Tantangan Merawat Harapan
Memikirkan 2022 adalah memikirkan Indonesia masa depan dan fondasi menuju ke sana. Indonesia masa depan seperti apa yang kita mau bentuk: tantangan apa yang mesti dihadapi, harapan apa yang ingin digapai.
The future is neither predicted nor forecasted. It is shaped.
Ian Miles, 2004
Pergantian tahun sering jadi momen refleksi atas apa yang telah dicapai dan yang masih ingin diraih; apa yang dipelajari kemarin untuk menyongsong esok.
Ia memberi fondasi untuk membangun harapan akan masa depan. Meninggalkan 2021, apa refleksi dan harapan kita untuk Indonesia di 2022?
Tahun 2022 adalah tahun kritis, tahun terakhir pemerintahan Jokowi bisa bekerja sepenuh hati secara teknokratis, karena 2023 praktis seluruh perhatian akan tercurah untuk perkara politis Pemilu 2024. Jadi, 2022 tahun penentuan, make or break: apakah pemerintahan ini berhasil meninggalkan warisan bermakna, yakni terpenuhinya janji pembangunan sembari meletakkan fondasi kuat ke masa depan, ataukah sebaliknya.
Tujuh tahun terakhir, Indonesia ”habis-habisan” menggenjot pembangunan, baik secara fisik maupun nonfisik. Negeri ini menyiapkan diri menjadi salah satu negeri terbesar dunia di masa depan. Capaian yang ditunjukkan pun menjanjikan. Bahkan, penanganan pandemi Covid-19—yang meluluhlantakkan banyak negara—sempat dipuji dunia.
Namun, justru seiring berbagai ”prestasi” pembangunan, banyak kritik ditujukan pada pemegang kekuasaan.
Namun, justru seiring berbagai ”prestasi” pembangunan, banyak kritik ditujukan pada pemegang kekuasaan. Mulai dari politik kebijakan hingga pendekatan pembangunan, dari watak oligarki hingga kekhawatiran mandeknya demokrasi. Jika diringkas, bunyi berbagai kritik itu barangkali: capaian tak boleh dijadikan alasan dan pembenaran melanggengkan keseluruhan praktik kekuasaan yang berjalan tanpa pengawasan.
Karena itu, sembari merefleksikan semua capaian, kita perlu menyiapkan diri menghadapi tantangan ke depan.
Membangun fondasi kemajuan
Visi Indonesia 2045 sudah dinyatakan. Tekad menjadi negara maju seabad sesudah merdeka telah dicanangkan. Sekuat apa fondasi menuju ke sana? Wabah korona jadi satu batu uji. Meski sejumlah capaian pembangunan sempat porak-poranda karena pandemi, negeri ini berusaha keras bangkit kembali.
Kantor Staf Presiden (2021) melaporkan upaya ini dalam kerangka Lima Visi Jokowi-Ma’ruf Amin. Pertama, dalam pembangunan fisik infrastruktur untuk mendorong konektivitas, misalnya, dilaporkan penyelesaian infrastruktur prioritas: jalan tol, pelabuhan dan trayek tol laut, dan rute udara.
Kedua, transformasi ekonomi didorong lewat penguatan daya saing, penciptaan nilai tambah, dan tak sekadar jual-beli komoditas.
Ketiga, pembangunan manusia difokuskan pada kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial. Perluasan kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan penanganan Covid-19 dengan fokus pada vaksin, obat, dan alat kesehatan menjadi kunci hidup dalam ”normal baru”. Program Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Pintar Kuliah telah membantu lebih dari 18 juta siswa SD, SMP, SMA, SMK, dan mahasiswa secara keseluruhan.
Keempat, reformasi birokrasi lewat peremajaan ASN, sistem meritokrasi, dan pembenahan kinerja kelembagaan untuk perbaikan layanan publik, mendorong demokrasi, dan partisipasi di politik.
Kelima, penyederhanaan perizinan dilakukan untuk mendorong investasi dan kemudahan berusaha, serta menciptakan lapangan kerja. Selain itu, pemerintah berupaya menanggapi dampak perubahan iklim, tantangan transisi energi, dan membangun lebih lestari lewat implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Baca juga : Memikirkan Warisan Jokowi
Namun, ada catatan kritis di bidang hukum, tata kelola, dan kapasitas negara. Penegakan dan kepastian hukum yang adil masih jauh dari harapan, demikian pula dengan tata kelola pemerintahan yang terbuka, akuntabel, dan responsif.
Kapasitas negara dalam wujud birokrasi dan kelembagaan belum mampu menjadikan pemerintahan agile (luwes-lincah) lewat kebijakan dan rencana pembangunan yang berbasis bukti dan pengetahuan. Ruang gerak sipil dan demokrasi sebagai alat kontrol kekuasaan juga menyempit: kritik dianggap anti, dan sering ditanggapi dengan represi.
Meski tak tampak rupa fisiknya, perkara hukum, tata kelola, dan kapasitas negara menjadi sendi dasar kemajuan bangsa. Tak ada negara besar, maju, dan nyaman ditinggali warganya hanya dengan infrastruktur ekonomi modern tanpa kepastian hukum, tata kelola pemerintahan dan kapasitas negara memadai, serta ruang demokrasi dan kebebasan sipil. Itu sebabnya, fondasi kemajuan negeri tak boleh pincang: mengutamakan kinerja ekonomi, tetapi kurang memastikan tata kelolanya.
Ini PR besar di 2022. Bukan hanya untuk mengamankan warisan Jokowi, melainkan karena 2022 adalah tahun transisi penuh tantangan, baik secara teknokratis maupun politik.
Agenda teknokratis
Dari sisi teknokratis, sejumlah agenda utama pembangunan mesti diselesaikan—setidaknya, ada peta jalan penyelesaiannya. Mengapa? Karena mau tak mau, mulai 2023 urusan politik akan meminggirkan berbagai urusan teknokratis. Jika perkara teknokratis tak bisa diselesaikan di 2022, besar kemungkinan ia terperangkap jadi perkara politis di tahun selanjutnya.
Setidaknya enam soal ini krusial di 2022. Pertama, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi. Seiring transisi pandemi menjadi endemi, fasilitas kesehatan harus makin diperkuat, pelaksanaan protokol kesehatan diperketat, upaya lacak ditingkatkan, dan vaksinasi dipercepat dan diperluas. Ini tak hanya untuk mengantisipasi varian baru, tetapi demi masyarakat yang lebih sehat.
Kedua, pemindahan ibu kota negara. Mesti segera ditegaskan dan diputuskan bagaimana pemindahan ibu kota negara akan dijalankan setelah UU Ibu Kota Negara disahkan DPR dan peletakan batu pertama dilakukan. Harus jelas rencana dan peta jalan penyiapan kelembagaan, pembangunan infrastruktur fisik, dan tahapan pemindahan ASN ke ibu kota negara.
Ketiga, pembangunan infrastruktur prioritas mesti sudah memasuki tahap finalisasi. Ini mencakup konektivitas antarpulau, teknologi informasi dan komunikasi, sarana-prasarana kesehatan dan pendidikan, serta dukungan pengembangan ekonomi nilai tambah.
Meski tak tampak rupa fisiknya, perkara hukum, tata kelola, dan kapasitas negara menjadi sendi dasar kemajuan bangsa.
Keempat, visi pembangunan manusia mesti makin jelas wujudnya di bidang kesehatan, pendidikan, ataupun manajemen talenta. Setelah pandemi relatif terkendali, reformasi kesehatan mesti lanjut kembali dengan fokus memastikan layanan kesehatan berkualitas untuk semua. Penataan kurikulum dan reformasi tenaga pengajar menjadi kunci transformasi pendidikan untuk memberikan fondasi intelektual bagi warga.
Kelima, energi dan lingkungan. Strategi transisi energi mesti segera dirampungkan dan dijalankan. Demikian juga kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan serta mitigasi dampak perubahan iklim. Eksploitasi serampangan telah mengakibatkan ambruknya daya dukung lingkungan.
Kawasan Industri Hijau yang baru dimulai pembangunannya oleh Presiden Jokowi di Kalimantan Utara (Kompas, 21/12/2021) mesti dipastikan bukan hanya jadi show window untuk menarik investasi, melainkan jadi pelopor kawasan industri yang menghormati lingkungan di masa depan.
Keenam, reformasi birokrasi, penegakan hukum, demokrasi, dan keadilan. Reformasi birokrasi mesti dikawal ketat. Revisi UU ASN yang didesakkan sejumlah parpol tak boleh memundurkan upaya menjadikan ASN kita modern dan maju hanya demi kepentingan kekuasaan mereka.
Penegakan hukum mesti jadi prioritas. Ruang demokrasi dan kebebasan sipil untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat, termasuk kritik kepada pemerintah, mesti dilindungi.
Ini meyakinkan warga bahwa keadilan bukan hanya perkara akses sumber daya ekonomi, melainkan juga perlindungan atas hak warga negara yang menjadi dasar bangunan kepercayaan dan dukungan warga kepada pemerintahnya.
Baca juga : Menjaga Tata Kelola Pemerintahan
Membangun nalar politik
Dari kacamata politik, 2022 jadi tahun ”penjajakan” berbagai inisiatif untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan pada 2024. Banyak kelompok berkepentingan dengan tata kuasa setelah administrasi Jokowi purna.
Pengakuan terbuka mengenai soal ini akan membawa kesadaran publik ke tingkat yang lebih tinggi: memahami politik bukan hanya sebagai perkara elite yang berebut kekuasaan di luar dirinya, melainkan mengerti bahwa perebutan kekuasaan itu akan berdampak langsung pada dirinya sebagai warga negara.
Ini penting untuk membangun nalar politik warga agar bisa mengambil sikap terhadap berbagai gagasan dalam perebutan kekuasaan yang akan mudah dilabeli ”demi kepentingan bersama”, atau bahkan ”demi Indonesia yang lebih baik”.
Demokrasi di negeri ini masih belia dan mudah dibelokkan atau digoda agar berubah arahnya. Mulai dari upaya menyempitkan ruang gerak sipil hingga manuver untuk memperpanjang rentang waktu kuasa. Karena itu, demokrasi bangsa yang masih muda mesti terus dijaga.
Ini tugas berat pemerintahan Jokowi secara politik di 2022: meyakinkan warga untuk percaya pada demokrasi dan proses demokratis dalam regenerasi kepemimpinan demi kemajuan negeri. Presiden mesti turun tangan menjembatani polarisasi sosial-politik yang telah membelah warga cukup dalam—diakui atau tidak. Mungkin upaya ini tak akan selesai di 2024, tetapi harus dimulai dan menjadi agenda politik utama di 2022.
Mengapa ini penting, karena masa depan Indonesia jadi taruhannya. Indonesia tak akan bisa besar dan maju jika masyarakat terus terbelah secara tidak sehat. Pemerintahnya pun tak akan kuat dan visioner karena selalu disibukkan dengan agenda jangka pendek dan tak mampu melihat jauh ke depan.
Pemerintah seperti ini lemah: selalu tunduk pada kepentingan bisnis dan jadi bulan-bulanan kemarahan masyarakat sipil. Ia tak akan punya kapasitas mengelola dan melayani warga, dan akhirnya membiarkan mereka kian terbelah dan berantakan. Kita tak mau jadi seperti itu.
Karena itu, perlu memperkuat pemerintahan secara politis sekaligus teknokratis. Saat para pembantu Presiden sibuk berpolitik mulai 2023 (atau malah lebih dini), siapa yang akan mengawal berbagai agenda pembangunan negeri? Untuk itu, rencana penataan ulang (reshuffle) para menteri dan wakilnya perlu dilihat dari kacamata ini: bukan sekadar akomodasi politik pendukung Presiden, tetapi penguatan kapasitas teknokratis kabinet menjalankan pemerintahan.
Akhirnya: membentuk Indonesia
Memikirkan 2022 adalah memikirkan Indonesia masa depan dan fondasi menuju ke sana. Satu fondasi pokok adalah pengetahuan dan inovasi. Ia menjadi kunci tak hanya untuk membangun daya saing ekonomi, tetapi juga penguatan kapasitas negara dan perbaikan kebijakan serta perencanaan pembangunan.
Itu sebabnya, menghadapi berbagai tantangan ke depan, kita tak bisa dan tak boleh berpaling dari nalar dan pengetahuan. Sebab, target teknokratis pembangunan dan konsolidasi kekuasaan politik akan jadi godaan terbesar untuk menyepelekan peran pengetahuan dalam pengambilan berbagai keputusan.
Akhirnya, masa depan bukan untuk diperkirakan atau diramalkan, tetapi dibentuk. Karena itu, kita mesti sadar dan mengerti, Indonesia masa depan seperti apa yang kita mau bentuk: tantangan apa yang mesti dihadapi, harapan apa yang ingin digapai. Membentuk Indonesia masa depan adalah menjawab tantangan untuk merawat harapan.
Yanuar Nugroho, Dosen STF Driyarkara Jakarta; Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura; Honorary Fellow University of Manchester UK; Penasihat Senior CIPG Jakarta