Kesadaran (”consciousness”) kini memasuki tahapan baru, sifatnya holistik. Yang bersifat fisik, emosional, psikologis, semuanya menyatu. Kita masuk dalam abad yang ditandai dengan unifikasi dunia, ”oneness”.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Tahun 2021 segera tutup buku. Dua tahun masa pandemi terasa berjalan begitu cepat, secepat perubahan yang diakibatkannya. Kita di ambang masa yang tidak lagi seperti masa sebelumnya.
Pandemi ini semacam closure dari perubahan besar yang tanda-tandanya telah muncul belasan/puluhan tahun menjelang akhir abad ke-20. Generasi yang dulu mencari-cari spiritualitas baru percaya bakal tibanya the age of Aquarius—abad Akuarius.
Terhadap penerawangan zodiak semacam itu banyak yang skeptis dan mentertawakan. Dianggap tidak rasional, semata-mata lamunan generasi yang bertumbuh dalam lagu Led Zeppelin ”Stairway to Heaven” dan sampai hari ini menolak jadi tua.
Tidak apa. Beberapa hal yang tidak bisa dijangkau nalar—sebagaimana cinta—kadang lebih efektif. Saya membelanya dengan sebutan ”transendensi rasionalitas”.
Di tengah kecamuk revolusi seksual, gerakan feminis, anti perang, counter culture dan lain-lain pada dekade 60an, lagi-lagi saya ingin menyebut nama Marshal McLuhan. Dia telah menujumkan dengan istilah yang boleh jadi kini dianggap klise: dunia bakal jadi global village. Toh nyatanya segala hal yang gagal ditransformasikan oleh ideologi, agama, sistem politik, nabi, dan lain-lain akhirnya diterobos oleh internet.
Tak perlu seseorang menjadi penyembah new age untuk percaya bahwa pada era digital, segala hal yang bersifat fisik, tangible, weight perlahan surut keutamaannya diganti yang bersifat cair (simbol akuarius), virtual, dalam istilah novelis Milan Kundera lightness. Buku The Unbearable Lightness of Being sering saya buka halamannya secara acak, saya nikmati berulang-ulang.
Transmisi informasi bukan hanya menyatukan dunia menjadi desa global seperti diteorikan McLuhan, tetapi bisa dilihat pula sebagaimana Caroline Myss, pionir dalam hal penyembuhan melalui energi dan kesadaran, melihat dunia. Bagi pengarang buku terkenal Anatomy of the Spirit ini, kita masuk dalam abad yang ditandai dengan unifikasi dunia, oneness.
Kita semua satu adanya. Tidak bisa orang sehat sendiri, sembuh sendiri, foya-foya sendiri mentang-mentang pejabat banyak duit banyak privilese. Satu sakit seluruh dunia bakal sakit.
Runtuhnya spesialisasi dan kepakaran, tidak adanya perbedaan pintar-bodoh dan lain-lain termasuk kesetaraan gender adalah akibat dari oneness tadi. Lelaki perempuan sama derajat. Penindas perempuan dengan dalih ajaran apa pun adalah edisi pungkasan makhluk dari era tribal pada abad jauh sebelum ini.
Menurut Myss, kesadaran (consciousness) kini memasuki tahapan baru, sifatnya holistik. Yang bersifat fisik, emosional, psikologis, semuanya menyatu. Khusus dalam ranah penyembuhan (healing) yang menjadi spesialisasi Myss, bukan saatnya lagi kesehatan disandarkan semata-mata pada sistem pengobatan modern. Kalau tak ada kesadaran memperbaiki pikiran dan jiwa yang sakit, manusia akan terus sakit, dunia akan terus sakit. Perlu perubahan cara hidup.
Implikasi dari kesadaran tersebut, dalam wabah Covid-19 yang melanda dunia sekarang, misalnya, harus dipertanyakan apakah kita rela melulu tergantung pada industri farmasi dengan produk vaksin mereka. Bagaimana kalau kecemasan manusia ini ternyata mereka industrikan. Termasuk keuntungan yang diraup oleh industri digital, untuk menjadikan manusia semakin tergantung pada gadget. Celaka, penguasa ikut mengiklankan metaverse tanpa mengerti akibatnya.
Dunia bakal jatuh dalam penguasaan segelintir orang.
Myss membikin proposisi, abad Akuarius bersifat simbolik. Persepsi simbolik memungkinkan manusia untuk menengok diri sendiri menghadapi setiap krisis. Intinya, manusia dituntut untuk kian reflektif, bukan cuma mengandalkan jempol dan tidak lagi menggunakan otak. Penyembuhan terhadap dunia yang sakit tak cukup hanya dengan pendekatan teknis prosedural. Lihat, jangan-jangan ada yang korslet pada otak kita.
Ada bahasa yang sama: kesadaran, consciousness, awareness, eling, dan lain-lain.
Jangan terlena, apalagi mabuk oleh eforia seolah dunia tengah baik-baik saja. Dunia tidak sedang baik-baik saja. Kemanusiaan dan kebudayaan di ambang bangkrut. Gantinya digitalisasi kehidupan yang menyulut energetic madness. Banyak orang kian tidak waras, beberapa jadi cyborg, kekerasan dimana-mana.
Liburan penutup tahun dalam krisis saat ini sebaiknya dimanfaatkan untuk kembali ke yang esensial: mind-body-spirit.
Selamat memasuki abad baru, saya akan meditasi dulu.