Saya pernah mendapat kiriman sebuah buku dari Redaksi Kompas, dan juga kalender meja. Sebuah pengungkapan tanpa kata dari Redaksi untuk pembaca dan sahabat Kompas agar langgeng menjaga silaturahmi.
Oleh
Sri Handoko
·2 menit baca
Kompas
Buku Biografi PK Ojong
Kalender meja mungkin tidak seberapa harganya jika dinilai dari nilai rupiahnya. Akan tetapi, makna yang terkandung dalam sebuah kalender itu tidak tergambarkan dengan nilai rupiah.
Demikian juga sebuah buku, karena bisa saja buku itu dibeli di sebuah toko buku. Menurut saya, cendera mata sebuah buku merupakan harkat yang tiada terhingga. Harian Kompas tidak hanya mendidik dan mengajarkan suatu upaya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga sebuah kesetiaan, sebuah cara menghargai dan menjunjung tinggi arti silaturahmi.
Saya pernah mendapat kiriman sebuah buku dari Redaksi Kompas, dan juga kalender meja. Sebuah pengungkapan tanpa kata dari Redaksi untuk pembaca dan sahabat Kompas agar langgeng menjaga silaturahmi.
Terima kasih Kompas, telah mendidik arti sebuah cara dalam menghargai dalam kehidupan ini.
Sri Handoko
Tugurejo, Semarang
Pendidikan Sains
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Gedung Lembaga Biologi Melekuler Eijkman atau Lembaga Eijkman di Jakarta Pusat, Selasa (4/1/2022). Berdasarkan data dari sumber Kompas di LBM Eijkman, dari 157 staf Lembaga Eijkman, 96 orang di antaranya peneliti, sisanya staf administrasi dan pendukung, yang diberhentikan per 31 Desember 2021 sebanyak 115 orang. Mereka diberhentikan tanpa pesangon karena berstatus pegawai kontrak. Hanya 42 orang berstatus ASN bisa bergabung ke BRIN dan 15 di antaranya peneliti. Peleburan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional dikhawatirkan menjadi kemunduran pengembangan sains di Indonesia. Selain menyebabkan hilangnya sumber daya terbaik, peleburan ini mengancam budaya riset dan independensi ilmuwan yang terbangun di Lembaga Eijkman. KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS) 4-1-2022
Opini di harian Kompas (13/11/2021) menarik untuk dibahas. Berjudul ”Mengurangi Kesenjangan antara Kemajuan Sains dan Pendidikan Sains” tulisan Bu Premana W Premadi itu membuka keran diskursus untuk membongkar struktur perkembangan ilmu di pendidikan formal.
Institusi di ranah sains perlu untuk membuat divisi khusus dengan tugas sebagai fasilitator dalam membantu kerja para tenaga pengajar. Produksi sains populer dalam bentuk artikel ataupun esai untuk khalayak seolah menjadi kesunyian di tengah keramaian perkara sains dan teknologi.
Banyak akademisi di perguruan tinggi menulis hanya menyasar pada jurnal ilmiah berindeks internasional—dengan motif angka kredit. Padahal, kenyataannya, yang terjadi justru mengarah pada eksklusivitas pengetahuan.
Walhasil, publik tak banyak mengingat akademisi ataupun cendekiawan yang memilih jalan sunyi.
Kita harus sadar bahwa pada abad XXI ini, satu hal mendasar adalah bagaimana keberadaan sains dan teknologi menjadi kunci.
Seperti kata Bu Premana, sains bukan kemewahan, melainkan kebutuhan.