Sistem energi berkelanjutan tidak hanya melibatkan energi terbarukan saja, tetapi melibatkan semua jenis energi dengan sangat memperhatikan aspek keberlanjutan. Kolaborasi antarjenis energi menjadi kunci.
Oleh
GLENSHAH FAUZI
·5 menit baca
Sejak riset energi baru terbarukan pupuler di medio 1980-an, industri energi mulai terkotak-kotak berdasarkan isu yang tersemat pada jenis sumber pembangkitannya. Setidaknya ada tiga klasifikasi energi yang sampai hari ini masih digunakan, yaitu energi fosil, seperti minyak dan batubara; energi terbarukan, seperti surya, angin, dan air; serta energi baru, seperti nuklir.
Klasifikasi tersebut jika hanya berhenti sebagai suatu pengetahuan dan langkah memudahkan strategi, maka itu adalah hal yang baik dan diharapkan. Namun, dalam realitasnya, klasifikasi tersebut justru menjadi alat perang antarkelompok yang berkepentingan dengan jenis energinya untuk saling menjatuhkan.
Sebagai contoh, ada beberapa LSM yang menjadi penyuara energi terbarukan untuk menjaga lingkungan, tetapi memusuhi energi fosil, bahkan energi baru. Begitu pun, ada beberapa kelompok industri yang membela mati-matian komoditas fosil yang dijual sehingga menjegal potensi energi yang berkembang dengan kekuatannya.
Interaksi seperti itu sebenarnya merefleksikan kenapa pertemuan besar COP dan majelis seperti IPCC tidak dirasa dampak signifikannya. Jika di masyarakat global saja masih gontok-gontokan, bagaimana lagi dalam diskusi besar yang diisi berbagai gagasan dan perwakilan dari pemerintahan hingga industri yang punya kepentingan masing-masing.
Apabila perselisihan antarpendukung jenis energi ini tidak segera diselesaikan, akibatnya sistem energi yang lebih baik tidak akan pernah tercapai. Membangun sistem energi yang ideal memerlukan tahap transisi energi yang menempatkan berbagai jenis energi pada porsinya. Jadi, bukan hanya mendorong penggunaan satu jenis energi saja, melainkan menyiapkan bauran yang ideal untuk mencapai kesejahteraan dari aspek energi.
Upaya tersebut membutuhkan banyak sekali condiment yang perlu diperhatikan, seperti visi yang jelas, kerangka legalitas, strategi ekonomi, bahasa politik, serta keterlibatan riset dan teknologi. Ini menjadi modal yang harus dipersiapkan selama transisi energi untuk mewujudkan sistem energi yang ideal di masa depan.
Energi sebagai komoditas politik
Vitalnya posisi energi memang menjadikannya sebagai komoditas politik yang sangat seksi dan diperebutkan. Dalam berbagai literatur, salah satunya menurut Gore (2017), relasi energi terhadap kedaulatan sangatlah erat. Banyak aspek yang terikat dengan energi sehingga kekuatan dan kedaulatan suatu bangsa juga sangat bergantung pada kedaulatan energinya.
Hal itu tecermin dalam banyak kasus di sejumlah negara. Misalnya, Venezuela yang sempat berjaya karena memiliki kedaulatan terhadap energinya, tetapi sekarang dilanda krisis karena lumbung minyaknya menipis serta serangan pasokan energi dari Amerika Serikat dan sekutunya. Begitu pun dengan Rusia yang justru cukup berhasil mempertahankan kedaulatannya setelah melewati fase runtuhnya Uni Soviet.
Refleksi urgensi energi juga kita dapatkan dalam bahasa politik dan pergerakan LSM. Keluarnya istilah ”energi bersih” tidak hanya merupakan bahasa keberpihakan bagi lingkungan, tetapi juga sangat bersifat politis. Bahasa ini, menurut Hook dan Sanderson (2021), digunakan untuk mencapai kedaulatan energi sehingga terlepas dari bayang-bayang negara minyak.
Dengan kata lain, akan ada raja-raja baru yang muncul di bidang energi di masa depan. Hal ini yang menurut penulis menjadi penyebab munculnya kampanye saling menyerang antarjenis energi. Ini karena ada kepentingan yang dibawa oleh para pendatang baru yang hendak menggeser posisi mereka yang saat ini menjadi raksasa di bidang energi. Namun, di sisi lain, para raksasa ini juga berusaha mempertahankan posisinya.
Akan ada raja-raja baru yang muncul di bidang energi di masa depan. Hal ini yang menurut penulis menjadi penyebab munculnya kampanye saling menyerang antarjenis energi.
Bukti lain yang dapat kita lihat adalah badai krisis energi yang terjadi di Eropa dan China. Dependensi beberapa negara terhadap energi terbarukan yang merupakan bentuk transisi energi justru menjadi bumerang. Negara-negara pemasok energi fosil yang sempat tertampar dengan keputusan transisi besar ini justru meraup untung ekonomi dan politik dari kejadian tersebut.
Dari kejadian ini, kita perlu mengambil pelajaran bahwa satu jenis energi tidak dapat menjadi tumpuan, terutama di era transisi energi ini. Perlu ada perubahan paradigma dalam membicarakan transisi energi dan mempersiapkan sistem energi yang ideal.
Mengubah paradigma energi masa depan
Kolaborasi antarjenis energi menjadi titik penting dalam mewujudkan sistem energi berkelanjutan. Istilah berkelanjutan yang menjadi pivot diskusi tidak berarti meninggalkan kepentingan hari ini dan hanya fokus ke masa depan. Berkelanjutan adalah istilah untuk memperhatikan kesejahteraan hari ini hingga masa depan.
Apabila kita berbicara dalam ruang lingkup energi, maka artinya bertumpu dan memaksa seluruh dunia bergantung pada energi terbarukan adalah keputusan yang tidak memenuhi aspek berkelanjutan. Ada pertimbangan kemampuan ekonomi, politik, dan sosial masyarakat yang perlu diperhatikan.
Ada pertimbangan kemampuan ekonomi, politik, dan sosial masyarakat yang perlu diperhatikan.
Namun, bukan pula berarti bahwa dengan demikian negara bebas menggunakan sumber energi yang tidak terbarukan atau kotor. Perlu ada prioritas yang ditetapkan untuk menjadikan aspek lingkungan sebagai faktor yang sangat vital. Dengan kata lain, pengarusutamaan energi bersih harus dilakukan. Sekaligus memaksimalkan potensi energi fosil yang masih cukup jumlahnya, terutama bagi negara seperti Indonesia.
Lalu, di mana peran energi fosil dalam sistem energi berkelanjutan? Untuk menjawab hal ini, perlu bagi kita untuk membagi permasalahan energi ke dalam tiga aspek. Pembagian ini sangat mirip dengan trilema energi yang menjadi modal diskusi isu energi. Permasalahan energi dapat dilihat dari aspek ekonomi (harga), lingkungan, serta keandalan.
Energi terbarukan pada skema pembiayaan awalnya murah serta lebih ramah lingkungan dibandingkan fosil, tetapi keandalannya masih buruk, sebagaimana yang tecermin dalam krisis energi terbaru ini.
Sementara energi baru, seperti nuklir, memiliki keandalan dan sangat ramah lingkungan, tetapi skema pembiayaan awalnya cukup besar. Sementara energi fosil harganya murah dan andal, tetapi tidak ramah lingkungan.
Klasifikasi isu pada setiap jenis energi ini memudahkan kita untuk menempatkan di mana peran jenis energi tersebut dan seberapa besar porsinya. Mengatur porsi bauran energi adalah hal yang sangat vital dan membutuhkan kelapangan dada bagi pemangku kebijakan untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak.
Karakter setiap jenis energi ini mendorong kita untuk menurunkan ego agar tidak gontok-gontokan dan merasa paling dibutuhkan. Paradigma bahwa tidak boleh ada nuklir dan energi fosil di masa depan adalah pemikiran yang keliru. Ada banyak sekali dampak yang tidak bisa kita urai satu per satu karena efeknya yang luar biasa besar.
Refleksi terhadap krisis energi yang baru saja terjadi di awal musim dingin ini menunjukkan betapa rentannya bergantung pada satu jenis energi. Dengan kata lain, energi bersih tidak sama dengan energi terbarukan, tetapi semua jenis energi baru dan terbarukan.
Sementara sistem energi berkelanjutan tidak hanya melibatkan energi terbarukan saja, tetapi melibatkan semua jenis energi dengan sangat memperhatikan aspek keberlanjutan. Pernyataan itu yang perlu ditekankan, jangan sampai upaya beralih ini justru ditunggangi kepentingan politik ekonomi kapitalis.
Glenshah Fauzi, Mahasiswa Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada; Tergabung dalam Dewan Energi Mahasiswa (DEM) UGM dan Kelas Sosiologi Energi