Restrukturisasi Garuda agar Bangkit Kembali
Mengingat potensi Indonesia sebagai pasar yang sangat besar, diyakini para kreditor juga tidak punya banyak pilihan, selain memilih jalur kompromi dengan Garuda Indonesia.
Garuda Indonesia bangkrut. Itulah judul yang menghiasi beberapa media mainstream dan media daring belakangan ini. Masyarakat tentu terkejut karena Garuda Indonesia adalah salah satu lambang kebanggaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Maskapai penerbangan yang pertama kali berdiri tahun 1949 ini pernah menjadi maskapai penerbangan terbesar kedua di Asia setelah Japan Airline dan bahkan maskapai penerbangan terbesar di belahan bumi selatan pada era tahun 1970-1980-an.
Tulisan ini akan mencoba mengupas apa permasalahan yang dihadapi dan benarkah bahwa memang sudah tidak ada harapan untuk menyelamatkan Garuda Indonesia, dengan menggunakan pisau analisis disiplin ilmu manajemen strategis.
Pernyataan mengenai bangkrutnya Garuda Indonesia memang disampaikan secara terbuka oleh Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo. Kalau kita cermati secara teknis, perusahaan ini memang sudah bangkrut karena jumlah utangnya sudah jauh melebihi dari aset yang dimiliki.
Neraca keuangan Garuda Indonesia per 30 September 2021 menunjukkan bahwa aset yang dimiliki Garuda hanya 6,93 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 99,80 triliun, sementara utangnya mencapai 9,76 miliar dollar AS atau setara dengan 140,54 triliun.
Dari angka itu terlihat bahwa modal (ekuitas) yang dimiliki oleh Garuda sudah minus sekitar Rp 40 triliun. Secara legal perusahaan ini masih berdiri dan bahkan masih beroperasi, tetapi celakanya terjadi penambahan ekuitas negatif sebesar Rp 1,5-2,0 triliun setiap bulannya. Tentu dibutuhkan restrukturisasi menyeluruh jika ingin menyelamatkan Garuda karena perbaikan yang sifatnya parsial hanya akan menunda kematian.
Baca juga : Lintasan Jelajah Garuda Indonesia
Untuk dapat melakukan restrukturisasi total, perlu dicari akar permasalahan yang dihadapi oleh Garuda. Ada dua penyebab utama, yaitu faktor eksternal dan internal. Dari sisi eksternal, pandemi Covid-19 yang berkepanjangan memang menghancurkan industri penerbangan. Hal ini tidak hanya dialami oleh Garuda Indonesia, tetapi juga semua maskapai penerbangan di seluruh dunia.
Pembatasan mobilitas orang tentu berdampak terhadap penurunan jumlah penumpang secara signifikan. Tidak ada satu maskapai penerbangan pun yang tidak mengalami kerugian. Data dari Skift Aviation menunjukkan bahwa puluhan maskapai penerbangan mengalami kebangkrutan atau berhenti beroperasi, termasuk di antaranya Virgin Australia, Air Mauritius, AirAsia Japan, Virgin Atlantic, Latam Chili, Cathay Dragon Hong Kong ,dan masih banyak lagi.
Khusus untuk Garuda Indonesia, kondisi ini diperparah oleh faktor internal, yaitu tata kelola korporasi (good corporate governance) yang buruk, sebagaimana diakui oleh Wakil Menteri BUMN dalam rapat dengar pendapat terbuka dengan Komisi VI DPR. Kerugian yang dialami oleh Garuda sudah dimulai sejak 2017, jauh sebelum pandemi.
Penyebabnya, sebagaimana disampaikan oleh Wamen, adalah permasalahan korupsi yang dimulai dengan kerja sama yang sangat memberatkan Garuda, mulai dari penggelembungan nilai pesawat, kasus penerimaan suap, hingga pencucian uang tahun 2011-2012.
Akibatnya, biaya sewa pesawat Garuda mencapai 24,7 perssen dibandingkan dengan pendapatannya (aircraft rental cost to revenue). Angka ini empat kali lipat dibandingkan dengan rata-rata biaya sewa pesawat maskapai global, bahkan enam kali lebih tinggi dibandingkan dengan Singapore Airline. Dengan biaya sewa sebesar ini, wajar jika Garuda Indonesia mengalami kerugian, bahkan pada masa normal.
Celakanya, kondisi ini diperparah dengan tingginya biaya perawatan dan operasional pesawat akibat Garuda mengoperasikan 13 jenis pesawat yang berbeda. Setiap jenis pesawat tentu membutuhkan pilot dengan sertifikasi tertentu dan biaya perawatan yang berbeda.
Ditambah lagi dengan pengoperasian pesawat di rute-rute yang jelas-jelas rugi, terutama rute penerbangan internasional. Di samping jumlah penumpangnya yang sedikit, kargo pesawat juga kosong. Akibatnya, biaya operasional melebihi pendapatan yang tentu saja mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.
Dengan menggunakan pisau analisis manajemen strategis, penyelamatan Garuda Indonesia hanya bisa dilakukan dengan melakukan restrukturisasi total, yang meliputi restrukturisasi keuangan, restrukturisasi operasional, restrukturisasi strategis, dan restrukturisasi sumber daya manusia.
Langkah pertama adalah restrukturisasi operasional dengan mengurangi jumlah dan jenis pesawat yang beroperasi, mengurangi jumlah rute dan fokus hanya pada rute-rute yang menguntungkan, meningkatkan kontribusi pendapatan kargo melalui peningkatan utilisasi kapasitas kargo di bawah kursi penumpang (belly capacity) dan digitalisasi operasional.
Baca juga : Komitmen Garuda Indonesia
Kedua adalah restrukturisasi sumber daya manusia. Kalau restrukturisasi operasional dijalankan, tentu akan membawa akibat pada kelebihan komposisi sumber daya manusia. Untuk mengurangi beban korporasi, tentu harus dilakukan rasionalisasi sumber daya manusia, baik melalui konsep pensiun dini, pengurangan jam kerja operasional, atau pemberhentian sementara, pengurangan fasilitas dan insentif bagi jajaran direksi dan komisaris. Tentu hal ini akan menimbulkan ketidakpuasan, tetapi tetap harus mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku agar hak-hak karyawan terpenuhi.
Ketiga adalah restrukturisasi strategis yang meliputi penataan dan pemetaan ulang aset-aset perusahaan yang tidak strategis dan tidak sesuai dengan bisnis inti Garuda Indonesia. Dana yang didapatkan dari restrukturisasi aset bisa digunakan untuk mengurangi beban utang dan menambah modal kerja korporasi. Ketiga jenis restrukturisasi di atas bisa dilakukan oleh tim manajemen Garuda Indonesia karena bersifat internal dan memang sepenuhnya berada di bawah kendali mereka.
Restrukturisasi keempat adalah restrukturisasi keuangan yang tingkat keberhasilannya akan sangat tergantung dari pihak lain. Yang paling utama harus dibereskan adalah melakukan negosiasi ulang dengan para penyedia jasa sewa (lessor) agar biaya sewa pesawat bisa diturunkan ke harga normal.
Garuda bisa belajar dari beberapa langkah restrukturisasi yang dilakukan oleh maskapai lain yang juga mengalami masalah yang sama. Misalnya, Philippine Airline yang memilih menjalani proses Chapter 11 di Amerika Serikat, Malaysian Airline yang memilih jalan restrukturisasi di luar pengadilan dengan melakukan negosiasi satu per satu dengan setiap kreditor, Thai Airways yang menempuh jalur penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di Thailand.
Mengingat banyaknya jumlah kreditor dan keterbatasan waktu yang tersedia, penyelesaian melalui pengadilan bisa dipertimbangkan menjadi pilihan terbaik. Jika proposal restrukturisasi keuangan yang diajukan Garuda bisa disetujui oleh semua kreditor dalam penyelesaian melalui pengadilan, itu akan tercapai homologasi, yang bersifat mengikat semua kreditor.
Walaupun jika terjadi kegagalan, ada risiko kepailitan. Untuk itu, manajemen Garuda harus mempersiapkan orang-orang terbaiknya, termasuk negosiator dan pengacara yang ulung, dan bila perlu melibatkan pihak eksternal, seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK untuk mendukung langkah tersebut.
Bagaimana peluang keberhasilannya? Mengingat potensi Indonesia sebagai pasar yang sangat besar, diyakini para kreditor juga tidak punya banyak pilihan, selain memilih jalur kompromi dengan Garuda Indonesia.
Prospek bisnis ke depan ini yang perlu diangkat dan dijadikan senjata pamungkas. Mari kita sama-sama berdoa agar Garuda bisa kembali membentangkan sayapnya, menjulang tinggi di atas kepulauan Nusantara.
Harris Turino adalah Head of Research Indonesian Strategic Management Society dan anggota Komisi VI DPR RI
Email: harristk@gmail.com