusahaan yang berada pada setiap sektor. Misalkan pada sektor A terdapat 6 perusahaan yang sama besar dan pada sektor B terdapat 40 perusahaan yang juga sama besar. Maka, ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan pembagian ini.
Pertama, pembagian hak emisi secara gratis. Apabila langkah ini yang diambil pemerintah, seluruh enam perusahaan pada sektor A masing-masing akan mendapatkan hak untuk menghasilkan emisi sebanyak 900 ton selama tahun tersebut. Sementara pada sektor B, setiap perusahaan akan mendapatkan hak untuk menghasilkan total emisi satu tahun 90 ton. Hak emisi yang diterima oleh setiap perusahaan ini sering disebut sebagai carbon allowance.
Baca juga : Urgensi Komitmen Ambisius Penurunan Gas Rumah Kaca
Pemberian hak emisi secara gratis, di satu sisi akan meringankan perusahaan-perusahaan dalam sektor-sektor yang terkena kebijakan ini. Namun di sisi lain, artinya ada 9.000 ton emisi yang dihasilkan di Indonesia tanpa menghadapi konsekuensi finansial apa pun. Artinya, pemerintah juga tidak mendapatkan dana dari penghasil emisi yang dapat digunakan untuk melaksanakan upaya-upaya pengurangan emisi karbon di atmosfer, seperti aktivitas penanaman kembali hutan atau upaya mendorong pengembangan teknologi energi terbarukan.
Apabila pemerintah mengharapkan ada penerimaan dari 9.000 ton emisi ini, pembagian hak emisi bisa dilakukan melalui mekanisme lelang. Lelang bisa dilakukan pada awal tahun, bisa juga setiap bulan. Perusahaan-perusahaan pada kedua sektor yang terkena kebijakan tersebut harus membeli hak untuk menghasilkan emisi ini.
Apabila pemerintah mengharapkan ada penerimaan dari 9.000 ton emisi ini, pembagian hak emisi bisa dilakukan melalui mekanisme lelang.
Strategi ini bisa menghasilkan penerimaan dari 9.000 ton emisi yang dihasilkan dalam satu tahun. Pengembangan upaya-upaya pengurangan emisi karbon di atmosfer bisa digiatkan, pengembangan teknologi ramah lingkungan maupun energi terbarukan bisa dijalankan. Meskipun demikian, mekanisme lelang bisa mengakibatkan distribusi hak emisi tidak merata antarperusahaan.
Perusahaan yang memiliki kemampuan finansial lebih baik bisa membeli hak emisi lebih banyak. Memang hal ini bisa dipandang sebagai upaya investasi dari perusahaan, di mana pembelian hak emisi diharapkan menjadi peluang meningkatkan produksi dalam satu tahun. Sebaliknya, terbuka juga kemungkinan adanya perusahaan yang tidak mendapatkan hak emisi sama sekali. Memang hal ini tidak serta-merta mematikan aktivitas perusahaan tersebut, tetapi perusahaan yang tidak mendapatkan hak emisi akan menghadapi tantangan yang lebih berat.
Kombinasi
Alternatif lain yang bisa dijalankan adalah mengombinasikan antara pembagian allowance gratis dan lelang. Pembagian hak emisi secara gratis, walau tidak sebesar skema pertama, tetap akan memastikan seluruh perusahaan yang masuk dalam kedua sektor tersebut untuk tetap mendapatkan hak emisi.
Ini bisa menjadi modal awal bagi perusahaan untuk dapat beroperasi dengan tenang. Setidaknya ada sebagian aktivitas produksi yang menghasilkan emisi yang tidak terkena kewajiban finansial apapun. Selanjutnya, perusahaan yang memang perlu menghasilkan emisi karbon lebih banyak, bisa mendapatkan tambahan hak emisi melalui lelang hak emisi.
Perusahaan yang memang perlu menghasilkan emisi karbon lebih banyak, bisa mendapatkan tambahan hak emisi melalui lelang hak emisi.
Pada akhir periode pembatasan emisi, perusahaan-perusahaan yang berada dalam sektor-sektor yang tercakup dalam kebijakan ini harus melaporkan jumlah emisi yang mereka lepaskan selama periode. Pelaporan ini harus diverifikasi oleh lembaga yang diakui kemampuannya dalam melakukan pengukuran dan verifikasi terkait emisi karbon.
Berdasarkan pengukuran dan verifikasi ini, perusahaan harus melaporkan (menyerahkan kembali) hak emisi yang digunakan tersebut kepada pemerintah. Apabila emisi yang dilaporkan lebih besar dari hak emisi yang diberikan, perusahaan akan diberikan sanksi.
Umumnya, pelanggaran atas hak emisi akan diberikan sanksi berupa pembayaran penalti. Penetapan nilai penalti inilah yang menjadi faktor utama pendorong perusahaan untuk melakukan upaya-upaya penurunan emisi karbon. Pelepasan emisi yang melewati batas hak emisi yang diperoleh suatu perusahaan akan menghadapi denda yang besar.
Penerapan penalti atas kelebihan emisi yang dilepaskan ke atmosfer ini, akan mendorong perusahaan-perusahaan untuk melakukan upaya-upaya yang dapat menekan jumlah emisi yang dihasilkan. Apabila perusahaan memperhitungkan bahwa biaya yang mereka keluarkan untuk upaya-upaya penurunan emisi bisa lebih rendah dibandingkan potensi biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar penalti, tindakan yang logis adalah melakukan upaya penurunan emisi.
Baca juga : Darurat Iklim dan Alarm bagi Kemanusiaan
Selanjutnya, dengan bertahap dari tahun ke tahun, maka upaya penurunan emisi akan terus ditingkatkan dan Indonesia dapat memenuhi komitmen yang telah ditetapkan sebagai wujud sumbangsih Indonesia pada upaya penurunan emisi global.
Isa A Djohari
Vice President Research and Development Indonesia Commodity and Derivatives Exchange