Memperkuat Jangkar Moderasi, Catatan Pasca-Muktamar Ke-34 NU
Terpilihnya Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU periode 2021-2026 diyakini akan memperkuat jangkar moderasi yang telah dilaksanakan NU di bawah kepemimpinan Said Aqil Siroj.
Oleh
FARID F SAENONG
·6 menit baca
Nahdlatul Ulama baru saja menyelesaikan perhelatan lima tahunannya dalam muktamar ke-34 di Lampung yang berlangsung pada 22-24 Desember 2021. Dua tokoh utama yang berkhidmat menuju Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, yaitu Said Aqil Siroj dan Yahya Cholil Staquf, sama-sama memiliki reputasi, visi, dan misi yang sangat kuat mendukung kemajemukan Indonesia dan dunia global.
Nahdliyin kelihatan tidak terusik, apalagi terpecah, dengan siapa pun yang terpilih sebagai ketum dalam muktamar. Secara fakta politik, terpilihnya Gus Yahya sebagai Ketum PBNU 2021-2026 tidak akan memberikan perubahan signifikan, mengingat keduanya (Yahya Cholil Staquf dan Said Aqil Siroj) memiliki visi dan misi yang tidak jauh berbeda. Ketidakterusikan ini memberikan banyak makna bagi NU dan nahdliyin.
Pertama, NU dan nahdliyin kelihatan begitu matang mempraktikkan dan menjadikan demokrasi sebagai praktik sosial dan politik secara internal. Muktamar Lampung ini dapat dicatat sebagai muktamar yang cukup sepi dari isu praktik politik uang dan politik kotor, meski tentu saja, ajang-ajang seperti itu tidak akan pernah bersih dari gerakan politik internal ataupun eksternal.
Selama muktamar berlangsung, tampak kedua tokoh selalu duduk bersama: sebuah pemandangan yang jarang ditemukan dalam proses politik yang sedang berlangsung. Narasi-narasi yang dikampanyekan kedua pihak yang berkhidmat tidak berseberangan secara diametral. Ini dapat dipahami mengingat keduanya dekat dengan sosok dan visi-misi Gus Dur yang sangat progresif dan pluralis.
Kedua, NU dan nahdliyin sepertinya siap lahir batin menjalankan sistem yang sudah begitu mengakar. NU tidak lagi tergantung pada seorang tokoh sentral untuk menjalankan fungsi jam’iyyah dan jemaahnya yang ideal.
Program-program strategis yang telah dirumuskan dan dijalankan di periode sebelumnya, seperti gerakan intelektual dan akademik, pemberdayaan masyarakat akar rumput, dan gender mainstreaming, akan diteruskan oleh ketum terpilih. Gus Yahya hanya tinggal memoles program-program strategis dan meningkatkan akselerasinya. Tentu saja, ketum terpilih harus memaksa diri untuk bisa mendesain secara canggih program-program tertentu yang menjadi karakter periodenya.
Ketiga, dan ini yang terpenting, Gus Yahya dengan segala kredibilitas pasti akan menjaga dan memperkuat NU dan nahdliyin sebagai jangkar moderasi di Tanah Air dan dunia global. Tentu saja, ini dilakukan bukan untuk memperkecil peran organisasi keislaman dan keagamaan serta kekuatan masyarakat sipil lainnya, tetapi justru bersama-sama membangun, menciptakan, dan mengembangkan ruang-ruang moderasi yang sudah menjadi program nasional.
Secara historis, sejak Islam datang di Nusantara, kalangan tradisionalis dan masyarakat Muslim lain (khususnya Muhammadiyah dan organisasi keislaman yang terbentuk dan mapan sebelum Indonesia merdeka) telah menanam benih-benih moderasi. Ulama dan masyarakat Muslim telah sejak awal begitu memahami kuat bahwa Islam mesti ditancapkan dan dibumikan dalam bentuk praktik-praktik keagamaan yang diperkaya dan dimeriahkan dengan nilai-nilai lokal. Tanpa peduli apakah bentuknya islamisasi atau indigenisasi, ulama memulai sunnah-sunnah hasanah (habitus dan praktik baik) yang tetap hidup, bahkan lebih meriah hingga detik ini.
Tentu saja, sunnah-sunnah hasanah sebagai implementasi moderasi ini bukan tanpa hambatan. Penetrasi Islam transnasional ke Nusantara memberikan tantangan serius dengan dalih purifikasi. Namun, keandalan ulama Nusantara menjelaskan dan berargumen tentang pentingnya beragama dengan kemeriahan nilai dan praktik lokal membuat sunnah-sunnah hasanah itu telah mapan dan menjadi norma dan pranata dalam masyarakat Muslim Indonesia.
Habitus dan praktik baik ini bahkan seakan-akan meruntuhkan dikotomi Redfield (1956) tentang great and little traditions. Jika mengikuti pandangan Redfield, sunnah-sunnah hasanah itu dikategorikan little traditions. Tetapi, kecerdasan kiai kampung menjelaskan signifikansi sunnah-sunnah hasanah melalui Al Quran dan hadis sekaligus menjadikan little traditions ini sebagai great traditions yang juga dipahami dan dipraktikkan masyarakat Muslim urban. Karena itu, sunnah-sunnah hasanah yang hidup meriah di kampung dan di kota ini mampu memenuhi kategori discursive tradition sekaligus living tradition yang diteorisasikan oleh Talal Asad (1986).
Legitimasi kuat
Kuatnya akar moderasi di bumi Nusantara sekaligus dalam teks (ashluha tsabit), dan implementasi dahan-dahannya yang menjulang kuat ke angkasa (far’uha fi al-sama), mampu menjadikan moderasi akan selalu hidup dan meriah, meski terjadi perubahan sosial politik yang dramatis sekalipun. Siapa pun yang memimpin negeri ini, atau rezim apa pun yang memenangi kontestasi politik, setuju atau tidak setuju dengan model moderasi Islam Indonesia, sunnah-sunnah hasanah ini akan selalu hidup dan meriah di Nusantara.
Terlebih lagi, saat ini, moderasi mendapatkan legitimasi yang sangat kokoh dalam struktur negara. Islam Indonesia bahkan dipromosikan sebagai salah satu foreign policy Kemenlu RI sejak masa Presiden SBY.
Melalui RPJMN 2020-2024, moderasi beragama menjadi salah satu program penting di skala nasional yang diperkuat dengan pembentukan Pokja Moderasi Beragama dengan Kementerian Agama sebagai leading sector. Berbagai program pendukung moderasi beragama telah diluncurkan, baik secara internal dalam Kementerian Agama maupun secara eksternal di kementerian lain, bahkan telah melebar ke masyarakat akar rumput.
Ini yang membedakan secara signifikan dengan model moderasi di Arab Saudi di mana ide moderasi dipaksakan secara top-down saat ini. Masyarakat Muslim Saudi di tingkat akar rumput dipaksa untuk mengikuti ide moderasi kerajaan yang saat ini dimotori oleh Pangeran Mohammed bin Salman. Konsekuensinya, ketika terjadi perubahan sosial politik yang menyebabkan pergantian rezim, moderasi akan hilang dengan mudah di Arab Saudi.
Lain halnya di Indonesia di mana semangat dan praktik moderasi bersifat bottom-up. Perubahan rezim apa pun tidak akan mengubah karakter moderasi yang sudah tertanam kokoh. Kecuali jika perubahan rezim itu diikuti dengan pemaksaan keras, sebagaimana yang dilakukan Bani Saud ketika menguasai Hijaz di paruh kedua abad ke-18.
Perubahan rezim apa pun tidak akan mengubah karakter moderasi yang sudah tertanam kokoh.
Meski tidak semeriah moderasi di Tanah Air, konteks keislaman Hijaz pra-Bani Saud cukup menghargai keragaman Islam yang hidup kota suci Mekkah dan Madinah. Namun, moderasi ala Saudi pra-Bani Saud itu hancur akibat pemaksaan Kerajaan Saudi yang disokong kuat oleh teolog Muhammad bin Abdul Wahhab kala itu.
Fenomena ketika isu moderasi diorganisasi oleh negara seperti saat ini pasti melibatkan perubahan perspektif dan strategi yang akan dijalankan. Sejauh mana perubahan perspektif dan strategi itu telah menjadi topik utama sebuah riset bertajuk ”Global Politics of Religious Moderation” yang berpusat di Emory University. Riset yang akan berlangsung lima tahun ini akan mengkaji berbagai perubahan itu dengan membandingkan fenomena moderasi serupa yang hidup di Indonesia, Mesir, dan Maroko.
Kembali ke konteks moderasi di Nusantara, apa dan bagaimanapun moderasi ini diorganisasi, jangkar-jangkar moderasi, seperti NU dan Muhammadiyah, harus dijaga dan didukung oleh siapa pun. Apa yang dijalankan oleh Kiai Said di dua periode kepemimpinannya di PBNU sebelumnya telah memperkuat jangkar moderasi NU. Di saat yang sama, kepemimpinan Haedar Nashir di PP Muhammadiyah melakukan hal yang lebih kurang sama. Dengan spirit perjuangan Gus Dur yang sangat kuat dalam dirinya, perjuangan penguatan moderasi ini pasti akan diteruskan oleh Kiai Yahya yang baru terpilih sebagai Rais Tanfidziyah (Ketua Umum) PBNU di Muktamar Ke-34 NU di Lampung.
Dengan rekam jejak dan sepak terjang Gus Yahya selama ini, siapa pun yang ingin menghambat gerakan moderasi di Nusantara ini akan berpikir sekian kali. Gerakan-gerakan Islam transnasional akan semakin terpojok. Terlebih lagi, Kementerian Agama sebagai leading sector moderasi yang tengah dipimpin adiknya, Gus Yaqut, akan lebih memperkuat jangkar-jangkar moderasi, khususnya NU. Naiknya Gus Yahya diyakini akan lebih memperkuat jangkar moderasi NU di Indonesia dan dunia global.
Farid F Saenong, Peserta Program Pascasarjana UIN Jakarta