Alasan di Balik Rendahnya Inflasi 2021
Inflasi dapat diumpamakan seperti tekanan darah kita. Tidak boleh terlalu tinggi karena akan memakan daya beli konsumen. Inflasi juga tidak boleh terlalu rendah karena akan membuat gairah ekonomi menurun.
Terlepas dari kenaikan harga beberapa bahan pokok beberapa hari ini, inflasi di Indonesia tergolong rendah. Inflasi di Indonesia diperkirakan hanya berkisar 1,87 persen sementara di negara-negara berkembang Asia lainnya rata-rata 2,5 persen (ADB, 2021) dan di AS mencapai lebih dari 6 persen.
Inflasi tahun 2021 ini berbeda dengan perkiraan inflasi di negara Emerging Economies lainnya dan negara maju yang telah mengalami kenaikan yang memaksa bank sentral di sebagian negara tersebut menaikkan suku bunga untuk meredam kenaikan harga umum ini.
Inflasi dapat diumpamakan seperti tekanan darah kita. Tidak boleh terlalu tinggi karena akan memakan daya beli konsumen. Inflasi juga tidak boleh terlalu rendah karena akan membuat gairah ekonomi menurun seperti yang terjadi di Jepang bertahun-tahun. Bank sentral berusaha menjaga inflasi berada di tingkat “normal” di sekitar 1-3 persen, tergantung tingkat kemajuan suatu perekonomian. Inflasi di Emerging Economies, normalnya sekitar 3-5 persen sementara di negara maju antara 2-3 persen.
Inflasi secara global berada di tingkat yang rendah lebih dari satu dekade didorong oleh globalisasi industri manufaktur, terutama oleh membanjirnya produk manufaktur China. Globalisasi ini juga menekan biaya transportasi dan komunikasi yang pada gilirannya mendorong harga-harga semua produk menurun dalam waktu yang cukup panjang.
Pandemi Covid-19 di satu pihak menekan permintaan (dan harga), tetapi di lain pihak telah menimbulkan disrupsi dalam rantai pasok glonal (global supply chain) yang menghambat pergerakan arus barang di seluruh dunia. Biaya transportasi dengan menggunakan kontainer yang sebelumnya turun, naik berkali-kali lipat. Bukan hanya harganya naik berlipat ganda, kepastian pengiriman barang pun menjadi pertanyaan.
Guncangan di sisi penawaran inilah yang menjadi salah satu pemicu inflasi, terutama di negara maju.
Guncangan di sisi penawaran inilah yang menjadi salah satu pemicu inflasi, terutama di negara maju. Pada saat yang sama, stimulus fiskal yang diguyurkan oleh hampir semua negara di dunia memberikan tambahan daya beli yang besar, terutama setelah gelombang pandemi Covid-19 sempat mereda pada paruh awal tahun 2021.
Mengapa kecenderungan inflasi di Indonesia terjadi sebaliknya? Apakah inflasi rendah ini berkesinambungan secara makroekonomi? Apa implikasinya bagi Indonesia di 2022?
Beberapa hipotesis
Ada empat hipotesis yang dapat menjelaskan mengapa inflasi di Indonesia rendah dalam beberapa tahun belakangan ini, khususnya tahun 2021. Pertama, permintaan agregat masih belum sepenuhnya pulih.
Data permintaan domestik (total konsumsi plus investasi domestik bruto (PMDB)) selama tiga triwulan pertama 2021—walaupun sudah lebih tinggi dibandingkan dengan 2020— tetapi masih lebih rendah dibandingkan 2019. Lemahnya permintaan domestik menyebabkan kapasitas perekonomian banyak yang tak terpakai sehingga harga-harga cenderung turun atau bertahan.
Baca juga : Perbaikan Daya Beli Dibayangi Inflasi
Kedua, berbeda dengan perkiraan sebelumnya, pasokan pangan selama 2020 dan 2021 sama sekali tidak terganggu dan tumbuh positif. Produksi beras tahun 2021 lebih tinggi 1,2 persen dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Surplus produksi beras ini juga terjadi pada 2020, sehingga impor beras tidak dibutuhkan dan menambah stok, baik di tangan Bulog maupun di tangan masyarakat.
Akibatnya, harga beras dapat bertahan kurang lebih sama dengan harga tahun 2020. Stabilnya harga pangan ini merupakan penyebab rendahnya inflasi tahun 2021.
Faktor ketiga yang menjelaskan inflasi rendah tahun 2021 adalah inflasi barang administrasi yang harganya ditentukan oleh pemerintah. Barang-barang tersebut antara lain BBM, gas elpiji, tarif listrik, angkutan umum. Harga barang administrasi ini mempunyai timbangan kurang lebih 14 persen dalam Indeks Harga Konsumen (IHK).
Sejak dinaikkan di awal pemerintah Presiden Jokowi tahun 2015, harga barang administrasi ini dipertahankan oleh pemerintah, termasuk selama masa pandemi Covid-2019.
Di negara lain, terutama di beberapa negara Emerging Economies dan negara maju, sebagian besar harga-harga barang-barang ini dilepas mengikuti mekanisme pasar. Saat harga minyak dan komoditas mengalami kenaikan signifikan sepanjang tahun 2021 ini, harga-harga barang barang administrasi ini juga naik serempak.
Di beberapa negara seperti Singapura, pemerintahnya tak mendistorsi harga, tetapi memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk menjaga daya beli masyarakat dalam mengon -sumsi komoditas primer ini.
Terakhir, setelah krisis 1998, Indonesia secara perlahan terlepas dari rantai pasok global. Rasio ekspor plus impor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Akibatnya, pada saat guncangan inflasi dunia terjadi, perekonomian kita agak terproteksi.
Transmisi inflasi impor kurang berpengaruh pada harga- harga domestik, kecuali untuk komoditas yang kita produksi seperti minyak goreng karena produsen ada pilihan, menjual di pasar ekspor dengan harga yang lebih tinggi atau menjualnya di pasar domestik.
Implikasi inflasi rendah
Inflasi yang stabil akan mempunyai dampak yang lebih dari proporsional terhadap penduduk miskin dibandingkan dengan penduduk yang tidak miskin. Inflasi pada dasarnya identik dengan pajak yang regresif, di mana bebannya dialami secara disproporsional oleh kelompok berpendapatan rendah. Hal ini berkaitan dengan kepemilikan dan pengelolaan aset dan profil risiko yang dihadapi oleh penduduk miskin.
Lebih jauh lagi, pada saat terjadinya guncangan, baik yang bersifat individual (idyosincratic shocks) maupun lokal dan global (covariate shocks), inflasi akan dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi.
Inflasi yang stabil akan mempunyai dampak yang lebih dari proporsional terhadap penduduk miskin dibandingkan dengan penduduk yang tidak miskin.
Rumah tangga miskin biasanya akan mengatasi krisis yang dialaminya dengan memotong biaya investasi jangka panjang seperti memberhentikan anaknya dari sekolah dan atau mengurangi kualitas gizi makanan di rumah tangganya.
Pengalaman ini terjadi pada saat krisis 1998 di mana rumah tangga miskin mengatasi guncangan dengan memberhentikan anak dari sekolah akibat El Nino dan krisis ekonomi yang memicu inflasi hingga 70 persen dan sekaligus penurunan pendapatan per kapita lebih dari 10 persen. Kejadian ini teru -lang saat krisis pangan 2008 di beberapa negara di Afrika.
Inflasi yang rendah jelas akan menguntungkan keluarga miskin. Namun efek komposisi akan memengaruhi dampaknya pada kelompok rumah tangga miskin. Jika harga makanan —yang mempunyai persentase yang lebih besar dalam keranjang konsumsi keluarga miskin dibandingkan timbangan dalam IHK– dapat dikendalikan.
Walaupun demikian, inflasi kelompok keluarga miskin sepanjang 2020 dan 2021 ini tetap lebih tinggi yaitu masing-masing 2,9 persen dan 2,1 persen dibandingkan dengan inflasi yang dirasakan oleh keluarga Indonesia secara keseluruhan yaitu 2,0 persen (2020) dan 1,97 persen (2021). Hal itu disebabkan komponen IHK di luar pangan meningkat lebih rendah dan malah negatif dibandingkan indeks harga pangan ini.
Baca juga : Pengendalian Inflasi Bahan Makanan Jadi Prioritas
Secara keseluruhan, daya beli rumah tangga miskin terjaga, tetapi dilihat dari perspektif relatif (perbandingan inflasi rumah tangga miskin dan inflasi rumah tangga bukan miskin), perkembangan daya beli riil cenderung menguntungkan kelompok rumah tangga bukan miskin, walaupun konsumsi kelompok rumah tangga tersebut secara nominal naik dalam persentase yang sama.
Fakta lain menunjukkan pula pendapatan keluarga bukan miskin secara nominal masih tumbuh lebih tinggi ketimbang keluarga miskin, sehingga jika dihitung indeks ketimpangan pendapatan secara riil akan didapat tingkat ketimpangan pendapatan selama tahun 2021 cenderung meningkat, walaupun inflasi tergolong rendah.
Akankah inflasi rendah berkelanjutan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita kembali menggunakan tiga dari empat hipotesis yang menjelaskan prediksi inflasi 2022. Pertama, kalau Covid-19 bisa dikendalikan dengan menggunakan vaksin dan obat terapi Covid-19 ini efektif, permintaan agregat domestik akan pulih kembali.
Hal ini terlihat dari proyeksi pemerintah atau konsensus ahli ekonomi yang memperkirakan ekonomi tahun 2022 akan tumbuh 4-5 persen, lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan ekonomi 2021. Hal ini berarti kapasitas ekonomi domestik akan kembali terpakai dan pada gilirannya akan mendorong harga untuk naik dan inflasi tahun 2022 akan meningkat pula.
Kedua, apakah produksi pangan tahun 2022 akan lebih baik dari tahun 2021? Pertanyaan ini sukar untuk dijawab karena ketidakpastian yang cukup tinggi, terutama berkaitan dengan keadaan cuaca. Kecenderungan kenaikan harga pangan pada akhir 2021 berkaitan dengan musim hujan yang mulai melanda beberapa daerah produksi pangan Indonesia.
Apakah kecenderungan ini akan terus terjadi hingga musim tanam 2022? Kalau cuaca ekstrem ikut melanda kita, maka bukan hanya produksi domestik terganggu, tetapi juga akses kita ke pasar internasional menjadi terbatas.
Berita baiknya, harga beras di pasar internasional mulai turun dari sekitar 525 dollar AS per ton pada pertengahan 2021 menjadi sekitar 400 dollar AS per ton pada November 2021 (Bank Dunia, 2021). Namun future price beras mulai menun -jukkan kecenderungan mening -kat kembali dan memberikan indikasi yang menguatirkan.
Ketiga, apakah pemerintah akan kuat menahan kenaikan harga barang-barang administrasi sepanjang 2022? Kabar baik, harga minyak bumi, gas alam serta komoditas lain sudah mulai kembali ke pola harga normal sehingga kalau kecen -derungan ini bertahan, tekanan pada harga barang administrasi jadi tak terlalu besar.
Kesimpulannya, sangat boleh jadi seperti yang diperkirakan banyak ekonom, inflasi tahun 2022 akan lebih tinggi dan pola inflasi Indonesia akan mengikuti kembali kecenderungan inflasi global. Yang lebih mengganggu adalah ketidakpastian produksi pangan. Kalau produksi pangan terganggu, maka inflasi pangan bisa naik lebih tinggi dari IHK.
Kalau produksi pangan terganggu, maka inflasi pangan bisa naik lebih tinggi dari IHK.
Seperti dikemukakan di atas, tekanan terhadap daya beli rumah tangga miskin dan nyaris miskin akan bertambah besar karena data Susenas atau survei independen lain menunjukkan pendapatan kelompok ini lebih terkena imbas krisis Covid-19 dibandingkan kelompok pendapatan lainnya.
Oleh karenanya, dalam jangka pendek hingga 1-2 tahun mendatang, program kompensasi sosial mesti tetap dipertahankan dan secara bertahap kompensasi kepada rumah tangga bukan miskin mulai dicabut. Misalnya, subsidi elpiji tiga kilogram dipertahankan tetapi harga elpiji 15 kilogram dinaikkan secara bertahap.
Tarif listrik untuk kelompok 900 VA ke bawah dipertahankan dan kelompok lain disesuaikan menuju harga keekonomian. Kebijakan ini akan membantu untuk mengembalikan tren ketimpangan yang meningkat selama pandemi.
Pertanyaannya, apakah Bank Indonesia akan pula menaikkan suku bunga dalam tahun 2022 untuk mengatasi inflasi atau sebaliknya mengikuti terapi ala Erdogan yang membuat mata uang Turki tersungkur?
Mohamad Ikhsan Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia