Di Pesisir Sanur Kami Merdeka…
Sani menorehkan ekspresi kebebasan pada sosok-sosok perempuan ”model” dalam kanvas-kanvasnya. Perempuan tidak lagi dijadikan sebagai obyek yang dieksploitasi, tetapi subyek yang menyemburatkan kebebasan.
Ia adalah fajar
Hadir seiring memerahnya langit
Di mana burung-burung kembali
Mengepak
Berpulang
Suara penyair Warih Wisatsana timbul tenggelam ditimpa angin dan ombak di pesisir Sanur. Puisi pendek karya Ni Nyoman Sani tadi, sebagaimana dalam introduksi pembacanya, (konon) ditulis untukku. Bukan itu benar yang memberi impresi mendalam, tetapi kami sedang berada di sebuah pantai yang memendam sejarah panjang perjalanan hidup manusia.
Aku tak begitu percaya dengan kebetulan. Segala peristiwa senantiasa bermula dari peristiwa sebelumnya. Jika toh terjadi ”keajaiban”, pastilah itu pekerjaan kosmik, sebagaimana aku memahami karma. Bahwa segala hal yang terjadi pada dirimu hari ini berawal mula dari kejadian-kejadian di masa lalumu. Itulah yang disebut sebagai siklus hidup: atman, jiwa atau roh itu kekal, sedangkan tubuh bersifat sementara. Pada saatnya ia akan kembali menjadi debu, partikel terkecil dari zat padat bernama tanah.
Baca : Melunasi Utang Karma
Hari itu, Kamis (23/12/2021), lewat pesan singkat aku berjanji ketemu Warih di Sanur, di mana kami biasanya menikmati hawa tropis pantai. Pertemuan itu sering kali dibarengi percakapan kecil tentang kebudayaan, sesekali bicara politik, tetapi terutama adalah puisi. Pagi masih belum beranjak jauh, ketika ia memberi kabar telah bersama penyair Dewa Sahadewa di pantai. Sahadewa sebenarnya seorang dokter ahli kandungan, yang memiliki sebuah rumah sakit di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Belakangan ia kerap pulang ke Bali untuk meneguhkan diri sebagai penyair.
Ketika tiba di sebuah kedai kopi bernama Luhtu, yang letaknya di sebelah kiri ujung jalan menuju Pantai Sindhu, Sanur, aku menemukan perempuan pelukis bernama Ni Nyoman Sani, yang telah bergabung. Sani, menurut cerita Warih, tiba-tiba saja melintas di pantai sebagaimana kebiasaannya untuk berlari pagi. Tak lama kemudian datang pula penyair Hartanto Yudho Prasetyo. Jadilah forum kecil itu, arena penikmatan puisi-puisi yang ditulis Sani dalam sebuah manuskrip bergambar.
”Sudah ada banyak buku serupa,” kata Sani. Ia mengatakan sudah sejak SMP dulu suka menulis puisi yang kemudian diberinya ilustrasi. Kebiasaan itu ditambah lagi kesukaannya pada dunia fotografi, yang kemudian terus ditekuninya sampai menamatkan kuliah seni rupa di STSI (sekarang ISI) Denpasar.
Selama ini, kata Sani, ia canggung memperlihatkan puisi-puisinya, lantaran lebih banyak dikenal sebagai pelukis. ”Khawatir dicap kenes,” katanya. Padahal, setahunya pelukis seperti Made Wianta juga menulis puisi dan bahkan dibukukan dalam dua antologi. ”Belum pede aja…,” tambahnya.
Puisi tentang fajar tadi sesungguhnya mengingatkanku pada Sanur. Perspektif Sani tentang desa di mana ia dilahirkan bisa dilacak lewat puisi itu. Ia tidak menulis tentang senja, yang biasa diasosiasikan dengan Kuta. Sanur adalah asal mula matahari, di mana para nelayan menjemput hidup sebelum yang lain-lain. Sani memang lahir di Sanur dari pasangan nelayan sebelum desa itu benar-benar gemuruh oleh dunia pariwisata.
Nama Ni Nyoman Sani mengingatkan banyak orang pada Ni Nyoman Pollok, seorang perempuan penari legong keraton, yang kemudian diperistri oleh pelukis Adrien Jean Le Mayeur. Pasangan Pollok dan Mayeur dicatat sebagai asal mula tumbuhnya Sanur menjadi daerah tujuan berwisata. Pada masa hidupnya, Presiden RI Soekarno bahkan pernah berkunjung ke kediaman Pollok-Mayeur di pesisir Sanur. Rumah beserta seluruh isinya kemudian diserahkan kepada Pemerintah RI untuk dijadikan museum. Kini, jika berkunjung ke Pantai Sanur, kau akan menemukan sebuah museum bernama Museum Le Mayeur yang didirikan tahun 1953. Di situ terdapat 88 lukisan karya-karya terbaik dari Le Mayeur dalam berbagai media.
Pasangan Pollok dan Mayeur dicatat sebagai asal mula tumbuhnya Sanur menjadi daerah tujuan berwisata.
Pada masa hidupnya, Ni Nyoman Pollok mengabdikan hari-harinya kepada suaminya, Le Mayeur. Sebagai model, Pollok menjalani hidup yang berat, terutama ketika suaminya menuntut agar mereka tidak mempunyai anak. Le Mayeur ingin tubuh Pollok tetap ”eksotis”. Barangkali Le Mayeur beranggapan, tubuh seorang perempuan yang telah memiliki anak akan mudah ”melar”, terutama pada bagian-bagian yang dieksplorasi sebagai obyek lukisan. Sudah pasti Pollok menjalani kehidupan berumah tangga dengan sangat berat. Ia bahkan harus tabah berjemur berjam-jam di bawah terik matahari Sanur, ketika suaminya sendiri melukis. Lukisan itu berjudul ”Memetik Bunga” dan ”Di Sekitar Rumah Pollok”, yang kini masih tersimpan sebagai koleksi museum.
Sangatlah mungkin sebagai perempuan yang sama-sama berdiam di Sanur, Sani turut merasakan hari-hari yang berat telah dilakoni Pollok. Oleh sebab itu, jika menyimak kanvas-kanvas Sani, gema perlawanan untuk menuju kemerdekaan kaum perempuan sangat nyata. Ia seperti ingin membebaskan para perempuan dari keterjajahan baik pada wilayah domestik maupun wilayah publik. Apa yang terjadi pada Pollok adalah kelindan antara wilayah profesional dan domestik.
Le Mayeur tak hanya egoistis, tetapi tak mampu membedakan mana wilayah domestik dan publik. Ia selalu meletakkan Pollok sebagai obyek semata; hanya model bagi gelegak kreativitas yang makin meroketkan namanya sebagai pelukis. Ingat, nama Le Mayeur mulai melambung sebagai pelukis tahun 1933 ketika berpameran di Singapura. Hampir seluruh lukisannya, saat itu, menjadikan Pollok sebagai modelnya.
Baca juga : Ni Pollok, Perempuan Bali ”Cahaya” Le Mayeur
Kehadirannya ke Bali tahun 1932 melalui Pelabuhan Buleleng, yang menurut cerita merapat menggunakan perahu, sebagaimana umumnya pengembara Barat yang mencari eksotika dunia Timur. Pada tahun berdekatan hadir pula seniman-seniman Barat, seperti Walter Spies (Jerman) dan Rudolf Bonnet (Belanda), serta banyak peneliti asing, seperti Miguel Covarrubias (Meksiko-Amerika), Collin McPhee (Amerika), Muriel Stuart Walker (Skotlandia-Amerika), Rudolf Gorris (Belanda), dan yang paling terkenal Gregor Kraus (Jerman). Mereka ”terpanggil” menuju Hindia Belanda dan kemudian mengunjungi Bali sebagai ”the last paradise”.
Le Mayeur, yang berkebangsaan Belgia, jelas menjadi bagian dari gairah pengembaraan Barat yang merambah dunia Timur. Mereka berduyun-duyun mencari ”surga terakhir” selepas Perang Dunia I. Timur dianggap sebagai wilayah yang menjanjikan ”masa depan” dunia, setelah Barat hancur lebur karena perang. Tentu, soalnya tak sesederhana itu. Kehadiran para perantau asing itu pada satu sisi membawa ”keberuntungan” bagi konstruksi kebudayaan Bali di mata dunia, yang ”lestari” sampai hari ini.
Baca juga : Bali Menolak Jadi Museum
Duet Bonnet dan Spies, misalnya, setelah mendirikan perkumpulan perupa Pita Maha, bersama Tjokorde Raka Sukawati, melahirkan generasi pelukis yang menjadi mazhab Ubud dan Batuan. Spies bahkan mewariskan koreografi tarian Cak, yang kini menjadi bentuk utama tarian itu.
Le Mayeur diakui sebagai seniman yang pertama-tama memperkenalkan Sanur sebagai desa eksotis, yang mengubah citra sebelumnya sebagai desa yang gelap dan seram. Sebagian besar orang Bali percaya bahwa asal muasal leak (siluman manusia) paling mengerikan adalah dari Sanur. Sampai tahun 1980-an, kami masih bisa menyaksikan pertarungan antarleak di persawahan sekitar Desa Renon, yang berdekatan dengan Sanur. Banyak dari kami yakin bahwa leak terhebat selalu berasal dari Sanur.
Citra seram itu seolah memanjang dari bayang-bayang sejarah Sanur, yang menjadi tempat pertempuran pertama-tama antara tentara kolonial dan prajurit Kerajaan Badung tahun 1906. Pendaratan besar-besaran tentara Belanda di Sanur karena kasus kapal dagang Sri Komala berujung pada Perang Puputan pada 20 September 1906. Seluruh keluarga Puri Denpasar bertarung habis-habisan untuk mempertahankan sejengkal tanah yang ingin dikuasai Belanda. Dan Sanur menjadi arena pertama-tama pertempuran sebelum akhirnya Belanda menguasai Bali.
Rumah pasangan Mayeur dan Pollok, seluas 32 are di pesisir Sanur, mengubah cara pandang banyak orang tentang daerah itu. Bahwa Sanur adalah tempat yang menawan untuk memandang matahari terbit. Konon, lantaran kehadiran pasangan inilah Bung Karno memutuskan membangun hotel Bali Beach, yang kemudian diresmikan tahun 1966. Sejak itu Sanur meroket dalam peta pariwisata dunia sebelum yang lain-lain.
Pada sisi lain, sebagaimana diyakini Sani, kontruksi besar terhadap pariwisata Sanur telah membawa korban dan korban itu tak lain bernama perempuan. Sebagai model, Pollok tak hanya menyangkut soal eksploitasi terhadap tubuh perempuan, tetapi lebih-lebih adalah penindasan terhadap kemerdekaan. Sepanjang hidupnya, Pollok tidak pernah menikmati kebebasan. Sejak usia 15 tahun, ketika ”ditaksir” Mayeur sebagai model lukisan tahun 1932, tubuhnya terus-menerus harus mengikuti kehendak ”tuannya” (lelaki). Sebagai perempuan, bahkan kemudian istri pun, ia tidak bisa memberontak kepada suaminya, termasuk ketika ia dilarang memperoleh keturunan.
Sebagaimana diyakini Sani, kontruksi besar terhadap pariwisata Sanur telah membawa korban dan korban itu tak lain bernama perempuan.
Lantaran hidup di zaman berbeda, Sani memberontak lewat kanvas-kanvasnya. Ia menorehkan ekspresi kebebasan pada sosok-sosok perempuan ”model” dalam kanvas-kanvasnya. Perempuan tidak lagi dijadikan sebagai obyek yang dieksploitasi, tetapi subyek yang menyemburatkan nilai-nilai kebebasan. Mereka bebas memilih gaya berpose dan busana-busana yang mencitrakan kekinian. Tubuh perempuan tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang eksotis, tetapi adalah citra percaya diri yang lepas dari segala kungkungan.
”Kungkungan itu biasanya dari nilai-nilai patriarkis,” kata Sani.
Sesungguhnya kehadiran Sani sejak tahun 1990-an sebagai pelukis (modern) adalah juga pemberontakan terhadap tradisi keperempuanan di Bali. Tak banyak perempuan Bali yang mengambil jalan hidup sebagai pelukis. Lebih sering menjadi penari, yang nilai-nilainya dianggap lebih dekat dengan perempuan.
”Pelukis itu dianggap maskulin sehingga jarang perempuan Bali yang bisa menjadi pelukis, palingan sebatas model seperti Ni Pollok,” ujar Sani.
Memang diskusi kecil di pesisir Sanur tidak memanjang sampai mengulik ke soal-soal posisi perempuan di tengah pusaran budaya Bali, tetapi kami semua menyadari bahwa Sanur bisa menjadi cantolan terhadap berbagai peristiwa. Kandasnya kapal dagang Sri Komala, yang menyeret pengusaha Kwee Tek Tjiang, Gubernur Jenderal Van Heutsz, sampai kemudian mengobarkan Perang Puputan; kehadiran Le Mayeur dan Pollok di pesisir; kelahiran Sani sebagai pelukis perempuan; pendirian hotel Bali Beach; serta kisah-kisah leak yang menyeramkan; semuanya berkelindan menghadirkan kami di pesisir.
Pelan-pelan sejarah panjang itu menjadikan citra Sanur lebih ”adem” dan mapan ketimbang pantai-pantai sekitar Kuta, Legian, Seminyak, dan Kerobokan. Barangkali itulah yang mendorong Sani menulis: //Ia adalah fajar/hadir seiring memerahnya langit…//. Jika langit timur senantiasa memerah, di Sanur senantiasa terbit harapan. Begitulah kemudian kanvas-kanvas Sani terlihat meriah dengan warna-warna primer yang cerah, berbagai motif busana yang mewah, serta kelenturan gerak tubuh perempuan yang menawan. Semuanya perlambang perlawanan untuk meraih kemerdekaan, sebagiamana kemudian kami nikmati hari ini dan seterusnya. Tetap di pesisir Sanur….
Baca juga : Detak Pelan Kehidupan Sanur di Kala Pandemi