Dalam rangka menyambut Hari Sejarah Nasional, diperlukan kesadaran baru bahwa sejarah Indonesia di masa depan harus memberikan pemahaman yang meyakinkan kepada generasi milenial.
Oleh
ANDI SUWIRTA
·4 menit baca
Para sejarawan dan pendidik sejarah di Indonesia tampaknya akan berusaha agar tanggal 14-18 Desember dijadikan sebagai Hari Sejarah Nasional. Pada tahun 2021 ini, Hari Sejarah Nasional ditandai berbagai kegiatan sarasehan dengan mengambil tema ”Sejarawan di Ruang Publik: Refleksi tentang Pengajaran, Penelitian, dan Penulisan Sejarah”.
Hari Sejarah Nasional adalah usaha untuk mengenang peristiwa Seminar Sejarah Nasional I di Yogyakarta pada 14-18 Desember 1957. Setelah Indonesia merdeka pada 1945 dirasa perlu untuk membuat wacana baru tentang sejarah Indonesia yang nasional-sentris sebagai lawan dan/atau perubahan paradigma dari kolonial-sentris. Sejalan dengan cita-cita pemerintah, dalam hal ini Presiden Soekarno, untuk melakukan nation and character building pada tahun 1950-an, para sejarawan dan pendidik sejarah sepakat melakukan kajian, penelitian, penulisan, dan pendidikan sejarah yang berorientasikan Indonesia-sentris.
Sejarah Indonesia-sentris adalah sebuah historiografi (karya sejarah) di mana fokus kajian dan peran utama dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan. Berbeda dengan sejarah yang kolonial-sentris, di mana sorotan kamera sejarah ditujukan kepada peran-peran bangsa asing (penjajah) dan melihat bangsa pribumi (Indonesia) hanya dari geladak kapal, benteng, dan istana pemerintah kolonial. Sejarah Indonesia-sentris, dengan demikian, ingin melihat dinamika peran-peran bangsa Indonesia sendiri dari zaman dahulu hingga sekarang.
Sejarah Indonesia-sentris ingin melihat dinamika peran-peran bangsa Indonesia sendiri dari zaman dahulu hingga sekarang.
Sudah dilakukan
Seminar Sejarah Nasional I di Yogyakarta tahun 1957 adalah momentum penting bagi para sejarawan dan pendidik sejarah untuk berkiprah dan menghasilkan historiografi yang Indonesia-sentris. Pada 1970-an, masa Orde Baru, para sejarawan dan pendidik sejarah sepakat membentuk organisasi profesi, yaitu Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), yang mempunyai cabang-cabang di seluruh wilayah Indonesia. Melalui MSI inilah berhasil diterbitkan buku SNI (Sejarah Nasional Indonesia), enam jilid, sebagai buku standar dan menjadi rujukan untuk kepentingan kajian, penelitian, dan pendidikan sejarah di Indonesia.
Buku SNI adalah karya kolektif sejarawan dan pendidik sejarah, yang dieditori oleh Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto. Buku SNI merangkum sejarah bangsa Indonesia dari zaman pra-aksara hingga awal zaman Orde Baru. Buku SNI mengalami masalah kontroversi, terutama jilid 6, karena tafsir sejarah pada masa Orde Baru terlalu ideologis dan menonjolkan peran militer di Indonesia. Pada tahun 1980-an, Sartono Kartodirdjo, sejarawan terkenal dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, mengundurkan diri sebagai editor buku SNI.
Selain menghasilkan buku sejarah standar, seperti SNI, para sejarawan dan pendidik sejarah juga secara reguler terus mengadakan seminar atau konferensi sejarah. Makalah-makalah yang disajikan dalam seminar dan konferensi tersebut diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ada juga yang diterbitkan dalam bentuk artikel untuk jurnal ilmiah, seperti jurnal SEJARAH, milik MSI.
Pendek kata, para sejarawan dan pendidik sejarah pada masa Orde Baru (1968-1998) telah berkiprah sesuai dengan tantangan dan jiwa zamannya. Zaman pembangunan di segala bidang, pada masa Orde Baru, jelas memerlukan corak penulisan sejarah dengan pendekatan multidimensional dan interdisipliner. Itulah gaya penulisan sejarah dalam buku SNI, sebagai produk historiografi pada masa Orde Baru.
Harus dilakukan
Memasuki era Reformasi, 1998-sekarang, para sejarawan dan pendidik sejarah dihadapkan pada tantangan baru, yakni perlu menulis ulang historiografi Indonesia. Buku SNI, yang enam jilid, dianggap sudah ketinggalan zaman.
Pada tahun 2010, para sejarawan dan pendidik sejarah berhasil menerbitkan buku IDAS (Indonesia dalam Arus Sejarah), sebanyak sembilan jilid. Buku yang dieditori oleh Taufik Abdullah dan Adrian B Lapian ini mengkaji segala aspek sejarah Indonesia dan disusun secara kronologis: prasejarah, kerajaan Hindu-Buddha, kedatangan dan peradaban Islam, kolonisasi dan perlawanan, masa pergerakan kebangsaan, perang dan revolusi, pascarevolusi, Orde Baru dan Reformasi, serta indeks.
Tugas sejarawan dan pendidik sejarah di era Reformasi adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat luas akan pentingnya pemahaman sejarah yang komprehensif dan obyektif.
Tugas sejarawan dan pendidik sejarah di era Reformasi adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat luas akan pentingnya pemahaman sejarah yang komprehensif dan obyektif. Penulisan sejarah adalah wilayah tafsir yang dinamis dan harus terus-menerus diwacanakan di ruang publik.
Tugas inilah, menurut saya, yang masih kurang dilakukan oleh para sejarawan dan pendidik sejarah di Indonesia. Fenomena perlunya ”meluruskan sejarah Indonesia” yang bersifat kontroversial adalah bukti kurang pro-aktif dan minim kreativitas dari sejarawan dan pendidik sejarah di Indonesia dalam merespons tantangan zaman, termasuk tuntutan publik tentang perlunya pemahaman sejarah yang benar, komprehensif, dan obyektif tadi.
Akhirnya, dalam rangka menyambut Hari Sejarah Nasional, diperlukan kesadaran baru bahwa sejarah Indonesia di masa depan harus memberikan pemahaman yang meyakinkan kepada generasi milenial. Mereka harus bangga dengan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia karena proses sejarahnya yang dinamis dan gemilang. Mereka tidak boleh merasa, meminjam judul puisi Taufiq Ismail pada masa awal Reformasi, MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesia), karena proses sejarahnya yang kelam dan menjadi pecundang.
Sejarah Indonesia di masa depan, dengan demikian, jelas akan ditentukan oleh peran-peran strategis dan prestasi hebat generasi milenial sekarang. Sementara kami, para sejarawan dan pendidik sejarah di Indonesia, biarlah yang akan menuliskan dan mengisahkannya secara komprehensif dan obyektif.
Andi Suwirta, Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FPIPS UPI di Bandung, Sekjen Asosiasi Sejarawan dan Pendidik Sejarah Internasional (Aspensi)