Para CEO bank BUMN telah menjadikan 2021 sebagai tahun yang hilang. Mereka memilih tetap mendanai energi kotor batubara. Tahun 2022 keengganan mereka untuk melakukan aksi iklim tak boleh terulang lagi.
Oleh
FIRDAUS CAHYADI
·4 menit baca
Sepanjang 2021, di hampir seluruh penjuru dunia terjadi bencana akibat krisis iklim.
Topan Rai, sebuah siklon tropis sangat kuat, pada Desember 2021 melanda Filipina, menewaskan sedikitnya 375 orang. Sebelumnya, Mei 2021, India juga dilanda siklon Tauktae yang menyebabkan 90-an orang meninggal. Sedikitnya 16.000 rumah rusak di Gujarat, India, akibat terjangan siklon ini.
Bencana akibat krisis iklim bukan hanya banjir dan terjangan badai, melainkan juga gelombang panas akibat peningkatan suhu di Bumi. Pada 25 Juni hingga 7 Juli 2021, Amerika Serikat dan Kanada dilanda gelombang panas. Hampir 500 orang di hampir seluruh provinsi barat Kanada meninggal dalam lima hari akibat cuaca panas ekstrem itu.
Berdasarkan data Pusat Informasi Lingkungan Nasional Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA), bulan Juli 2021 merupakan yang paling panas sejak 1880. Suhu Bumi rata-rata pada abad ke-20 itu mencapai 16,73 derajat celsius.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia pun tak luput dari terjangan bencana akibat krisis iklim ini. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, sepanjang 2021 terjadi 2.841 bencana alam yang didominasi oleh bencana iklim. Kejadian bencana naik 19,4 persen dari 355 pada 2020 menjadi 424 kejadian pada 2021. Jumlah pengungsi dan terdampak bencana naik 153 persen dari 265.913 orang menjadi 672.736 orang.
Sementara itu, menurut laporan International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, pada 2021 ada sekitar 10,3 juta orang di dunia terpaksa mengungsi akibat bencana yang disebabkan oleh krisis iklim, seperti banjir dan kekeringan. Dari angka itu, sekitar 60 persen di Asia, termasuk Indonesia.
Berbagai bencana akibat krisis iklim di berbagai penjuru dunia itu telah mengakibatkan kerugian ekonomi masif. Menurut data organisasi kemanusiaan, Christian Aid, 10 bencana iklim paling parah pada 2021 menyebabkan kerugian lebih dari 170 miliar dollar AS (Rp 2,38 kuadriliun). Nilai itu naik Rp 280 triliun dari 2020.
Menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti, kerugian ekonomi Indonesia akibat krisis iklim mencapai Rp 100 triliun per tahun. Kerugian ini akan terus meningkat seiring makin ekstremnya cuaca.
Semua pihak memiliki peran dalam menghentikan krisis iklim ini, termasuk sektor perbankan, terutama bank BUMN. Sebagai bank milik negara, sudah seharusnya bank-bank tersebut mengambil kepemimpinan dalam aksi iklim. Pendanaan bank-bank BUMN untuk proyek-proyek energi kotor batubara, misalnya, justru mempercepat terjadinya krisis iklim.
Sudah banyak suara masyarakat yang menyerukan agar bank-bank BUMN menghentikan pendanaan ke energi kotor batubara.
Abaikan desakan publik
Sudah banyak suara masyarakat yang menyerukan agar bank-bank BUMN menghentikan pendanaan ke energi kotor batubara. Pada Desember 2021, koalisi #BersihkanIndonesia, gabungan ormas sipil yang bertujuan mengajak masyarakat untuk aktif mendorong perubahan kebijakan energi dan lingkungan, telah mengirimkan surat kepada para CEO bank BUMN, seperti Bank Mandiri dan BNI, agar menghentikan pendanaan ke sektor batubara.
Sebelumnya, komunitas mahasiswa fossil free kampus Indonesia, yang dimotori mahasiswa UI dan UGM, juga telah membuat petisi kepada BNI agar menghentikan pendanaan ke batubara. Namun, semua suara itu seperti membentur dinding-dinding ruang kerja mewah para CEO bank BUMN. Hingga pengujung tahun 2021, belum ada tanda-tanda para CEO bank BUMN memiliki komitmen menghentikan pendanaan ke proyek batubara.
Padahal, jika membaca Sustainability Report bank-bank BUMN itu, mereka telah berkomitmen ikut serta dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim. Sustainability Report merupakan laporan informasi kinerja perusahaan pada aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial dalam periode satu tahun.
Dalam Sustainability Report BNI di 2020, misalnya, BNI menyatakan memiliki komitmen untuk mengimplementasikan keuangan berkelanjutan, yang salah satunya bertujuan untuk mengurangi emisi GRK.
Namun, nama BNI ternyata disebut dalam laporan Urgewald, sebuah organisasi di Jerman, sebagai salah satu dari enam bank di Indonesia yang masih memberikan pinjaman kepada perusahaan batubara.
Para CEO bank BUMN telah menjadikan 2021 sebagai tahun yang hilang. Mereka memilih tetap mendanai energi kotor batubara. Tahun 2022 keengganan mereka untuk melakukan aksi iklim tak boleh terulang lagi. Semakin lama bank-bank BUMN memilih untuk tetap mendanai batubara, akan kian sulit untuk mengatasi krisis iklim. Artinya, korban nyawa manusia akan terus berjatuhan dan kerugian ekonomi pun akan terus membengkak.
Firdaus Cahyadi, Executive Director OneWorld-Indonesia