Negara mestinya segera membahas RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang melindungi para ibu dan calon ibu karena kebutuhannya kian mendesak.
Oleh
PURNAWAN ANDRA
·4 menit baca
Spirit perayaan Hari Ibu agaknya perlu direvisi sisi kontekstualitasnya. Hal ini berkaca pada maraknya kasus kekerasan dan eksploitasi perempuan, mulai dari secara politik, ekonomi, budaya, hingga agama. Para ibu dan calon ibu kerap tak berdaya dijadikan obyek kekerasan oleh lelaki dalam sebuah ketidakseimbangan relasi kekuasaan.
Helene Cixous, tokoh feminis Perancis, menyebut bahwa selama ini telah terjadi kemapanan cara berpikir lelaki yang didasarkan pada oposisi biner. Konsep ini membagi dunia dalam dua kategori, dan kategori yang satu biasanya lebih baik atau lebih buruk dari yang lain.
Oposisi yang merupakan struktur tak disadari ini lambat laun terproduksi menjadi mitos dan kebenaran mutlak, lalu dianggap sebagai sesuatu yang natural dan dipakai dalam struktur kesadaran pengetahuan. Struktur oposan yang asimetris dalam wacana ataupun pemahaman terhadap masyarakat dan dunia ini menghasilkan mitos siapa yang berhak menindas dan siapa yang boleh ditindas (Arivia, 2004).
Akibatnya, perempuan berada dalam dunia yang telah didefinisikan lelaki, dalam aturan-aturan yang telah ditetapkan lelaki. Banyak terminologi yang terjebak pada ide oposisi biner yang arahnya menjadi bentuk penindasan baru.
Dikotomi ini menjadi simplifikasi yang menyesatkan, terutama apabila selalu berkorelasi dengan hierarki kekuasaan. Padahal, hubungan mayoritas-minoritas, misalnya, tidak selalu berkorelasi dengan kekuasaan, tetapi bisa saja hanya merupakan perbedaan.
Kisah superioritas lelaki atas perempuan kerap ditafsirkan dari cerita penciptaan manusia dalam Kitab Suci.
Konsep budaya dan garis tradisi diterjemahkan dengan menempatkan lelaki lebih sempurna daripada perempuan sehingga perempuan berada dalam posisi ”pelengkap” lelaki. Kisah superioritas lelaki atas perempuan kerap ditafsirkan dari cerita penciptaan manusia dalam Kitab Suci.
Cerita yang lazim disampaikan: Adam diciptakan terlebih dahulu dan Hawa diciptakan darinya. Jadi, Adam adalah kreator Hawa, dan Hawa diciptakan untuk membantu Adam. Secara sosial dan secara moral, Adam lebih superior karena Hawa menjadi sebab mereka dikeluarkan dari surga.
Implikasi
Implikasinya pada kehidupan nyata, dari ketika gerakan emansipasi lahir hingga kini, kekerasan yang menempatkan wanita secara subordinat tetap belum lenyap, baik berupa fisik, emosional, maupun seksual.
Pelecehan seksual yang juga menjadi kekerasan emosional berupa siulan, colekan, omong jorok, komentar iseng terhadap perempuan terjadi di dunia nyata dan dunia maya. Hampir setiap hari kita membaca berita pelecehan seksual pada perempuan terjadi di kantor, kampus, bahkan pesantren.
Banyaknya kasus yang terjadi belakangan ini membuktikan bahwa ruang privat, seperti rumah sendiri, pun bisa menjadi ancaman. Kejahatan seksual yang terjadi kepada perempuan justru dilakukan oleh orang dekat dalam keluarga, orang yang dihormati secara intelektual, ataupun orang yang disegani secara agama.
Namun, ironisnya, masyarakat justru cenderung menyalahkan perempuan korban kekerasan seksual, misalnya karena bertubuh sintal, memakai pakaian yang menggoda, keluar malam, berada di tempat sepi, suka sama suka, dan sebagainya.
Hal ini menegaskan pemikiran Foucault (2004) bahwa wacana seksualitas memang tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan. Dalam hal ini seksualitas tak semata memandang relasi jender lelaki dan perempuan hanya dari sisi seks, berahi, atau tubuh, tetapi juga konstruksi sosial, politik, budaya, bahkan Tuhan.
Implikasinya, lanjut Foucault, seksualitas bukan tentang seksualitas an sich, melainkan menciptakan mode seksualitas yang mewujud sebagai formula diskursif atau ”pengetahuan” tentang seksualitas dan hubungan antara ”kekuasaan pengetahuan”. Kekuasaan Foucaldian menunjukkan bahwa kekuasaan dalam relasi dengan seksualitas lebih merupakan tatanan disiplin serta kehendak untuk mendudukkan peran subyek dan obyek.
Akibatnya, aparat ideologi yang tumbuh dalam struktur masyarakat kita, baik yang berwujud tokoh, kegiatan, maupun teks, juga masih bernapaskan patriarki. Sekolah, buku-buku pelajaran, media massa, hukum, pesantren, dai, dan sebagainya menjadi basis logika simbolik yang digunakan oknum pelaku kejahatan seksual untuk melakukan aksinya pada korban.
Hal ini yang terjadi pada kasus pelecehan seksual di kampus, predator seks HW di Jawa Barat, dan bunuh diri NW di Jawa Timur.
Maka, konsep berpikir yang pernah dikembangkan lewat organisasi semacam Dharma Wanita dan PKK juga perlu direvisi. Bahwa istri adalah pendamping suami dan tiang rumah tangga/profesi/negara berkat peranannya sebagai pengasuh anak dan pelayan/pendamping yang baik bagi suami sebenarnya adalah pelestarian konsep femininitas tradisional yang timpang dan tidak akomodatif terhadap aktualisasi potensi perempuan.
Negara mestinya juga segera membahas RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang melindungi para ibu dan calon ibu karena kebutuhannya kian mendesak. Untuk itu, kita perlu memiliki kepekaan dalam melihat bentuk-bentuk artikulasi simbolik, yang dianggap berpotensi mendiskriminasi para ibu dan calon ibu.
Kesadaran ini penting untuk menjadi elemen resistensi, metode analisis, dan alat perjuangan bagi perempuan untuk selalu mempertanyakan di mana, kapan, dan bagaimana patriarki tampil.
Lelaki dan perempuan memang berbeda, tetapi secara substansial dan kebijakan, lelaki dan perempuan sama. Yang penting adalah bagaimana agar para ibu dan calon ibu nyaman menjalani fitrahnya yang memang berbeda dengan lelaki tanpa diskriminasi sehingga berhasil membuat konstruksi sosial-masyarakat yang saling menghormati, responsif, dan harmonis.
Purnawan Andra,Staf Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek