Sebagai pembaca Kompas edisi cetak lebih dari 50 tahun, saya sebetulnya terkejut juga dengan kenaikan harga langganan yang signifikan itu. Namun, mungkin seperti juga banyak pembaca setia lain, saya berusaha memaklumi.
Oleh
Eduard Lukman
·3 menit baca
Mulai Januari 2022, harga langganan bulanan Kompas naik, dari Rp 98.000 menjadi Rp 143.000 per bulan, belum termasuk ongkos kirim edisi cetak. Untuk eceran semula Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per kopi.
Memang harga baru langganan tersebut sudah berikut akses Kompas.id. Kalau saya tidak salah, pembaca juga mempunyai pilihan bisa hanya berlangganan Kompas.id dengan biaya Rp 50.000 per bulan.
Langkah berat ini tentu sudah dipikirkan implikasinya oleh Kompas. Walau dari sisi konsumen saya sebenarnya berharap perubahan harga tersebut sebaiknya dilakukan secara bertahap, misalnya dua atau tiga kali dalam satu tahun sehingga tidak terlalu terasa.
Sebagai pembaca Kompas edisi cetak lebih dari 50 tahun, saya sebetulnya ”terkejut” juga dengan kenaikan yang signifikan itu. Namun, mungkin seperti juga banyak pembaca setia lain, saya berusaha memaklumi. Berbagai perubahan memaksa media berjuang untuk bertahan hidup, sementara ongkos produksi terus meningkat.
Selama ini Kompas telah menjadi salah satu media arus utama nasional yang tepercaya kredibilitas dan kualitasnya, berlandaskan kerja jurnalistik profesional. Kami ingin Kompas terus hadir sehingga tetap tampil sebagai media yang mencerdaskan dan mencerahkan pembaca, di tengah melimpahnya kepungan informasi yang membodohi dan menyesatkan publik.
Sebagaimana komitmen Kompas (”Memberi untuk Menjadi Lebih”, Kompas, 2 Januari 2022), saya berharap Kompas konsisten menyajikan konten bermutu dalam format yang kreatif untuk mengakomodasi keberagaman demografis, kultural, dan minat pembacanya, sekaligus menguatkan sense of belonging terhadap koran ini.
Sejalan dengan tekadnya sejak awal, semoga Kompas terus mengusung ”Amanat Hati Nurani Rakyat”.
Eduard Lukman
Jl Warga, RT 14 RW 03, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas apresiasi Saudara. Dengan berat hati, kami terpaksa menaikkan harga langganan Kompas. Kami dengan semua sumber daya yang ada akan konsisten berupaya menyajikan berita dan tulisan-tulisan yang sesuai dengan kaidah jurnalistik, dengan mengedepankan kemanusiaan yang berketuhanan.
Pimpinan
Kata pimpinan seperti dalam dewan pimpinan sudah puluhan tahun digunakan tanpa ada yang mengingatkan.
Kita bisa menyandingkan pimpinan dengan beberapa kata serupa, yaitu akar kata+an: jahitan, masakan, ajaran, dan sebagainya. Kesimpulannya: akar kata+an menunjukkan ”hasil” dari yang dikerjakan/dikenai sebelumnya.
Jahitan hasil kerja orang menjahit, baju yang dijahit, bukan yang menjahit. Demikian juga masakan, bukan yang memasak. Jadi, pimpinan adalah yang dipimpin, bukan yang memimpin.
Contoh ”batalion pimpinan Mayor Lucas Koestarjo”; pimpinan predikat untuk batalion. Pimpinan dalam dewan pimpinan diartikan ’sekelompok pemimpin’, plural.
Bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk sendiri untuk plural kecuali untuk beberapa kata dari bahasa Latin. Misalnya politikus-politisi, datum-data, dan satu dua kata bahasa Arab, unsur-anasir, alim-ulama. Bentuk plural dalam bahasa Indonesia adalah mengulangi kata benda: kursi-kursi dan seterusnya.
Hemat saya, pengulangan hanya untuk benda konkret; untuk kata benda abstrak tidak usah diulang kecuali jika berkaitan dengan lebih dari satu subyek atau obyek.
Untuk keluar dari kekeliruan ini, mengapa tidak digunakan dewan pemimpin saja. Sebab dewan menunjukkan plural, di dalamnya duduk beberapa orang yang memimpin. Bandingkan dengan pengurus yang biasanya otomatis berarti beberapa orang meski bisa juga satu orang.
Soegio Sosrosoemarto
Jl Kepodang I, Bintaro Jaya Sektor 2, Tangsel 15412