Dari Pembacaan Teks Daniel Dhakidae
Panggilan hidup DD yang mengajarkan tentang buruknya kekuasaan otoriter dan fasistik tentunya tidak berakhir kendati rezim Orde Baru telah tutup buku tahun 1998.

Heryunanto
Daniel Dhakidae (DD) dengan lelaku dirinya dan karya-karya tulisnya adalah teks. Bagaimana kita menghadapi teks? Teks tentang lelaku diri seseorang dilihat dari keberadaanya secara riil, dibaca dari otobiografi atau biografi ”as told”, ataupun biografi yang ditulis dengan kaidah historiografi. Jalan hidupnya meninggalkan kesan bagi orang yang pernah mengenalnya.
Kita tidak menemukan teks biografi Daniel Dhakidae (22 Agustus 1945-6 April 2021). Namun, saya ingin bersaksi bahwa Daniel Dhakidae dalam kehidupan riilnya secara konsisten telah menghadirkan dirinya sebagai ideal type dari cendekiawan seperti yang ditulisnya dalam buku tebal.
Sementara teks suatu buku dapat dipakai untuk mengenali penggubahnya. Namun, biasa pula dilihat bahwa buku yang telah lahir terpisah dari penulisnya. Sebagai teks hanya layak berhadapan dengan teks lainnya yang hadir. Dapat antarteks dari penulis yang sama, atau teks-teks antarpenulis berbeda.
Maka, beberapa cara dapat dilakukan dalam membaca suatu teks. Cuma ada yang tidak lazim, jika bertolak dari kesan tentang sosok pribadi penulisnya, dari sini kemudian mencari sisi yang ingin didapat dari teks yang sedang dihadapi.
Ini kebalikan dari membaca teks mencari sosok penulisnya. Katakanlah karena mengenali latar belakang agama sang penulis, si pembaca mengais-ngais paragraf demi paragraf dalam buku perihal agama ini.
Buku ini boleh dipandang sebagai biografi mini DD.
DD dalam cangkangnya
Sebagai contoh dapat dilihat teks dari buku yang bakal terbit tahun 2022: Para Sahabat Mengenang Daniel Dhakidae Cendekiawan par Excellence (Ignatius Haryanto dan Yohanes Krisnawan, ed Penerbit Buku Kompas). Buku ini boleh dipandang sebagai biografi mini DD. Terdapat dalam buku, uraian menggelitik dalam teks dari seseorang yang tak perlu saya sebut, saya cuplik berikut: ”Ada yang mengherankan bagi saya. Seorang Pater Beek yang begitu besar pengaruhnya di hampir setiap bidang tidak sepatah kata ada dalam buku yang terbit tahun 2003 dan berisi 790 halaman. Orang yang anti Daniel Dhakidae akan menarik kesimpulan ekstrem: Daniel adalah kader Katolik yang telah bersumpah tidak akan menyebut nama KASBUL (Kaderisasi Sebulan) atau Beek. Orang yang pro Daniel akan berkata... lupa”. (hlm 263)
Buku 790 halaman dimaksud adalah Dhakidae (2003), Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Penerbit Buku Kompas. Nama Pater Beek dan kadernya hanya pernah terngiang bagi orang yang hidup pada masa akhir Orde Lama. Adalah Pater Beek (lengkapnya: Josephus Beek, SJ) pastor yang antikomunis, membina kader dari kalangan Katolik muda pada pra-Orde Baru. Dikesankan bahwa DD menutupi peran Pater Beek dan kadernya.
Komentator itu saya anggap membaca teks dengan mencari sesuatu bertolak dari prasangka yang dibentuk atas diri DD sebagai penulis. Si pembaca kecewa sebab dari ratusan halaman teks, dia tidak menemukan yang diharapkannya.
Pada hemat saya, disebabkan terlalu terobsesi untuk membuat pembenaran prasangka tentang sosok sang penulis, si pembaca melupakan hal-hal esensial dari penulis dan bukunya.
Setidaknya tentang DD dan bukunya perlu saya kemukakan tiga hal. Pertama, Daniel Dhakidae lahir tahun 1945 di Toto-Wolowae, Ngada, Flores. Setamat sekolah dasar sudah berada di sekolah berasrama ketat, kemudian seminari menengah sampai seminari tinggi.
Bagaimana mungkin ”menuntut”-nya harus kenal dan menulis tentang Pater Beek?
Selama di seminari ibarat berada dalam cangkang yang melindungi dari ”kotornya” laut yang mengitarinya. Baru setelah pemberontakannya di dalam cangkang itu, dia ”ditendang” ke luar seminari tahun 1969, terlempar ke Universitas Gadjah Mada (UGM).
Tahun 1971, ibarat gelagapan terbangun dia menjadi aktivis. Langsung menjadi aktivis yang berhadapan dengan kekuasaan negara Orde Baru. Dia tidak pernah aktif melalui organisasi baik intra maupun ekstra universiter. Bagaimana mungkin ”menuntut”-nya harus kenal dan menulis tentang Pater Beek?
Dan yang kedua, bagaimana posisi Pater Beek dan kadernya pada masa Orde Baru setelah PKI ditumpas hingga ”cindil-abang”-nya tidak relevan lagi. Kiprahnya adalah saat melawan arus besar komunis yang diberi tempat oleh Presiden Soekarno. Dia telah berhasil mengantarkan rezim yang menumpas komunis dengan kekuatan militer dan kelompok agama. Panggilan hidupnya selesai di situ.
Pater Beek sungguh bermain sebagai bayang-bayang, tidak ada dokumen yang dapat dijadikan sumber kajian. Jadi hanya yang pernah berinteraksi dengannya dapat bercerita. Adapun dengan Cendekiawan dan... menyangkut kondisi pra-Orde Baru, DD menulis berdasarkan kajian pustaka.
Pater Beek sungguh bermain sebagai bayang-bayang, tidak ada dokumen yang dapat dijadikan sumber kajian.
Lebih jauh kita tunggu saja muncul lagi peneliti yang menulis guna melengkapi bagaimana runtuhnya Orde Lama dengan ekletik politik ideologi nasionalisme, agama, komunisme (nas-a-kom) dan berdirinya rezim Orde Baru dengan batu fondasi nyawa ratusan ribu warga Indonesia yang dituduh sebagai PKI/komunis (kom).
Mungkin dari sana peran Pater Beek dan kadernya yang kemudian bertransformasi sebagai teknokrat pada masa awal dan bangunnya kekuasaan Orde Baru akan terkuak.

Trilogi teks DD
Sebagai sahabat yang galang-gulung sejak 1971 hingga 2021, dalam pandangan saya, panggilan hidup DD adalah mengajarkan bagaimana jurnalisme berkualitas selaku institusi pengetahuan dan posisi cendekiawan selaku agen sosial dengan kekuasaan kebudayaan di satu sisi, sekaligus dari sini dia mengajarkan tentang kekuasaan negara, khususnya yang dijalankan secara otoriter. Ibaratnya, dia menceritakan keberadaan sosok mangsa untuk menjelaskan anatomi dan karateristik predator.
Ada tiga karyatamanya yang perlu dibaca secara serial, yaitu disertasinya ”The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism, Political Economy of Indonesian News Industry”, Cornell University (1991), buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003), dan Menerjang Badai Kekuasaan, Penerbit Buku Kompas (2015). Dengan trilogi karyatama ini, pada dasarnya ia mendedah kekuasaan negara otoriter dan neo-fasis.
Disertasinya meneliti tentang perubahan jurnalisme Indonesia dari yang berorientasi politik menjadi bersifat industrial. Keunikannya terlihat dari kajian yang berfokus pada institusi pers, merambah pada negara yang memberi tempat bertumbuhnya kapital. Artinya, di satu sisi negara berubah, meninggalkan karakter kekuasaan negara Orde Lama yang berorientasi politik, menjadi Orde Baru yang berorientasi kapital.
Lewat buku yang memaparkan keberadaan cendekiawan dalam kerangka sosial dan kesejarahan, DD membedah anatomi militeristik dan fasistik negara Orde Baru.
Perubahan tersebut berimbas pada corak media pers. Di satu sisi kekuasaan Orde Baru menindas orientasi politik media jurnalisme, pada sisi lain memberi peluang bagi institusi jurnalisme untuk menjadi korporasi industrial.
Lalu buku Cendekiawan dan... Apakah cendekiawan sebagai agen sosial memiliki kekuasaan budaya, dan di mana tempatnya dalam berhadapan dengan modal dan kekuasaan?
Lewat buku yang memaparkan keberadaan cendekiawan dalam kerangka sosial dan kesejarahan, DD membedah anatomi militeristik dan fasistik negara Orde Baru. Sementara buku Menerjang..., berkesan galak, tetapi sebenarnya bercerita tentang sosok yang berada di pinggiran dari arus besar kekuasaan negara.
Trilogi itu layak ditempatkan sebagai buku babon tentang kekuasaan melalui keberadaan media jurnalisme, cendekiawan dan figur-figur personalitas yang unik. Panggilan hidup DD yang mengajarkan tentang buruknya kekuasaan otoriter dan fasistik tentunya tidak berakhir kendati rezim Orde Baru telah tutup buku tahun 1998.
Rezim demi rezim dapat muncul dengan dorongan kekuasaan oligarki yang korup dan menindas.
DD konsisten mengajarkan jurnalisme berkualitas dan cendekiawan berintegritas. Setelah menulis disertasi yang mengungkap sirnanya jurnalisme politik berorientasi perjuangan melawan kekuasaan dan munculnya korporasi pers industrial, dia masuk ke industri pers, yaitu mulai 1991 dengan menjadi staf kemudian belakangan (1994) memimpin Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Harian Kompas.
Jadi, bukan hanya pengajaran di mimbar. Dengan praksis dia mengupayakan lelaku bagi jurnalisme berkualitas. Sembari itu dia juga menghidupkan kembali Jurnal Prisma, media bagi para cendekiawan mengaktualisasi diri. Boleh dikatakan Jurnal Prisma semacam batu asah para cendekiawan muda.
”Sastrawan” teks nonfiksi
Dalam menghadapi trilogi karya DD, pembaca perlu menyiapkan diri sebagai penikmat, bukan sekadar mencari pengetahuan. Teks yang dihadirkannya diantarkan dengan tuturan prosais alias sastrawi.
Dengan disertasinya yang ditulis dalam bahasa Inggris, bagi pembaca yang biasa membaca novel berbahasa Inggris akan menemukan kekayaan bahasa yang sama. Dengan gaya bertuturnya yang bak mendongeng (story telling), pembaca mendapat kisah tentang dunia jurnalisme yang dihidupi para jurnalis Indonesia.
Begitu pula buku kedua adalah ”novel” tentang kaum cendekiawan. Denyut kehidupan dari cendekiawan di bawah lars sepatu kekuasaan negara Orde Baru secara rinci di-”dongeng”-kannya. Sementara teks ketiga merupakan cerita mengenai sosok yang sadar atau tidak berkelindan dengan kekuasaan, baik sebagai orang yang menyisih di pinggiran, melawan frontal, atau bahkan mengolok-olok kekuasaan.
Ciri khas DD adalah sebagai poliglot (menguasai banyak pengucapan), bahasa bukan hanya digunakan untuk keperluan praktis, melainkan sekaligus dinikmatinya. Ya, DD menikmati bahasa sehingga teks yang digubahnya menjadi ajang baginya dalam mengaktualisasikan kenikmatan dengan berbagai bahasa, mulai dari mancanegara sampai Jawa-Kawi.
Saya pribadi memahami kondisi ini, sebab sebagai novelis bukan hanya ingin bercerita, saya juga menikmati bahasa saat sedang menulis.

Ashadi Siregar
Rasanya kemenangan dalam menulis adalah dari pilihan kata demi kata dalam kalimat, ungkapan dan untaian paragraf yang pas hingga teks selesai. DD menyeret pembaca teksnya, mau tak mau, dalam kenikmatan berbahasa itu. Begitulah rasanya pengalaman saya saat membaca teks-teks gubahan Daniel Dhakidae. Semoga pembaca lainnya menikmati hal yang sama.
Ashadi Siregar, Novelis dan Pengajar Jurnalisme