Warga Jawa Barat yang mayoritas beretnik Sunda konon dikenal kreatif. Tidak hanya untuk urusan seni, tetapi juga urusan perut. Dari pikiran merekalah muncul banyak akronim nama makanan.
Oleh
Nur Adji
·4 menit baca
Warga yang tinggal di Jawa Barat, atau paling tidak pernah singgah di Jawa Barat, pasti tahu comro alias oncom di jero. Penganan yang terbuat dari singkong diparut ini, plus di dalamnya diberi isi osengan oncom pedas, kondang sebagai teman di kala sore. Ditutup dengan minum teh hangat, amboi nikmatnya. Utang berjibun di bank pun rasanya seperti sudah lunas saja.
Kalau ada orang yang belum tahu comro, mungkin orang tersebut kurang piknik. Kurang jalan-jalan. Maka, ayo ke Jawa Barat, khusus untuk makan comro.
Omong-omong tentang comro—versi lain ada yang menuliskan combro—rupanya ada juga yang tidak tahu bahwa nama tersebut merupakan akronim dari oncom di jero (oncom di dalam). Kisah seperti itu menimpa juga pada banyak kata, semisal radar (radio detecting and ranging) dan tilang (bukti pelanggaran). Kepanjangannya sudah terlupakan, dan orang lebih ingat pada bentuk yang diakronimkannya.
Biar tidak disebut orang kurang piknik lagi, berikut akronim beberapa nama penganan yang merupakan hasil upaya kreatif orang Jawa Barat (baca: Sunda).
Pasangan comro adalah misro. Jika comro biasanya berisi oncom yang pedas, misro sebaliknya. Penganan ini berisi gula merah atau gula jawa sehingga berasa manis. Itu sebabnya, penganan ini dinamai misro alias amis di jero (manis di dalam).
Rada aneh memang. Kalau unsur pembentuk kata comro ialah oncom yang juga merupakan nama penganan, pada kata misro yang menjadi unsur pembentuknya adalah rasa (amis), bukan penganan. Amis dalam bahasa Sunda berarti ’manis’, bukan ’anyir (berbau seperti bau ikan)’ seperti yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Sepertinya si pencipta nama makanan ini tidak sampai berpikir rumit seperti linguis. Pokoknya enak diucapkan, ya, ucapkan saja. Toh, baik comro maupun misro pada akhirnya masuk KBBI juga.
Berbeda dengan comro dan misro, gehu adalah nama penganan yang merupakan akronim dari dua jenis penganan yang disatukan: toge dan tahu. Pada tahun 1986-an, nama makanan ini dikenal sebagai tahu b(e)rontak. Belakangan ada juga yang menyebut tahu isi atau tahu jeletot.
Akronim nama makanan ini juga rada aneh. Nama toge disebut terlebih dahulu daripada tahu, padahal unsur utamanya adalah tahu. Wong penganan ini adalah tahu yang diisi olahan toge, wortel yang diiris kecil-tipis, dan bumbu semacam daun bawang, bawang merah, dan bawang putih. Alih-alih namanya huge (tahu toge), si penciptanya malah memilih gehu (toge tahu).
Sepertinya si pencipta nama makanan ini tidak sampai berpikir rumit seperti linguis. Pokoknya enak diucapkan, ya, ucapkan saja.
Jauh sebelum ada gehu, ada colenak. Kata ini akronim dari (di)cocol enak. Colenak adalah penganan yang dibuat dari peuyeum, lalu dibakar, dan dicocolkan ke kinca (cairan dari gula merah yang dicampur parutan kelapa). Konon makanan ini diperkenalkan oleh Aki Murdi pada tahun 1930.
Ini juga suatu penamaan yang aneh. Cocol, zaman sebelum KBBI daring muncul, adalah bahasa Sunda, sedangkan enak adalah bahasa Indonesia. Kata enak dalam bahasa Sunda sebetulnya adalah ngeunah. Entah kenapa pula si pembuat akronim tidak membuat jadi colenah (cocol ngeunah), tapi colenak (cocol enak).
Asal tahu saja, belum lama ini colenak dipadukan dengan gatot, penganan khas daerah Yogyakarta, yang oleh Ridwan Kamil disebut coletot. Penganan hasil karya finalis acara Masterchef, Hardian Eko Nurseto, ini merupakan gabungan akronim (colenak) dan kata (gatot), persis seperti AMD (ABRI + masuk desa) atau kasad (kepala + staf angkatan darat).
Penganan lain yang diakronimkan adalah penganan yang terbuat dari aci (sagu atau kanji). Paling tidak ada lima nama yang beredar di tataran Sunda, yaitu cilok, cireng, cimol, cilung, dan cilor.
Cilok rasanya lebih dulu ada daripada cimol, cireng, cilung, dan cilor. Sewaktu saya duduk di bangku sekolah dasar kelas V (tahun 1977), saya pernah merasakan nikmatnya penganan yang merupakan akronim dari aci dicolok ini.
Kanji yang dicampur dengan bumbu-bumbuan, lalu dibulatkan seperti bakso, ini dicolokkan, atau dicelupkan, ke dalam bumbu kacang, lalu hap… wuenak untuk ukuran anak SD zaman dulu.
Dari kata cilok, muncullah cimol (aci digemol), cireng (aci digoreng), cilung (aci digulung), dan cilor (aci telor atau cilok telor). Jadi, teori bahasa yang menyatakan penciptaan kata bisa didasarkan pada pola yang sudah ada, atau analogi, berlaku di sini. Dari pola dengan ci, muncullah kata dengan ci-ci yang lain.
Banyak akronim lain yang dibuat oleh pedagang makanan untuk tujuan memudahkan dirinya dan pembelinya agar lebih cepat ingat pada makanan yang dibuatnya. Sebut saja es jerman (es jeruk manis), basreng (bakso goreng), bansus (bandrek susu), atau internet (indomi kornet).
Mungkin nantinya muncul pula bentuk analogi lain, seperti toreng (toge goreng), cikar (aci dibakar), comhu (oncom tahu), dan seterusnya.
Bentuk kreativitas penutur bahasa seperti ini baik juga untuk diperhatikan. Hal itu bisa memperkaya perbendaharaan kata pada penutur dan kamus.
Bentuk kreativitas penutur bahasa seperti ini baik juga untuk diperhatikan. Hal itu bisa memperkaya perbendaharaan kata pada penutur dan kamus. Tak apalah jika kata-kata tersebut tidak memiliki pola akronim yang baku, yang penting kata ini mudah diingat, dan akhirnya bisa juga menjadi warga Kamus Besar Bahasa Indonesia.