Kedaulatan RI dan Konferensi Meja Bundar 1949
Sejumlah faktor agaknya ikut mengubur ingatan publik atas sejarah KMB 1949. Perjuangan diplomasi RI hingga berbuah pengakuan dunia atas kedaulatan RI terabaikan. Jasa para diplomat RI terhapus dalam ingatan publik.
Dua mukjizat mengawali sejarah RI. Pertama, proklamasi 17 Agustus 1945. Kedua, pengakuan resmi dunia atas kedaulatan RI tertanggal 27 Desember 1949.
Sembilan bulan kemudian bendera nasional RI dikibarkan di gedung Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dengan diterimanya RI sebagai anggota.
Namun lebih dari 70 tahun sesudahnya, hanya proklamasi 1945 yang dirayakan besar-besaran di Tanah Air. Tercapainya pengakuan dunia atas kedaulatan RI nyaris diabaikan. Mengapa ada perbedaan mencolok itu? Apa maknanya untuk kita hari ini? Apa dampaknya pada generasi mendatang?
Pengakuan dunia
Proklamasi 1945 merupakan tonggak terpenting dalam sejarah RI. Namun harus diakui ada unsur mukjizat di balik peristiwa itu. Peluangnya datang ibarat durian runtuh. Mendadak Jepang takluk pada Sekutu di akhir Perang Dunia II. Sekutu tak segera siap mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Terjadi vakum kuasa. Proklamasi 1945 merupakan tindakan super-cemerlang memanfaatkan peluang emas mengisi vakum kuasa itu.
Dalam situasi dadakan, proklamasi 1945 disusun serba terburu. Isinya hanya dua kalimat. Kalimat pertama mengumumkan kemerdekaan RI. Yang kedua berisi pengakuan belum siap mengatur semua perkara maha besar yang berkait dengan kemerdekaan. Tak ada rincian kapan dan bagaimana semua itu akan dituntaskan. Tidak ada yang tahu.
Hari-hari pertama setelah dibacakan, tak banyak yang tahu tentang proklamasi itu. Sebaliknya, peristiwa tahun 1949 merupakan puncak kerja maraton diplomasi RI selama lebih dari tiga tahun. Puncak itu bernama Konferensi Meja Bundar (KMB) yang disponsori PBB. Prosesnya diawasi dunia. Hasilnya ditunggu-tunggu masyarakat di Tanah Air. Akta persetujuan hasil KMB panjangnya lebih dari 100 halaman.
Harus diakui, tidak semua pihak di Tanah Air puas dengan hasil KMB. Sebagian besar isi kesepakatan itu malah dibatalkan sepihak oleh Presiden Soekarno pada 1956. Tapi sehari setelah hasil KMB diumumkan, Presiden Soekarno bisa lega kembali ke Jakarta dari Yogyakarta. Tiba di Ibukota, beliau disambut sorak-sorai massa.
Sejarah 1949 itu mewariskan beberapa hikmah. Pertama, pentingnya memahami perbedaan antara bangsa dan negara. Kemerdekaan sebuah bangsa tidak serta-merta disertai kedaulatan resmi sebuah negara. Andaikan ada yang memproklamasikan kemerdekaan Aceh, Timor Timur atau Papua, tidak dengan sendirinya terbentuk negara berdaulat yang baru di sana. Hal yang sama berlaku di Sudan, Palestina, atau Taiwan.
Memproklamasikan kemerdekaan di depan mikrofon jauh lebih mudah ketimbang mempertahankan yang diproklamasikan. Setelah proklamasi 1945, Indonesia bertubi-tubi digempur babak-belur oleh pasukan asing. Sejumlah negara bersahabat sudah mengakui kedaulatan RI sejak Maret 1946. Tetapi hal itu tidak cukup melindungi RI.
Bagi PBB, berbagai wilayah jajahan Eropa dianggap masih menjadi tanggung jawab bekas penguasa kolonial masing-masing (Belanda, Inggris, Perancis). Sebelum KMB, Belanda berkukuh bahwa konflik bersenjata di Indonesia (1945-1949) merupakan masalah "dalam negeri" yang tidak boleh dicampuri pihak lain.
Serangan militer Belanda hanya bisa dihentikan bila PBB mengakui kedaulatan RI dan serangan Belanda itu dinyatakan tidak sah. Maka serah-terima kedaulatan dari Belanda untuk RI mutlak diperlukan. Sedemikian mendesak pengakuan resmi itu dibutuhkan RI, sampai-sampai RI bersedia menanggung utang Hindia Belanda dalam jumlah maha besar sebagai imbalan.
Maka pelajaran kedua dari KMB adalah pentingnya perjuangan diplomasi. Bukan perjuangan militer. Bagi RI yang baru lahir, perjuangan diplomasi politik di tingkat dunia itu berat. Belanda sudah menjadi anggota PBB, dan punya hak suara di sana. Sedangkan RI tidak. Jangankan menjadi anggota PBB, status sebagai pengamat pun tidak dimiliki RI. Hanya mukjizat lain yang bisa menyelamatkan RI.
Hikmah ketiga: pentingnya dukungan dunia, khususnya Dewan Keamanan (DK) PBB bagi RI. Kedaulatan RI tercapai bukan semata-mata karena jasa perwakilan RI di KMB. Ada sejumlah faktor lain. Ironisnya, pemicu dan pendorong utama sukses RI adalah ketololan Belanda sendiri.
Gara-gara agresi militer (1947-1948), RI kebanjiran simpati dunia. Sebagai anggota DK-PBB dan sekaligus pendukung RI paling awal dan radikal, Australia mendesak DK-PBB segera menuntaskan konflik Indonesia-Belanda. Usulan itu didukung sejumlah negara lain, termasuk India, China, dan adikuasa Amerika Serikat. Setapak demi setapak, diplomat Indonesia melangkah maju ke forum dunia dan akhirnya diberi hak bersuara dalam pembahasan kasusnya di PBB.
Peristiwa itu bersejarah. Sebelumnya tak ada pihak bukan anggota PBB yang diundang ikut bersuara dalam forum mereka. KMB penting tidak hanya untuk RI, tetapi juga sejarah dunia. Ini kasus pertama sebuah negara bekas jajahan memenangi proses dekolonisasi lewat PBB. Hasilnya menjadi inspirasi sejumlah negara bekas terjajah yang lain.
Mengapa diabaikan?
Sehebat itu proses dan sukses RI meraih kedaulatan resmi 1949. Jadi, mengapa semua itu tidak dirayakan meriah di Tanah Air? Seakan-akan tak ada yang peduli. Sejumlah faktor sejarah layak dipertimbangkan.
Faktor pertama, hingga 2005 Belanda tak mengakui kemerdekaan RI sebelum 1949. Sebagai reaksi baliknya, kaum nasionalis RI menolak sejarah nasional yang melibatkan kerja sama dengan Belanda, termasuk KMB. Semua yang baik tidak boleh ada Belanda-nya. Yang ada Belanda-nya tidak ada baiknya.
Tahun 1956 Presiden Soekarno membatalkan secara sepihak sebagian besar kesepakatan KMB, termasuk utang RI kepada Belanda, status Papua dan perusahaan Belanda di Indonesia. Walau pemerintah Orde Baru memulihkan kembali komitmen sisa utang RI pada Belanda (1966), masalah itu dikelola diam-diam oleh pejabat elite hingga lunas tahun 2003.
Sejumlah faktor lain agaknya ikut mengubur ingatan publik atas sejarah 1949. Misalnya faktor gender. Sejak awal, perayaan kemerdekaan RI terpusat pada perjuangan bersenjata semasa revolusi (1946-1949). Berpuluh tahun perayaan 17 Agustusan dibanjiri dengan romantisme sosok pejuang serba maskulin bersenjata bambu runcing.
Bukan hanya Belanda yang gemar mengandalkan agresi militer untuk membentuk keutuhan negara jajahan dari Sabang hingga Merauke. Indonesia juga mengidap kegemaran memuliakan kekerasan, tidak hanya ketika melawan Belanda. Warisan sejarah itu berlanjut hingga kini, atas nama agama atau nasionalisme "negara kesatuan".
Perjuangan diplomasi RI hingga berbuah pengakuan dunia atas kedaulatan RI terabaikan. Jasa para diplomat RI dan berbagai negara sahabat terhapus dalam ingatan publik. Hingga kini betapa langka penghargaan untuk diplomasi politik yang beradab di tingkat lokal hingga global. Perbedaan bangsa dan negara dikaburkan.
Kita bersyukur, belakangan mulai tumbuh gairah baru di Indonesia mau pun Belanda untuk membongkar kembali sejarah dekolonisasi itu. Tapi masih pada tahap awal dan di lingkungan terbatas. Pemahaman banyak generasi muda di kedua negara tentang sejarah nasional mereka menderita cacat karena tak genap. Kita menuntut dunia mengakui RI sudah merdeka sejak 1945. Tapi hingga kini pekik "merdeka!" masih sering menyertai pidato. Seakan-akan kita sendiri belum yakin RI sudah merdeka.
Dendam anti-kolonial Belanda masih berkobar di ubun-ubun. Jangan-jangan arwah kolonial memang masih bergentayangan di antara kita. Fajar pasca-kolonialisme belum merekah.
Ariel Heryanto Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia