Natal dan Kemunafikan Agama
Natal membawa kasih dan keugaharian. Namun, kasih dan ugahari ini hanya bisa diterima oleh mereka yang tidak sedang memakai topeng kemunafikan religiusnya.
Natal berpesan bahwa di mana pun Yang Ilahi menyatakan Diri, Dia menyatakan diri sebagai kekuatan yang menyembuhkan, memperdamaikan, dan menyelamatkan.
Natal adalah sebuah pengalaman ilahi yang menginsani, pengalaman di mana Allah yang peduli pada hidup manusia itu mau ikut dan masuk dalam suasana insani yang serba nuansa. Natal adalah peristiwa ilahi yang dihayati sebagai sebuah pancaran kerahiman Allah kepada manusia ciptan-Nya.
Tindakan Allah pada peristiwa Natal meluruskan kembali tolok ukur yang selama ini dibangun dan ‘diimani’ oleh manusia sebagai suatu kebenaran yang harus dicari dan dikejar. Tolok ukur yang dimaksud adalah bahwa semua kehebatan, kekayaan dan kekuatan, serta ketenaran dan kekuasaan yang selama ini menjadi kebanggaan manusia, bahkan sebagai legitimasi atas keterpilihan Allah sebagaimana yang dipahami dan diajarkan oleh Weber dalam teologi predestinasi, menjadi sia-sia di mata Allah.
Dengan demikian, peristiwa Natal menjadi sebuah titik balik untuk meluruskan haluan hidup kita untuk mencapai tujuan akhir. Natal mengajarkan kepada kita semua bahwa jalan menuju keselamatan sesungguhnya adalah jalan keugaharian. Natal mengajarkan kepada kita bahwa jalan menuju kekudusan adalah jalan keugaharian. Sifat ugahari inilah yang memberi pandu pada manusia untuk memahami keimanan dan jalan hidupnya sebagai sebuah pencarian spiritual mengingat beragama itu bukan soal instansi, melainkan substansinya.
Natal mengajarkan kepada kita semua bahwa jalan menuju keselamatan sesungguhnya adalah jalan keugaharian.
Adalah benar bahwa segala kemuliaan duniawi, yang dicari dan yang diagungkan oleh manusia, adalah bukan ukuran Allah. Natal memberi isyarat akan hal itu. Ternyata mereka yang pertama kali menerima maklumat perdamaian pada malam Natal adalah orang-orang yang termasuk lapisan paling bawah dalam piramida sosial masyarakat Yahudi waktu itu: gembala-gembala yang pada malam hari bersama ternak mereka berada di padang. Kepada merekalah Allah pertama kali menyampaikan berita besar ini, dan bukan kepada elite di Betlehem atau di Jerusalem. Mencari diri dengan segala pemuliaan duniawi adalah kebinasaan.
Natal dan Kemunafikan Agama
Agama pada dirinya sendiri sesungguhnya bukanlah sebuah substan dan entitas yang menyelamatkan. Agama hanyalah media dan sarana untuk mencari dan menemukan kebaikan dan keselamatan sebagaimana yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Kalau memang demikian, mengagungkan agama sekaligus orang yang beragama adalah sebuah tindakan pada manusia yang justru melanggar ajaran Allah itu sendiri. Kendatipun demikian, faktanya memang ada bahwa agama terlalu sering dipakai untuk tempat persembunyian kemunafikan dengan segala pragmatismenya.
Agama pun teralu sering dipakai untuk merekayasa perasaan religius dan sosial umat beriman sehingga umat beriman mendapat semacam brain washing dan kehilangan akal sehatnya. Agama terlalu sering dijual dan dipakai untuk pengejaran diri dan rente tanpa peduli akan akibat fatalnya, yakni keterpecahan horizontal antarumat beragama. Pengahayatan agama kita di Indonesia terasa terlalu menyasar unsur-unsur dekoratifnya dan tidak sampai pada substansinya.
Kendatipun demikian, faktanya memang ada bahwa agama terlalu sering dipakai untuk tempat persembunyian kemunafikan dengan segala pragmatismenya.
Agama menjadi munafik dan menjual dirinya tanpa malu. Sebuah ironi yang sulit diurai karena didukung oleh sifat religius kita umat di Indonesia yang terlalu polos dan irasional. Penghayatan agama kita di Indonesia masih terlalu didominasi oleh kesucian institusi dengan segala atribut keagamaan yang dalam banyak peristiwa hanya sebagai sebuah drama demi simpati dan kuasa. Lagi-lagi, agama menjadi kehilangan dirinya.
Padahal, agama punya peran yang sangat berarti dan sentral dalam membangun sebuah peradaban manusia yang religius sekaligus humanis. Walaupun fokus orientasi agama itu pada hal yang akan datang (eskaton), pijakannya tetap pada realitas humanis. Dengan demikian, ukuran kesucian dan kesantunan dalam sebuah penghayatan sebenarnya tidak terletak pada kesucian institusi yang sering dibela dengan segala atribut dan aksesorinya itu.
Ukuran kesucian dan kesantunan dalam sebuah agama terletak pada sejauh mana ia berpijak pada realitas karena dari pijakannya itulah agama bertanggung jawab pada hidup sosial manusia sebagai bagian dari yang tak terpisahkan dengan kehidupan yang akan datang. Masuknya agama dalam peri hidup sosial masyarakat sebenarnya memberi arti dan sumbangan besar bagi masyarakat manusia agar tidak kehilangan orientasi hidup.
Bagaimana dengan penghayatan kehidupan beragama kita di Indonesia? Sensitivitas agama dalam sejarah bangsa kita telah banyak melahirkan fanatisme dan militanisme yang mengarah pada kekerasan sosial. Agama pada akhirnya menjadi suatu unsur destruktif dalam hidup sosial. Ini terjadi karena tiap-tiap agama saling curiga dan ada perbenturan kepentingan yang diatasnamakan agama. Hal ini diperparah dengan klaim kebenaran (truth claim) dari setiap agama.
Sangatlah ironis kalau unsur humanisme diinjak dengan mengatasnamakan yang transenden. Sangatlah ironis kalau menghina, mencaci maki, dan mengutuk orang lain atau bahkan membunuh orang atas nama Allah.
Natal pada tahun ini kembali mengajak kita semua untuk masuk dalam suasana keugaharian. Peritiwa Natal hendaknya diliputi dengan suasana keterharuan, kegembiraan hati, kesediaan untuk mengampuni dan mohon diampuni, keterbukaan yang mau membagi kebaikan kepada siapa pun. Natal berpesan bahwa di mana pun Yang Ilahi menyatakan Diri, Dia menyatakan diri sebagai kekuatan yang menyembuhkan, memperdamaikan, dan menyelamatkan.
Sikap dasar Yang Ilahi terhadap ciptaan-Nya adalah kerahiman dan belas kasihnya. Maka, dari mereka yang mau membuka diri terhadap rahmat Ilahi dituntut kasih, bukan kebencian, pengampunan, dan bukan balas dendam. Adalah tanda kekuatan Ilahi bahwa yang jahat tidak dilawan dengan sikap jahat juga, tetapi dengan kasih. Natal membawa kasih dan keugaharian. Namun, kasih dan ugahari ini hanya bisa diterima oleh mereka yang tidak sedang memakai topeng kemunafikan religiusnya.
Dony Kleden, Rohaniwan Katolik dan pemerhati masalah sosial politik