Setelah kelar menggelar Muktamar Ke-34, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan KH Yahya Cholil Staquf menghadapi banyak tantangan. Paling dekat, mengelola potensi politik warga Nahdliyin, pada pemilu 2024.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Sempat maju-mundur di tengah pandemi Covid-19, Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung akhirnya berjalan lancar, 22-24 Desember 2021. KH Miftachul Akhyar terpilih sebagai Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2021-2026 dan KH Yahya Cholil Staquf sebagai ketua umum tanfidziyah, menggantikan KH Said Aqil Siroj. Tanggung jawab menanti organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia ini, terutama menghadapi pusaran sosial politik nasional dan global.
Didirikan tahun 1926, organisasi ini berpengalaman mengarungi ombak politik. Pada Orde Lama, NU menjadi bagian dari Masyumi, lantas memisahkan diri menjadi partai politik. Pada awal Orde Baru, NU pernah bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan, kemudian menarik diri dan kembali ke khitah. Saat Reformasi 1998, para tokoh ormas ini mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa.
Kini, NU menghadapi pusaran politik baru. Tantangan terdekat, Pemilu 2024. Dengan sejumlah kader bereputasi nasional, PBNU rentan diseret masuk dalam pemenangan calon presiden dan wakil presiden. Godaan ini nyata karena dari organisasi ini pernah terpilih seorang presiden, KH Abdurrahman Wahid, dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin (yang kini tengah menjabat).
Menghadapi godaan itu, NU punya modal besar untuk tetap meneguhkan politik moral yang mengayomi semua kelompok. Dengan demikian, ormas ini tidak larut dalam permainan kubu-kubuan saat pemilu presiden yang rawan meretakkan hubungan internal warga nahdliyin serta masyarakat luas.
Menarik menyimak komitmen Gus Yahya—demikian sapaan akrab KH Yahya Cholil Staquf—untuk menjaga NU dari jebakan politik praktis. Dia tegaskan, tidak bakal ada calon presiden dan wakil presiden berasal dari PBNU. Kader nahdliyin diperbolehkan mengikuti kontestasi politik asalkan tidak duduk di jajaran PBNU (Kompas, 26/12/2021).
Tantangan besar lain, radikalisme pemahaman keagamaan. Saat interaksi warga dunia kian cepat, terutama melalui media sosial, sentimen konflik berlatar perbedaan keyakinan beragama di berbagai negara juga merasuki kehidupan global. Di Tanah Air, sentimen itu dapat menyulut geliat kelompok-kelompok yang mendapuk diri paling benar seraya menegasikan kelompok berbeda. Ideologi semacam ini, apalagi dibarengi pemaksaan kehendak dengan kekerasan, rentan menggoyahkan kesepakatan membangun Indonesia sebagai negara bangsa modern yang menghargai kemajemukan.
Dengan pemahaman ahlussunnah wal jama’ah, NU dapat terus berperan memperkuat konsolidasi moderasi pemahaman keagamaan. Indonesia adalah rumah bagi semua kelompok, apa pun suku, agama, ras, dan golongannya. Semua hidup bersama dengan saling menghargai satu sama lain.
PBNU di bawah KH Said Aqil Siroj telah berusaha mempertemukan girah keislaman dan spirit kebangsaan. Kepemimpinan baru Gus Yahya juga diharapkan dapat menggalang perjuangan bersama guna memperkuat demokrasi dan toleransi di negeri ini, bahkan di kancah global.