Gus Dur, Salafisme, dan Dilema Ortodoksi Beragama
Infiltrasi anggota JI ke tubuh MUI menjadi bukti sahih bahwa mereka sanggup melampaui batas budaya dan politik serta dapat merasuk ke dalam organisasi yang jauh lebih mapan dan memiliki pengaruh dalam lanskap kebudayaan.

Didie SW
Dalam kata pengantarnya untuk Ilusi Negara Islam (2009), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah memberikan penjelasan tentang eksistensi beberapa organisasi masyarakat yang tidak sejalan dengan para tokoh nasionalis-religius dalam mempertahankan bangunan kebangsaan NKRI.
Bagi Gus Dur, orang-orang yang mampu menerima perbedaan kemajemukan adalah pribadi-pribadi yang terus berupaya berkontribusi pada kemanfaatan publik, yang disebut masuk kategori jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah).
Berbeda dengan al-nafs al-muthmainnah ini, beberapa ormas, di antaranya Gus Dur menyebut Darul Islam, berupaya mengubah negara bangsa menjadi negara agama, mengganti ideologi negara Pancasila dengan gagasan Islam versi mereka untuk kemudian menjadikan Khilafah Islamiyah sebagai penggantinya.
Wanti-wanti Gus Dur ini tak terlepas dari upaya aktivis garis keras yang terus berjuang mengubah Islam dari agama menjadi ideologi. Dalam tahap ini, siapa pun yang berbeda pandangan keagamaan dengan mereka akan dianggap melawan Islam versi mereka sendiri.
Pada saat bersamaan, mereka juga menolak anasir budaya dan tradisi yang telah menjadi bagian integral dalam kehidupan bangsa Indonesia dan berupaya menjadikan budaya dan tradisi Timur Tengah sebagai opsi pengganti hanya disebabkan ketidakmampuan membedakan agama dari kultur tempat Islam diwahyukan.
Kita tak sepatutnya berdiam diri mematut seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Penolakan atas anasir budaya lokal ini dapat berimbas terhadap penerimaannya terhadap gagasan kenegaraan dan instrumen yang membangun negara tersebut, termasuk di dalamnya konsep negara demokrasi dan turunannya.
Ortodoksi keagamaan Islam transnasional di Indonesia ini tak bisa dibiarkan melenggang seenaknya sendiri menentukan nasib keberagama(a)n Indonesia. Kita tak sepatutnya berdiam diri mematut seolah-olah tak terjadi apa-apa. Kewaspadaan mesti dibangun di level individu semua warga negara yang tentunya perlu disokong oleh organisasi keagamaan yang telah lama berkomitmen untuk kemajuan bangsa dan negara.
Mereka yang masih ragu perlu dirangkul dan disadarkan bahwa gerakan dan ideologi yang mereka perjuangkan tidak senapas dengan perjuangan pluralitas bangsa Indonesia, yang dalam waktu bersamaan menghargai perbedaan itu sendiri.
Baca juga : KSAD dan Problem Kontra Radikalisme
Muara teror
Ditangkapnya anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ahmad Zain An-Najah oleh Densus 88 karena diduga terlibat aksi terorisme sebenarnya tak terlalu mengejutkan lantaran MUI sudah lama mendapat sorotan terkait sikap dan respons atas berbagai permasalahan keagamaan yang terjadi di Indonesia.
Pandangan ini setidaknya dikonfirmasi Moch Nur Ichwan dalam tulisannya, âToward a Puritanical Moderate Islam: The Majelis Ulama Indonesia and The Politics of Religious Ortodoxyâ (2013).
Menurut Nur Ichwan, pasca-pemerintahan Soeharto, MUI melakukan transformasi menjadi orientasi ke-umat-an. Berdasarkan orientasi ini juga, MUI dianggap lebih cenderung mencerminkan aspek Islam puritan di tengah fakta Islam Indonesia. Gejala keagamaan ini oleh Martin van Bruinessen disebut sebagai âconservative turnâ, yakni gejala keagamaan (sebagian) Muslim yang mengartikulasikan paham keislamannya mengarah pada konservatisme.
Hal ini beralasan disebabkan Islam moderat yang puritan sekalipun berpeluang mengarah pada Islam radikal yang puritan. Atas dasar itu pula, ditangkapnya anggota MUI seperti mengonfirmasi kemungkinan ini. Apalagi, sebagai organisasi yang menjadi rujukan umat Islam di Indonesia dalam hal fatwa, MUI tak terlepas dari kontestasi berbagai macam pemikiran di dalamnya, antara lain tradisionalis, modernis, puritan, dan radikal.
Meski hanya sebagian kecil pandangan radikal di organisasi ini, suaranya terdengar keras dan nyaring.

Didie SW
Hal ini didukung oleh Noorhaidi Hasan dalam artikelnya, âTransnational Islam, Violent Activism, and Cultural Resistenceâ (2018: 246), yang menggambarkan bahwa terjadinya intensifikasi globalisasi membuat Indonesia mudah terimbas gagasan Islam transnasional, yakni gerakan yang secara agresif mempropagandakan pemurnian pemahaman keagamaan yang rigid sebagai âanak kandungâ salafisme, meski secara umum Muslim Indonesia dikenal karena jalan akomodatif dan toleransinya terhadap lokalitas dan keberagaman.
Salafisme, yang secara genealogis bisa dilacak bermuara pada pemikiran para pendahulunyaâantara lain Ahmad ibn Hanbal, Ahmad ibn Taymiyya, dan Ibn Qayyim al-Jawziy yang terinspirasi gagasan pemurnian Islam yang digagas Muhammad ibn Abdul Wahhabâlebih berfokus pada penguatan keimanan dan moralitas.
Dalam perkembangannya, salafisme terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, purists, yang sangat berfokus pada pemurnian Islam dan menolak aktivisme politik; kedua, politicos, yang politis dan mengkritik rezim penguasa; dan ketiga, jihadits, yang berkeyakinan mengenai urgensi jihad untuk memperjuangkan Islam.
Tak mengherankan jika JI dianggap sebagai kelompok yang paling gencar menaburkan ideologi jihadi salafi di Nusantara.
Membuka peta
Setelah rezim Soeharto lengser, publik Indonesia dikejutkan oleh aktivitas salafisme yang mulai dikaitkan dengan jihadisme yang bengis.
Dalam lintasan sejarah tercatat, sebagaimana dijelaskan oleh Noorhaidi, aktivisme jihad tersebut diwujudkan ketika Jaâfar Umar Thalib membentuk Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaâah pada 1999 dan mendorong resolusi Muslim Indonesia untuk berjihad di Maluku, yang berjibaku dengan konflik komunal antara Kristen lokal dan Muslim.
Lebih dari 7.000 orang berangkat ke Maluku untuk menunaikan aksi jihadnya. Dalam gerakan ini, Laskar Jihad dan Laskar Mujahidinâyang terhubung dengan Darul Islam dan Jamaah Islamiyah (JI)âmemobilisasi massa untuk bergabung ke Maluku.
Sebagai kelompok salafisme terkuat dalam lanskap politik Indonesia pasca-Soeharto, tertangkapnya anggota JI ini menandai babak baru jihadisme kelompok ini. Adalah bahwa kelompok yang memiliki pertautan historis dengan Darul Islam ini semakin menegaskan eksistensinya yang dibuktikan dengan kemampuannya melampaui batas budaya dan politik yang mapan dan berhasil menembus lingkungan baru.
Tak mengherankan jika JI dianggap sebagai kelompok yang paling gencar menaburkan ideologi jihadi salafi di Nusantara. Keterkaitan Zain An-Najah sebagai Dewan Syura JI tentu membuka peta ideologi jihadi salafi yang ternyata mampu menembus ruang kultural dan struktural yang dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ruang keagamaan di Indonesia.
Baca juga : Penjelmaan Baru Jamaah Islamiyah
Tentu, hal ini menjelma dilema bagi keberagamaan kita mengingat bahwa MUI memegang peran cukup vital dalam arus diskursif wacana agama, di samping dua organisasi terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Infiltrasi anggota JI ke tubuh MUI ini menjadi bukti sahih bahwa mereka sanggup melampaui batas budaya dan politik serta dapat merasuk ke dalam organisasi yang jauh lebih mapan dan memiliki pengaruh dalam lanskap kebudayaan dan keagamaan di Indonesia.
Maka, sudah seharusnya, berkaca dari penangkapan ini, mestinya bisa membunyikan alarm kewaspadaan terhadap segala kemungkinan terjadinya ideologisasi jihadis transnasional karena dapat mengancam masa depan wajah kebudayaan Indonesia.
Ahmad Khotim Muzakka, Dosen di Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah IAIN Pekalongan; Studi Doktoral di UIN Sunan Kalijaga