Memperjelas Arah Hukum dan Kebijakan Keamanan di Papua
Para pembuat kebijakan di Jakarta belum sepenuhnya memerhatikan asas kecermatan dalam merumuskan arah hukum dan kebijakan keamanan Papua. Hal itu menimbulkan kebingungan berbagai kalangan dan mengorbankan masyarakat.
Para pembuat kebijakan di Jakarta belum sepenuhnya memerhatikan asas kecermatan dalam merumuskan arah hukum dan kebijakan keamanan untuk Papua.
Implikasinya, bukan saja menimbulkan kebingungan di kalangan pejabat negara, tetapi juga mengorbankan masyarakat dan aparat pelaksana di lapangan. Lihat saja arah kebijakan dan hukum terkait Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang dituduh melakukan kekerasan terhadap warga masyarakat dan aparat keamanan. Contoh terbaru, penembakan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Brigjen I Gusti Dany Nugraha pada April lalu.
Merespons peristiwa itu, Ketua MPR Bambang Soesatyo meminta aparat keamanan menurunkan kekuatan penuh dan menumpas habis KKB di Papua. “Tumpas habis dulu. Urusan HAM kita bicarakan kemudian,” katanya.
Menkopolhukam Mahfud MD menetapkan KKB sebagai teroris. “Berdasarkan definisi yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, maka apa yang dilakukan oleh KKB dan segala organisasinya dan orang-orang yang terafiliasi dengannya adalah tindakan teroris,” jelasnya.
Sementara baru-baru ini, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman menyatakan Satgas TNI AD yang bertugas di Papua tidak boleh menganggap KKB sebagai musuh. “Ajak mereka bersama-sama bergabung membangun Papua, karena mereka adalah saudara se-tanah air,” katanya.
Kesatuan sikap dan kecermatan memilih nomenklatur sangat penting bagi petinggi negara dalam menentukan arah hukum dan kebijakan.
Awal mula penetapan status teroris
Adalah Kementerian Luar Negeri RI (KBRI) di Jerman yang pertama mengusulkan penetapan dan pencantuman OPM ke dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT). Hal itu disampaikan melalui Berita Rahasia KBRI di Berlin pada 7 Februari 2021, jauh sebelum terjadinya penembakan Kabinda. Usulan ini berangkat dari pemikiran tentang adanya kesamaan elemen tindak pidana terorisme dari Uni Eropa (UE) dan Republik Indonesia.
Kesatuan sikap dan kecermatan memilih nomenklatur sangat penting bagi petinggi negara dalam menentukan arah hukum dan kebijakan.
Tindakan OPM dianggap memiliki kemiripan dengan tindakan organisasi terorisme di sana. Mereka ingin memutus dukungan internasional, termasuk dukungan dana terhadap OPM dengan cara mengupayakan agar organisasi tersebut masuk ke dalam daftar teroris di UE dan juga PBB. Usulan tersebut dibahas secara internal oleh berbagai kementerian dan lembaga (K/L).
Namun ketika diumumkan secara resmi, pemerintah justru memakai nomenklatur atau istilah KKB, bukan OPM. Padahal usulan KBRI jelas ditujukan untuk OPM: “Penetapan OPM menjadi Kelompok Separatis (bukan KKB) dan memasukkan dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris,” demikian disebutkan.
Pertanyaan yang muncul adalah mana yang benar? OPM atau KKB? Dua istilah ini memiliki arti dan implikasi pemberlakuan hukum dan kebijakan yang berbeda. OPM adalah sebuah nama dari organisasi yang menyuarakan tuntutan kemerdekaan Papua. Sayap bersenjata organisasi ini adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), yang mengklaim bertanggung jawab atas penembakan Kabinda Papua.
Sementara KKB adalah nomenklatur dari jajaran pemerintah untuk menamakan sebuah kelompok tak bisa dikenali yang menggunakan senjata dalam tindak kriminal mereka.
Baca juga : Evaluasi Siklus Kekerasan di Papua
Instansi lain seperti Badan Intelijen Negara (BIN) memakai istilah Kelompok Separatis Bersenjata (KSB), yang sekilas mencerminkan gabungan dari kedua istilah tersebut. Beberapa petinggi militer di Papua bahkan menggunakan istilah Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB).
Pentingnya asas kecermatan
Pemerintah terlihat kurang hati-hati dalam menentukan arah kebijakan, tercermin dari ketidakselarasan pilihan nomenklatur. Separatisme OPM dan TPNPB bertujuan memisahkan diri dari negara, sedangkan terorisme dalam pengertian UU No 5 Tahun 2018 adalah tindak pidana yang bertujuan menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas di masyarakat.
Ketika pemerintah menyematkan status “organisasi teroris” pada kelompok yang dinamakan oleh pemerintah sendiri sebagai KKB, KSB, atau KKSB sebenarnya sama seperti menyematkan label pada suatu organisasi yang sebenarnya tidak ada. Sebab memang tidak ada organisasi di Papua yang menggunakan nama tersebut.
Istilah tersebut lebih mirip dengan istilah Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang pernah berlaku di Aceh, Papua, dan Timor Timur di masa Orde Baru untuk menyebut siapa saja yang dianggap melawan negara tanpa membedakan skala ancaman.
Pilihan nomenklatur memiliki implikasi kebijakan berbeda. Pernyataan Bambang Soesatyo perihal “tumpas habis” meski tak merujuk pada hukum yang spesifik tetapi bisa diartikan sebagai arah kebijakan negara untuk bertindak keras dengan menghabisi sasaran yang dituju, KKB. Pendekatan ini menilai KKB “musuh negara” yang mengancam kedaulatan, integritas teritorial, atau keselamatan segenap bangsa.
Terjemahan kebijakan dari pernyataan ini adalah pengerahan kekuatan militer (deployment of military force). Sebagaimana dinyatakan Bambang, “Sudah waktunya negara melakukan tindakan tegas dengan menurunkan seluruh matra kekuatan yang dimiliki.”
Pengerahan militer harus dilakukan berdasar kebijakan dan keputusan politik negara (Pasal 7 Ayat 3 UU TNI). Tak bisa hanya oleh salah satunya, lembaga eksekutif saja atau legislatif saja. Kebijakan dan keputusan negara dibuat melalui UU, termasuk memberlakukan hukum humaniter internasional atau hukum perang (laws of war).
Dalam status perang, aparat militer di lapangan akan dihadapkan pada pilihan antara “membunuh atau dibunuh" (to kill or to be killed). Ketika terjadi dalam konflik bersenjata non-internasional (non-international armed conflict), maka masalah yang kerap muncul adalah perang saudara (civil war) dan jatuhnya korban sipil (civilian casualties) yang tidak terlibat dalam permusuhan langsung (direct hostilities).
Dengan penjelasan ini dan melihat awal mula penetapan status teroris, ketidakcermatan memilih nomenklatur akan membingungkan jajaran K/L.
Kecermatan inilah yang diabaikan dalam pernyataan Bambang Soesatyo. Sedangkan Mahfud MD secara berbeda lebih berada di wilayah kebijakan dan hukum pidana (criminal justice system) karena menggunakan nomenklatur KKB sebagai kelompok yang dianggap ‘teroris’ dan tindakannya dianggap sebagai ‘terorisme’ berdasarkan UU No 5 Tahun 2018 terkait pemberantasan tindak pidana terorisme.
Karena terorisme yang dimaksud adalah “tindak pidana” maka caranya adalah dengan mengerahkan aparat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan untuk menegakkan hukum (law enforcement), bukan perang terhadap gerakan pembebasan nasional (war against national liberation). Dengan pilihan ini, maka aparat negara tak boleh berpikir dan bertindak seperti perang, yaitu menumpas habis sasaran selayaknya musuh, melainkan merangkul sasaran sebagai warga negara. Di titik ini, pernyataan Dudung lebih terlihat cermat.
Barangsiapa dari mereka “diduga” atau “disangka” telah melakukan kejahatan terorisme, maka negara wajib untuk “menuntut” dan mengadilinya sebagai “terdakwa” di meja hijau. Apa pun tindakan negara harus sesuai dengan hukum (due process of law), termasuk memberi kesempatan membela diri berdasarkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent).
Kesalahan satu-dua orang hanya dapat dikenakan kepada orang itu berdasarkan tanggung jawab pidana yang bersifat individual, bukan kelompok, organisasi, atau institusi, kecuali terbukti secara hukum telah berbuat kejahatan korporat/organisasi. Dengan penjelasan ini dan melihat awal mula penetapan status teroris, ketidakcermatan memilih nomenklatur akan membingungkan jajaran K/L. Implikasinya bisa berdampak negatif pada keselamatan aparat keamanan dan warga masyarakat.
Baca juga : Risiko Label Teroris KKB Papua
Langkah ke depan
Ke depan, pembuat kebijakan perlu lebih serius menyikapi situasi keamanan di Papua. Jangan melontarkan pernyataan-pernyataan yang tak berdasarkan hasil koordinasi dan kajian institusi. Elite politik harus menahan emosi agar tak memicu penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force) yang menimbulkan korban.
Sebelum melontarkan pernyataan resmi, mereka harus memperjelas kerangka konseptual dan keselarasan sikap antar elite lembaga negara agar sebuah kebijakan dapat memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik, dari mulai asas kecermatan hingga ketidakberpihakan, sehingga tak terjadi penyalahgunaan dan penyimpangan di lapangan.
Jika para elite konsisten menegakkan konstitusi UUD 1945, hendaklah selalu mengingat tiga asas yang diamanatkan oleh Pasal 1. Prinsip “republik” dalam ayat pertama memiliki tiga makna: kesetaraan warga (equal citizenship), supremasi hukum (rule of law), dan martabat manusia (human dignity).
Percuma mengubah undang-undang jika pikiran dan perilaku tidak berubah.
Asas “kedaulatan di tangan rakyat” dalam ayat kedua bermakna penyelenggaraan negara dilakukan berdasarkan pada hak-hak rakyat. Dan asas “negara hukum” dalam ayat terakhir merujuk pada doktrin pembatasan kekuasaan dari kesewenang-wenangan.
Apa pun pilihan arah hukum dan kebijakan untuk menyikapi situasi keamanan di Papua, para pimpinan negara harus memerhatikan asas-asas tersebut karena telah termaktub dalam keseluruhan tatanan hukum yang berubah selama reformasi. Yang setara pentingnya juga adalah perubahan cara berpikir dan perilaku. Percuma mengubah undang-undang jika pikiran dan perilaku tidak berubah.
Terkait tuntutan kemerdekaan Papua, para pimpinan lembaga negara perlu membuat pembedaan (distinction) antara tuntutan kemerdekaan yang disampaikan secara damai dengan tuntutan yang dilakukan melalui penggunaan senjata. Pembedaan ini penting agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh negara atau penyalahgunaan HAM oleh aktor-aktor non negara.
Pendekatan koersif harus merupakan langkah terakhir (last resort) untuk mencegah jatuhnya korban jiwa yang besar, jika benar-benar diperlukan (necessary) dalam sebuah masyarakat demokratis, proporsional, serta bisa dimintai pertang -gungjawaban secara hukum.
Jangan lupa, para pemimpin bangsa dan negara di dunia—termasuk Indonesia—yang semula memilih jalan perang akhirnya memilih jalan damai melalui otonomi khusus, pemerintahan-sendiri, referendum, dan perjanjian damai yang menyelamatkan banyak jiwa masyarakat dan aparat pelaksana di lapangan. Jalan senjata hanya akan menuai petaka.
Usman Hamid Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Dewan Pakar Perhimpunan Advokat Indonesia RBA