Tagar satu hari satu oknum merupakan bentuk kritik masyarakat kepada institusi Polri atas perilaku sejumlah anggotanya yang menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya. Sudah saatnya Polri mengevaluasi kinerjanya.
Oleh
IKHSAN YOSARIE
·4 menit baca
Di pengujung tahun 2021, pelbagai persoalan yang menyangkut institusi dan/atau angggota Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri muncul dan mendapat sorotan serius dari masyarakat luas. Sorotan tersebut terpotret pada media sosial melalui pelbagai tagar yang muncul, salah satunya tagar satu hari satu oknum (#satuharisatuoknum).
Kemunculan tagar tersebut seharusnya dapat dipahami dengan mudah. Sebab, kemunculannya tidak terlepas dari klarifikasi-klarifikasi pejabat Polri atas pelbagai persoalan yang disebabkan dan/atau melibatkan anggota Polri.
Dalam klarifikasi tersebut, kata ”oknum” selalu menjadi dalih dan upaya menjaga citra institusi atas persoalan tersebut. Maksudnya, yang menjadi penyebab dan/atau terlibat dalam persoalan tersebut adalah oknum anggota kepolisian, bukan menggambarkan kepolisian secara institusi.
Klarifikasi demikian pada dasarnya tentu ada benarnya juga. Toh pelaku atau terduga pelakunya hanya satu hingga dua orang.
Namun, seiring semakin bertambah banyaknya kasus yang melibatkan anggota Polri sebagai penyebab dan/atau terlibat, bahkan tersebar di banyak daerah, pejabat Polri perlu memikirkan ulang substansi klarifikasi tersebut. Sebab, pertama, banyaknya anggota Polri yang terlibat, termasuk secara penyebaran wilayah, menurut penilaian publik sudah bukan lagi mencerminkan pelakunya hanyalah oknum.
Kedua, persoalan tersebut justru berpotensi disebabkan kultur kinerja yang memang buruk pada beberapa markas kepolisian di daerah, termasuk pengawasan yang lemah oleh pimpinan kepolisian di daerah tersebut. Ketiga, keterlibatan anggota kepolisian dalam persoalan itu secara nyata melanggar kode etik yang sudah diajarkan dan ditanamkan dalam pendidikan Polri. Keempat, dalam persoalan tersebut, anggota kepolisian yang menjadi penyebab dan/atau terlibat justru menggunakan pelbagai instrumen kepolisian dalam tindakannya, seperti kewenangan, pangkat, dan jabatan.
Untuk poin keempat, kasus seorang kepala polsek (kapolsek) di Sulawesi Tengah menjadi contoh konkret. Dalam kasus tersebut, seorang kapolsek diduga melakukan pelecehan seksual terhadap anak/putri salah seorang tersangka yang tengah mendekam di penjara dengan iming-iming akan membebaskan orangtua dari anak tersebut.
Melalui kasus tersebut, terlihat pemanfaatan pangkat dan jabatan yang digunakan oleh anggota kepolisian tersebut. Pada titik ini, klarifikasi menyoal kasus ini hanya oknum haruslah diuji dan dipikirkan kembali.
Di tengah masifnya sorotan atas perilaku anggota kepolisian akhir-akhir ini, dalih bahwa perilaku tersebut hanyalah oknum justru akan memicu kegerahan dan ketidakpercayaan publik.
Di tengah masifnya sorotan atas perilaku anggota kepolisian akhir-akhir ini, dalih bahwa perilaku tersebut hanyalah oknum justru akan memicu kegerahan dan ketidakpercayaan publik. Sebab, meskipun terdapat sanksi atas perilaku demikian, dalih hanya oknum seakan mencerminkan upaya pejabat Polri untuk menihilkan atau tidak mengakui bahwa hal tersebut merupakan realitas yang terjadi di sebagian anggota kepolisian.
Dengan anggapan itu hanya oknum, potensi yang terjadi adalah minimnya evaluasi. Sebab, dengan memberi sanksi kepada yang bersangkutan, persoalan dianggap selesai.
Dalih hanya oknum tersebut juga tidak relevan jika mengacu pada ketentuan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri. Sebab, ruang lingkup dalam kode etik tersebut justru bermula dari etika kepribadian, sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 Huruf a. Pada Pasal 3 disebutkan bahwa salah satu ruang lingkup etika kepribadian tersebut adalah menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri dari dalam hati nuraninya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Merujuk pada Pasal 23 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri (UU Polri), dalam lafal sumpah disebutkan bahwa untuk diangkat menjadi anggota Polri, yang bersangkutan akan setia dan taat sepenuhnya, di antaranya, kepada Tri Brata, Catur Prasatya. Selain itu, yang bersangkutan dalam sumpahnya juga akan menjunjung tinggi martabat anggota Polri serta melaksanakan kedinasan di Polri yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab.
Selain etika kepribadian, ruang lingkup kode etik tersebut juga berupa etika kelembagaan, sebagaimana disebutkan pada Pasal 5. Salah satu bentuk etika kelembagaan itu adalah setiap anggota Polri wajib menjaga citra dan kehormatan lembaga Polri serta menjalankan tugasnya sesuai dengan visi dan misi lembaga Polri yang dituntun oleh asas pelayanan serta didukung oleh pengetahuan dan keahlian.
Dengan pelbagai ketentuan dalam Perkap Kode Etik Profesi Polri, serta sumpah anggota Polri, seharusnya dalih hanya oknum tadi menjadi tidak relevan lagi. Sebab, pendidikan, nilai dan norma, serta ketentuan-ketentuan dalam institusi Polri sudah mengupayakan untuk lahirnya anggota-anggota Polri yang profesional dan berintegritas. Karena itu, jika ada anggota kepolisian yang melakukan hal-hal yang tidak sesuai atau justru berkebalikan dari seharusnya, termasuk jika bersifat masif (kasusnya pada beberapa daerah), yang perlu dilakukan adalah memeriksa dan mengevaluasi perihal internalisasi, mekanisme pengawasan, kultur, dan kinerja pada markas-markas kepolisian di daerah yang bersangkutan.
Evaluasi kinerja
Respons Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo terhadap pelbagai persoalan yang dialamatkan ke institusi Polri pada dasarnya menjadi tepat. Sebab, setelah serangkaian persoalan yang terjadi dan kritik publik yang masif, klarifikasi dengan dalih hanya oknum, lalu memberikan sanksi kepada yang bersangkutan, tidak lagi cukup. Respons yang diberikan haruslah mencerminkan keseriusan Polri untuk memperbaiki kondisi internalnya yang demikian, memberikan efek jera, serta tidak melepaskan bahwa ini merupakan soal oknum.
Respons yang dibutuhkan adalah memastikan dilakukan evaluasi kinerja. Menurut Kapolri, tagar tersebut merupakan bentuk kritik dari masyarakat kepada Polri karena adanya kesalahan dalam pelayanan masyarakat. Karena itu, sebagaimana arahan Kapolri saat Rakor Anev Itwasum Polri 2021, perlu dilakukan evaluasi mengenai apa yang menjadi penyebab fenomena tersebut.
Ikhsan Yosarie, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute