Pemulihan dengan Kewaspadaan
Tanda-tanda makin kuatnya perekonomian nasional ditunjukkan oleh kian bergairahnya permintaan domestik. Tingkat kepercayaan konsumen semakin optimistis, konsumsi rumah tangga terus meningkat.
Pandemi Covid-19 telah hampir dua tahun mengganggu kehidupan dan perekonomian global. Perjalanan panjang yang sangat melelahkan karena menekan dan menggerogoti fisik dan mental kita semua. Pergumulan ini terasa sangat lama karena sakitnya menusuk sampai ke sumsum tulang belakang.
Covid-19 menyisakan duka, ketakutan, dan trauma yang dalam. Pandemi merajah siapa pun, tanpa pandang status sosial dan ekonomi. Covid-19 terbukti meluluhlantakkan seluruh tatanan kehidupan manusia (sosial, ekonomi, dan politik), daya rusaknya luar biasa dan komprehensif.
Respons kebijakan dunia relatif sama, bak orkestra. Intinya, bagaimana caranya Covid-19 sesegera mungkin dienyahkan atau minimal tak lagi mengganggu kehidupan kita sekarang. Pilihan yang sangat logis dan bijak, semua berlomba dan fokus pada penanganan kesehatan dan kemanusiaan.
Perekonomian terpaksa atau seolah dinomorduakan karena sebagian besar negara lebih memilih membatasi pergerakan manusia secara ketat (lockdown) agar penyebaran virus bisa diisolasi, ditelusuri jejaknya, dan ditebas jalur penularannya.
Energi kebijakan fiskal dan moneter hampir semua ditumpahkan dan dikerahkan untuk mengatasi pandemi yang supermahal. Pilihan yang sangat rasional, tuntaskan dulu biang keroknya, yaitu Covid-19.
Pilihan yang sangat rasional, tuntaskan dulu biang keroknya, yaitu Covid-19.
Jika pandemi bisa dibabat atau dikendalikan, aktivitas fisik dan sosial masyarakat akan secara natural kembali normal. Permintaan barang dan jasa akan naik dengan sendirinya, diikuti produksi untuk merespons naiknya permintaan, sehingga pertumbuhan ekonomi bisa kembali normal menuju ke level prapandemi.
Pemulihan global kian tak merata
Menarik untuk dilihat, bagaimana pemulihan ekonomi 2021 antarnegara, setelah mengalami resesi ekonomi 2020. Sangat kentara dan mencolok, pemulihan ekonomi global tak merata (divergen). Negara maju pulih lebih cepat dari negara berkembang. Sebaliknya, negara miskin dan terbelakang kian tertinggal.
Penyebab divergensi pemulihan ekonomi antarnegara adalah (1) distribusi dan kecepatan vaksinasi, (2) skala dan kecepatan respons kebijakan moneter dan fiskal (terutama normalisasi kebijakan), dan (3) kemampuan membuka kembali ekonomi dan sosial yang melibatkan kontak fisik.
Tahun 2021 seharusnya pemulihan ekonomi dunia sangat menjanjikan. Akselerasi ekonomi sudah terjadi, tetapi sayangnya kembali didera varian Delta Covid-19 yang tingkat penularan dan kematiannya sangat tinggi. Akibatnya, hampir semua prediksi pertumbuhan global dikoreksi ke bawah karena eskalasi pandemi memaksa beberapa negara kembali melakukan lockdown.
Baca juga : Keluar dari Resesi
Lebih jauh lagi, pada saat perekonomian mulai menggeliat, di luar dugaan, perekonomian dunia diterpa inflasi tinggi. Sebagian besar negara maju dan negara berkembang mengalami tekanan inflasi yang luar biasa. Hal ini tentu tak sehat buat pemulihan ekonomi global secara keseluruhan.
Dampak negatifnya adalah mendorong bank sentral segera melakukan normalisasi kebijakan moneternya. Bank sentral di sejumlah negara terpaksa harus menaikkan suku bunga acuannya lebih cepat dan besar dari rencana sebelumnya. Padahal, perekonomian masih membutuhkan suku bunga rendah, untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi 2021 dan yang diharapkan berlanjut ke 2022.
Sebenarnya ada banyak hal positif yang terjadi pada perekonomian 2021, yang bisa jadi pijakan kokoh tahun 2022, meski 2021 tak terlepas dari kekurangannya, yaitu tak terkendalinya inflasi akibat dari kelangkaan bahan baku dan energi serta mahalnya biaya perkapalan (shipping cost) sebagai imbas pandemi.
Oleh karena itu, dirasa wajar kalau dunia masih bisa optimistis menyongsong dan mengarungi bahtera 2022. IMF dan OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 4,9 persen dan 4,5 persen tahun 2022 dari 5,9 persen (IMF) dan 5,7 persen (OECD) tahun 2021. Motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi dunia 2022 bertambah, yaitu AS, China dan Eropa, sedangkan sebelumnya hanya AS dan China.
Momentum positif pemulihan ekonomi dunia seharusnya bisa jadi momentum yang baik untuk perekonomian Indonesia. Tren pemulihan ekonomi Indonesia 2021 cukup menjanjikan, pemulihan ekonomi terus menunjukkan tren positif setelah mengalami kontraksi sangat dalam, 5,3 persen, pada kuartal II- 2020. Bahkan sampai kuartal III-2021, beberapa sektor ekonomi sudah berada di atas level prapandemi (2019).
Tanda-tanda makin kuatnya perekonomian nasional ditunjukkan oleh kian bergairahnya permintaan domestik. Tingkat kepercayaan konsumen semakin optimistis, konsumsi rumah tangga terus meningkat. Hal itu tecermin dari proporsi pengeluaran konsumsi terhadap total konsumsi yang naik signifikan ke 75,1 persen pada kuartal III-2021 dibandingkan tahun lalu yang hanya 69,4 persen di kuartal III-2020. Semakin meningkatnya pengeluaran konsumsi ini ternyata ditopang oleh tingkat pendapatan yang terus menunjukkan perbaikan menuju ke arah level sebelum pandemi.
Lebih optimistis
Satu hal yang sangat menarik adalah telah terjadi perubahan perilaku masyarakat yang sebelumnya penuh dengan kekhawatiran selama pandemi menjadi lebih optimistis menyikapi kondisi perekonomian ke depan. Ini dibuktikan dari pertumbuhan tabungan yang cenderung melambat pada 2021 dibandingkan 2020.
Tahun 2020, masyarakat cenderung menunda belanja dan investasinya untuk motif berjaga-jaga karena ketidakpastian pandemi. Hal ini diperlihatkan oleh pertumbuhan tabungan yang naik signifikan dari 6,8 persen per Januari 2020 ke 10,1 persen per September 2020.
Sebaliknya, di 2021, masyarakat cenderung lebih berani belanja lebih banyak. Ini ditunjukkan oleh pertumbuhan tabungan 2021 yang cenderung melambat dari 10,5 persen pada Januari 2021 ke 7,8 persen pada September 2021. Ini diperkirakan berlanjut di 2022, hingga konsumsi masyarakat (makanan dan nonmakanan) terus meningkat.
Baca juga : Menopang Pemulihan Ekonomi dengan Kinerja Fiskal
Semakin kuatnya permintaan disambut oleh kegiatan produksi yang juga makin intens. Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia terus berada di jalur ekspansif sejak Sepember 2021 sebesar 52,2, terus berlanjut 53,9 per November 2021.
Survei BI terhadap kinerja dunia usaha level menengah dan besar menunjukkan kegiatan dunia usaha cenderung stabil dan semakin membaik usahanya sejak kuartal I-2021, disertai penggunaan tenaga kerja di sektor manufaktur yang semakin pulih.
Hasil survei BRI Research Institute terhadap pelaku/debitor UMKM kuartal III-2021 juga sangat menggembirakan, pelaku UMKM sangat optimistis melihat kondisi perekonomian kuartal IV-2021. Ekspektasi indeks bisnis UMKM tercatat 132,0 (optimistis karena indeksnya di atas 100), jauh di atas ekspektasi sebelumnya, yaitu 88,1.
Dari sisi impor, jelas terlihat impor bahan baku dan barang modal terakselerasi sejalan dengan pemulihan ekonomi yang terus berlangsung. Pertumbuhan impor bahan baku selalu positif sejak Februari 2021 sebesar 11,3 persen dan kian terakselerasi, per November 2021 sebesar 60,5 persen. Begitu juga impor barang modal, 17,7 persen per Februari 2021 dan 23,1 persen per November 2021.
Dengan demikian, sudah selayaknya kita menyongsong perekonomian 2022 dengan rasa optimistis.
Dengan demikian, sudah selayaknya kita menyongsong perekonomian 2022 dengan rasa optimistis. Pemulihan harus dijaga momentumnya, tetapi tetap harus dengan kewaspadaan, jangan jemawa. Optimisme ini didukung beberapa faktor: (1) motor penggerak pemulihan ekonomi dunia adalah AS, China, dan Eropa, (2) intensitas vaksin kian meluas, (3) semakin pulihnya permintaan domestik, (4) masih tingginya harga komoditas, dan (5) perilaku masyarakat yang kian adaptif di tengah pandemi.
Namun, kita sebaiknya tetap waspada dengan berbagai risiko yang bisa mengganjal perekonomian nasional, yaitu (1) tapering off AS pada November 2021 (diikuti naiknya suku bunga di 2022), (2) munculnya varian baru virua penyebab Covid-19, (3) divergensi pemulihan ekonomi global, (4) potensi BI menaikkan suku bunga acuannya, (5) keterbatasan ruang fiskal untuk melakukan stimulus, dan (6) peluang meningkatnya tekanan di pasar finansial dan valas.
Atas dasar ini, saya perkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 4,8-5,3 persen di 2022, jauh lebih baik dibandingkan 2021. Inflasi terkerek naik ke 2,8-3,3 persen, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sedikit terdepresiasi ke Rp 14.479-Rp 14.955. Pertumbuhan kredit meningkat ke 5,8-7,5 persen dibandingkan 2021. Kemudian, pertumbuhan tabungan (dana pihak ketiga) berkisar 4,8-6,5 persen, melambat dibandingkan tahun 2021.
Stimulus pemerintah melalui dana PEN 2022 ada baiknya semakin fokus dan terus menyasar sektor-sektor ekonomi yang memiliki daya ungkit tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Sementara BI, yang kemungkinan merespons dengan menaikkan suku bunga acuannya untuk menjaga stabilitas rupiah, dapat memaksimalkan kebijakan nonmoneter.
Untuk tetap bisa mendukung pertumbuhan ekonomi, relaksasi di makroprudensial masih sangat dibutuhkan, juga efisiensi sistem pembayaran, pengembangan dan pendalaman pasar uang, serta mendorong dan mempercepat inklusi ekonomi keuangan hijau. OJK bisa lebih mendorong transformasi ekonomi digital serta meningkatkan efektivitas program inklusi keuangan dan perlindungan konsumen.
Anton Hendranata, Chief Economist PT BRI (Persero) Tbk; Direktur Riset BRI Research Institute