Surat Terbuka untuk Sahabatku Penyintas Kekerasan Seksual
Menjadi seorang penyintas atau korban dalam sebuah kejahatan tidaklah mudah, apalagi berkaitan dengan seksualitas. Tidak hanya sistem hukum, cara pandang sebagian masyarakat juga belum berpihak kepada korban.
Oleh
ANITA MARIA SUPRIYANTI
·5 menit baca
Akhir-akhir ini kita disuguhkan dengan berita dan fenomena kekerasan seksual. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa persitiwa ini akan menjadi highlight yang paling aktual untuk didiskusikan.
Jika sebelumnya kita disibukkan dengan peristiwa sosial kemanusiaan, masalah korupsi yang semakin menjadi, radikalisme dan isu isu basi yang masih terus terjadi, kali ini berbeda. Ketika saya membuka timeline di platform media sosial, bahkan sampai pada platfrom berita digital, sorotan trending dengan tagar kekerasan seksual, pemerkosan, dan lain sebagainya bermunculan. Hastag savenovi (#savenovi), #pesantren, bahkan #percumalaporpolisi, dan sejenisnya menjadi sorotan.
Bahkan, kinerja pejabat pemerintahan pun dipertanyatakan karena highlight yang beredar tersebut. Seolah media menjadi tempat pengumpulan massa agar hukum mau mengangkat palunya. Tidak dapat dimungkiri, perkembangan teknologi yang sekarang sangat digandrungi dan menjadi kebutuhan sarana informasi dan komunikasi sangat efektif untuk menyebar jejak-jejak digital.
Sungguh miris bukan, di tengah masa yang tidak bersahabat ini, di tengah cerita pandemi yang tak kunjung usai, dan di tengah kesibukan politisi mencari eksistensi, ternyata kita masih dibelenggu oleh minimnya nilai moral dan perikemanusiaan. Tidak ada yang bisa disalahkan, ketidaksiapan kita untuk menghadapi perkembangan zaman, bonus demografi yang seharusnya jadi potensi negeri, ternyata menghadirkan ketimpangan yang selama ini luput dari perhatian. Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa para korban baru mau angkat suara? Lalu kenapa selama ini diam?
Menjadi seorang penyitas atau korban dalam sebuah kejahatan tidaklah mudah, apalagi berkaitan dengan seksualitas. Hal ini yang mungkin bagi sebagian masyarakat masih sangat tabu untuk didiskusikan. Bahkan, bagian terburuknya adalah bagaimana pandangan sosial masyarakat yang melabeli korban dengan berbagai pandangan.
Kalis Mardiasih dalam salah satu bukunya mengatakan, ”wanita selalu dituntut dengan pakaiannya, sedangkan pemilik hasrat seks yang tinggi tidak pernah dipermasalahkan hasratnya, padahal belum pernah ada persitiwa kematian akibat hasrat seks yang memuncak”. Tidak jarang mereka yang menjadi korban kekerasan seksual enggan untuk angkat suara, bahkan terbelenggu dalam penyakit mental sehingga memengaruhi hubungan sosial mereka.
Sistem hukum
Dalam naskah akademik, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dijelaskan bahwa ”kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa, relasi jender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”. Sementere pelecehan seksual marupakan salah satu tindakan kekerasan seksual.
Dalam waktu setahun terakhir, selama masa pendemi hingga Juni 2021, Komnas Perempuan menerima laporan 2.592 kasus kekerasan seksual. Catatan Komnas Perempuan, selama kurun waktu 10 tahun terakhir terkait laporan kekerasan terdapat lebih dari 49.000 kasus pelecehan terhadap anak dan perempuan. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR pada 4 Oktober lalu, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, jumlah laporan kasus melonjak pada masa pandemi. Kalau dilihat ini adalah data terakhir hingga Juni mencapai 2.592 kasus, berarti lebih dari total kasus yang diterima Komnas Perempuan pada 2020.
Data di atas merupakan data yang telah dilaporkan atau diungkap, bisa kita bayangkan berapa banyak dan bagaimana dengan kasus yang tidak dilaporkan. Bagian terburuk dan paling memprihatinkan adalah kasus pelecehan ini dilakukan oleh orang-orang terdekat korban yang seharusnya menjadi tempat mengadu dan berkeluh kesah oleh korban. Seperti kasus yang baru terjadi di Padang, dua anak yang diperkosa secara bergilir oleh anggota keluarga dan tetangga dekatnya, dan masih banyak berita-berita lainnya.
Keengganan para korban untuk membawa kasus mereka ke ranah hukum adalah karena sistem hukum Indonesia yang tidak memihak terhadap korban. Hal ini dijelaskan oleh direktur LBH APIK Siti Mazuma, ”Kalau perempuan sudah menjadi korban kekerasan seksual, bukan proses hukum yang akan di dikedepankan, tetapi sibuk menyalahkan korban dan korban juga dibebankan dengan bukti dan saksi. Karena ini ranahnya privat, sudah pasti tidak banyak saksi dan akhirnya banyak kepolisisan yang mengedepankan untuk korban menyediakan saksi dan bukti.”
Keengganan para korban untuk membawa kasus mereka ke ranah hukum adalah karena sistem hukum Indonesia yang tidak memihak terhadap korban.
Selain itu, belum adanya undang-undang atau regulasi yang mengatur secara spesifik tentang kekerasan seksual, khususnya secara verbal, membuat korban semakin ragu untuk melapor. Belum lagi dengan kondisi psikis terhadap trauma yang dialami korban.
Kita memang tidak perlu memberi label-label khusus kepada mereka para penyitas kekerasan seksual. Kita tidak perlu menghakimi mereka dengan pertanyaan-pertanyaan ”baju apa yang dia kenakan?”, ”bagaimana sikap dan tindakan korban”, ”mengapa?”, ”kenapa?”, ”bagaimana?”, dan lain sebagainya. Mereka sudah pasti tersiksa dengan keadaannya, bahkan mereka sendiri mungkin sangat kecewa dan membenci diri mereka.
Kita diharapkan untuk bisa lebih peka terhadap lingkungan sosial kita karena kita semua berhak untuk hidup aman dan sejahtera. Sebagai civil society yang berkecimpung dalam dunia organisasi dan komunitas kemasyarakatan lainnya diharapkan untuk turut serta dalam mengawal dan mencegah kasus seperti ini dan tindak kejahatan lainnya.
Ini diharapkan dapat meningkatkan peran organisasi kemasyarakatan dan mahasiswa sebagi agen intelektual dalam membantu pemerintah untuk mencegah kejahatan seksual. Memanfaatkan teknologi untuk sarana komunikasi dan sosialisasi, memberi pemahaman kepada masyarakat terhadap kejahatan seksual dengan cara pandang yang lebih memihak terhadap para korban sehingga para korban lebih percaya diri untuk mengangkat kasusnya, dan mengubah cara pandang terhadap penyitas kekerasan seksual.
Tetap semangat teman-temanku, siapa pun kalian, dan di mana pun kalian, kalian semua hebat bisa bertahan di tengah trauma mental. Percayalah suatu saat nanti dunia akan melihatmu dengan cara pandang berbeda, dengan penuh kagum dan suka bahwa kalian terlahir sebagai orang-orang hebat yang mau bertahan untuk menegakkan keadilan. Kalian akan menjadi tonggak kepahlawan untuk melawan ketimpangan jender. Jangan pernah salahkan diri kalian atas kejadian yang tidak pernah kalian inginkan. Semangat kita semua.
Anita Maria Supriyanti,Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)