”Chronos dan Kairos” di Masa Pandemi, Refleksi tentang Waktu
Masa pandemi tidak harus menjadi ”flat time” yang membosankan, tetapi suatu ”kesempatan” guna menarik diri dan mencermati ke arah mana Sang Misteri kehidupan sedang menuntun kita.
Oleh
TRISNO S. SUTANTO
·3 menit baca
Boleh jadi, perlahan-lahan kita, gara-gara pandemi yang berkepanjangan, makin menghayati waktu sebagai flat time, waktu yang mendatar. Ini akibat aktivitas yang selalu terbatas, kebanyakan di rumah saja, sehingga hari demi hari berlalu tanpa ada kejadian apa pun yang cukup bernilai sebagai penanda.
Gejala itu tampak dan menguat saat Anda mulai tidak bisa membedakan apakah ini hari Rabu atau Sabtu, misalnya. Apakah ini masih pertengahan Minggu, atau justru sudah di hari-hari terakhir Minggu. Sebab, setiap hari seakan-akan menjadi hari Minggu saat orang beristirahat dari aneka kesibukan.
Gagasan ini mengingatkan saya pada Thomas L. Friedman, kolumnis terkenal TheNew York Times, yang pernah menerbitkan buku mahsyur mengenai globalisasi: The World is Flat: A Brief History of the Twenty First Century (2005). Dalam analisis Friedman, kekuatan-kekuatan globalisasi sudah menjadikan dunia ini seperti lapangan datar yang tidak lagi punya perbedaan berarti. Anda bisa minum kopi di gerai Starbuck di mana pun, entah di ujung gang kampung atau di San Francisco, dan rasanya sama saja!
Pandemi korona memaksakan ”liburan panjang” yang terasa sudah terlalu panjang.
Itu pula yang terjadi saat pandemi dengan waktu: The Time is Flat jika memakai judul buku Friedman. Pandemi korona memaksakan ”liburan panjang” yang terasa sudah terlalu panjang. Apalagi pandemi memaksa orang tinggal di rumah saja, melakukan pekerjaan rutin sehari-hari. Maka, hari demi hari, dan bulan demi bulan, berjalan sebagai rutinitas yang sama, yang lama-lama membuat kita bingung membedakan satu hari dengan hari lainnya.
Namun, kalau direnungkan lebih dalam, sebenarnya penghayatan waktu yang datar (flat time) itu merupakan ciri khas dunia modern, di mana aliran waktu dapat dipotong-potong menjadi rangkaian detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Bahkan dunia modern menciptakan alat ukur untuk menentukan ”presisi” tiap-tiap potongan itu sehingga kita seakan butuh penyesuaian waktu berdasarkan standar Greenwich yang diakui internasional.
Orang Yunani klasik menyebut penghayatan waktu itu sebagai chronos, kata yang menjadi asal-usul untuk ”kronologi”. Di situ waktu dihayati secara datar, yakni pergantian dari hari ke hari, bulan ke bulan, atau tahun ke tahun yang dapat ”dikuasai”, karena dapat diukur sampai titik presisinya. Mungkin ada kejadian-kejadian yang kemudian mencuat jadi ”penanda”, tetapi waktu yang dihayati tetap sama secara ”kronologis”.
Syukurlah, dalam legenda Yunani juga, ada model penghayatan waktu yang berbeda, disebut sebagai kairos. Kata ini bisa diterjemahkan sebagai ”waktu”, tetapi lebih sering disebut sebagai ”kesempatan”. Atau, dalam terjemahan Kitab Suci sering dipakai ”waktu di mana Allah berkenan”.
Dan legenda itu mengajarkan, saat-saat kairos merupakan bagian tersembunyi dari chronos.
Berbeda dengan penghayatan chronos, waktu kairos (kairotic time) tidak berjalan linear, dari hari ke hari, bulan ke bulan, dan seterusnya. Tidak. Sama seperti ”kesempatan” tidak dapat diprakirakan sebelumnya, tetapi menjumpai kita tanpa diduga, begitu juga kairos. Sebab, pada kairos bukan manusia yang mampu mengatur dan menguasainya, melainkan intervensi Yang Ilahi yang masuk dan memecahkan kontinum waktu kronologis, dan membuka ”kesempatan” bagi setiap orang yang dapat mencandranya.
Yang menarik, dalam legenda Yunani, sering digambarkan bahwa kairos merupakan anak dewa chronos. Dua-duanya adalah model penghayatan waktu. Dan legenda itu mengajarkan, saat-saat kairos merupakan bagian tersembunyi dari chronos. Jika kita cermat dan mampu mencandranya, aliran waktu ”kronologis” selalu menyimpan saat-saat ”kesempatan” yang akan menjumpai dan membelokkan arah hidup kita.
Persis di situlah ada tuntutan latihan rohani agar orang dapat membaca ”tanda-tanda zaman”, yakni kairos yang tersembunyi dalam chronos. Maka, di situ, waktu di masa pandemi tidak harus menjadi flat time yang membosankan, tetapi suatu ”kesempatan” guna menarik diri dan mencermati ke arah mana Sang Misteri kehidupan sedang menuntun kita.
Selamat memasuki tahun yang baru!
Trisno S. Sutanto,Penulis adalah esais, tinggal di Jakarta.