PDRI Menjawab Krisis Kepemimpinan Nasional
Tanpa mereka semua yang berjasa yang sama-sama berjibaku dengan penuh pengorbanan, pemerintah darurat ini tak akan berhasil dalam menjalankan misi nasionalnya yang dramatis itu. PDRI benar-benar menyatu dengan rakyat.

Didie SW
Sekitar 73 tahun lalu, pada 22 Desember 1948, di Halaban, nagari kecil dan lengang, di Kabupaten Limapuluh Kota, terjadi peristiwa sejarah teramat penting bagi kelangsungan hidup Republik Indonesia, yakni terbentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Sekiranya Belanda menyadari semangat tinggi anti-kolonialisme rakyat terjajah yang tak bisa dibendung, negara kincir angin ini akan berpikir tujuh kali untuk mengulang sistem penjajahannya yang sudah lapuk di waktu yang bervariasi di seluruh Nusantara. Karena kesadaran itu sudah tumpul, secara nekat negara kecil di Eropa Barat ini memanfaatkan peluang kekalahan Jepang pada Perang Dunia (PD) II.
Dalam mimpi Belanda, tak akan banyak kesulitan untuk meneruskan petualangan kolonialisme itu. Apalagi Indonesia dinilai waktu itu tak cukup punya tentara yang terlatih untuk mempertahankan diri.
Ini sebuah igauan di siang bolong. Di mata Belanda, para pejuang kemerdekaan ini tak lain dari kaum ekstremis pengacau keamanan. Seenak perutnya saja membuat istilah, seolah-olah Indonesia masih jajahannya.
Persenjataan kita memang serba minimalis: bambu runcing, tombak, pedang, keris, pisau, dan hanya sedikit bedil, granat, kraben, beberapa pesawat AURI, dan sedikit senjata modern lainnya.
Pesawat terbang sipil pun jenis Dakota dengan nama Seulawah, hadiah rakyat Aceh kepada Indonesia, baru dimiliki tahun 1948. Sementara Belanda punya segala jenis persenjataan modern, tentara terlatih, dan puluhan pesawat terbang tempur.
Jadi, dalam hitungan kolonialis, Indonesia tak mungkin menang di peperangan apabila meledak.
Jadi, dalam hitungan kolonialis, Indonesia tak mungkin menang di peperangan apabila meledak. Namun, ada satu modal besar yang tak diperhitungkan Belanda, yaitu semangat untuk mempertahankan kemerdekaan dan semangat pantang dijajah lagi yang tak bisa dilumpuhkan oleh persenjataan modern.
Maka, perang mempertahankan kemerdekaan selama empat tahun (1945-1949) dengan ribuan nyawa melayang adalah saksi hidup tentang betapa heroiknya rakyat Indonesia yang sebagian besar masih buta aksara itu.
Semangat juang yang dahsyat ini antara lain sebagai hasil didikan pergerakan nasional menuju kemerdekaan bangsa yang telah dimulai sejak akhir dasawarsa pertama abad ke-20. Semangat kemerdekaan dan semangat anti-penjajahan itu dengan apik diabadikan pada alinea pertama UUD 1945: ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Alinea ini memuat pesan universal, tak hanya terbatas untuk kemerdekaan Indonesia, tetapi semangat intinya untuk melumpuhkan semua bentuk penjajahan di muka bumi.
Makna alinea itu amat dalam dirasakan. Bangsa Indonesia tak hanya memikirkan dirinya sendiri untuk merdeka, tetapi bangsa-bangsa terjajah lain harus mendapatkan hak yang sama. Dengan demikian, nasionalisme Indonesia harus dibaca dalam bingkai sila kedua Pancasila: ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sebuah nasionalisme yang tak boleh berubah jadi nasionalisme ekspansif, sebutan lain imperialisme.
Baca juga : Kesaktian Pancasila dan Kecelakaan Sejarah
Selama perang kemerdekaan itu, berbagai peristiwa penting telah dialami bangsa ini, baik yang menggembirakan maupun yang mengundang tangis. Indonesia mampu bertahan menghadapi gempuran pasukan Belanda adalah sesuatu yang menggembirakan yang patut disyukuri. Namun, ribuan jiwa yang melayang adalah sesuatu yang mesti ditangisi sekalipun mereka yang wafat itu mungkin saja tersenyum saat kematiannya.
Dua agresi brutal militer Belanda pada 21 Juli 1947 dan pada 19 Desember 1948 gagal total menghancurkan semangat juang rakyat Indonesia, sekalipun konsolidasi perlawanan itu tidak selalu rapi.
Pembentukan PDRI
Kepindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 adalah kejadian lain yang mencemaskan karena Jakarta sudah dikuasai pasukan Belanda yang kian pongah dan beringas. Dua agresi militer Belanda itu terjadi saat Yogyakarta telah menggantikan kedudukan Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia.
Setelah Jakarta dikuasai, kini giliran Yogyakarta yang hendak dikuasai pula. Dan berhasil. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan beberapa menteri kabinet ditangkap untuk kemudian diasingkan ke luar Jawa. Ibu kota Yogyakarta harus mengibarkan bendera putih tanda takluk. Sungguh sangat menyakitkan dan memalukan.

Dengan mendapat pengawalan yang kuat dan ditandu, Panglima Besar Soedirman berangkat dari medan gerilya untuk kembali menuju Yogyakarta, 1949.
Akan tetapi, apakah Indonesia secara keseluruhan sudah menyerah? Sama sekali tidak. Setelah Soekarno-Hatta menyerah pada 19 Desember 1948, ada pemimpin lain mengambil alih, seperti drama sejarah yang akan dijelaskan selanjutnya.
Dalam kaitan ini perlu dicacat dengan rasa hormat, penjajah tidak berani menjamah Keraton Yogyakarta tempat Sri Sultan Hamengku Buwono IX tinggal. HB IX ini, ibarat batu karang di tubir pantai, berdiri total di belakang RI. Sekiranya HB IX bersikap lain, sejarah modern Indonesia mungkin akan menjadi lain pula. Pengabdian HB IX terhadap Indonesia tak hanya sebatas itu.
Harta Keraton juga banyak sekali yang diserahkan untuk menghidupi pemerintah yang hijrah ke Yogyakarta. Bujukan Belanda atas diri Sultan untuk diangkat dalam posisi Super Wali Negara bagi Jawa dan Madura ditolak mentah-mentah oleh HB IX (lihat Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, Wasiat HB IX, Yogyakarta Kota Republik. Yogyakarta: Galang Press, 2011, hlm 102).
Dua mandat
Sekarang kita bicarakan saja agresi militer Belanda kedua karena peristiwa ini yang langsung berkaitan dengan kelahiran PDRI (22 Desember 1948-13 Juli 1949). Memang terjadi kekosongan kekuasaan selama tiga hari sejak 19 Desember sampai 21 Desember 1948.
Seakan-akan Indonesia merdeka telah gulung tikar. Keterlambatan pembentukan pemerintah darurat ini disebabkan tak sampainya mandat penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Soekarno-Hatta kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran, yang sudah berada di Bukittinggi, Sumatera Barat, sejak November 1948, atas perintah Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Sekalipun mandat tidak diterima karena sukarnya hubungan Yogyakarta-Sumatera Barat, pembentukan PDRI sejalan benar dengan isi mandat yang dikirimkan pada 19 Desember itu. Dengan demikian, PDRI adalah sebuah pemerintah yang sah sebagai pelanjut kekuasaan Presiden Soekarno-Wakil Presiden Hatta yang telah menyerah kepada pasukan Belanda.
Selama tujuh bulan kemudian, PDRI telah berjuang dengan semangat tinggi untuk menjawab krisis dan mengisi kekosongan kepemimpinan nasional setelah ibu kota negara jatuh ke tangan musuh. Agar jejak sejarah tetap terpelihara, isi mandat penyerahan kekuasaan itu perlu dikutip. Ada dua jenis mandat, satu untuk Sjafruddin Prawiranegara, satu lagi untuk DR Soedarsono, LN Palar, dan AA Maramis yang berada di luar negeri.
Mandat untuk Sjafruddin:
Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu 19 Desember 1948 jam 6 pagi Belanda telah memulai serangan atas Ibu Kota Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr Syafroeddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra.
Jogjakarta, 19-12-1948
Sukarno-Hatta
Presiden/Wakil Presiden
Mandat untuk DR Soedarsono dan lain-lain berbunyi:
Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi, Belanda telah memulai serangannya atas Ibu Kota Yogykarta. Jika ikhtiar Syafroeddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra tidak berhasil, kepada Saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk exile government di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Syafroeddin di Sumatra. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya!
Jogjakarta, 19 Desember 1948
Hatta/HA Salim
Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri
Tentang mandat ini, lihat Amrin Imran, Saleh A Djamhari, JR Chaniago, PDRI dalam Perang Kemerdekaan (Jakarta: Citra Pendidikan, 2003, hlm 46-47 dan hlm 288. Dikutip dari Arsip Nasional RI).
Dari isi mandat itu terbaca dengan jelas betapa genting dan gawatnya situasi dan betapa pula sulitnya komunikasi saat itu. Alhamdulillah, pemerintahan pengasingan tak jadi dibentuk karena PDRI telah memberi jawaban dengan sempurna untuk mengisi kekosongan kepemimpinan nasional yang sedang dalam krisis berat itu. Benarlah ungkapan: ”Yang satu lumpuh, yang lain sedang tumbuh. Yang satu tertawan, yang lain melawan” (lihat ibid, hlm 73).
PDRI adalah pemerintahan gerilya yang bergerak dari hutan ke hutan, dari nagari ke nagari di Sumatera Tengah, dan terakhir bahkan sampai ke Aceh. Sebagian ditempuh dengan kendaraan, sebagian yang lain jalan kaki sepanjang ratusan kilometer. Juga lewat sungai deras dengan perahu yang kemungkinan bisa tenggelam. Ke mana pun mereka bergerak, incaran maut pasukan Belanda selalu membayangi.
Namun, tak seorang pun di antara para pejuang itu terkena tembakan musuh. Ocehan Belanda yang mengatakan bahwa usia Republik Indonesia telah tamat, dengan kehadiran PDRI sudah terbantah dengan sendirinya. Dunia internasional paham semuanya ini.
Sjafruddin Prawiranegara melalui saluran radio selalu berhubungan dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman, mantan Pandu HW dan Pemuda Muhammadiyah, pemimpin gerilya di Jawa yang sedang sakit berat, tetapi tidak dihiraukannya. Terlalu banyak nama yang mesti disebut sebagai tangan kanan dan tangan kiri Sjafruddin. Oleh sebab itu tak perlu dituliskan lagi di sini.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kedua dari kanan) dan Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono (kanan) memberikan ucapan selamat kepada ahli waris Sjafruddin Prawiranegara (almarhum), Aisyah Prawiranegara (kiri), seusai menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara, Jakarta, Selasa (8/11/2011).
Tanpa mereka semua yang berjasa itu, dari para menteri PDRI dengan berbagai latar belakang suku dan agama, pasukan AURI, Angkatan Darat, Angkatan Laut, Polri, kru radio, pejabat sipil, dan rakyat jelata yang bilangannya ratusan ribu yang telah sama-sama berjibaku dengan penuh pengorbanan, pemerintah darurat ini tak akan berhasil dalam menjalankan misi nasionalnya yang dramatis itu.
PDRI benar-benar menyatu dengan rakyat. Inilah kekuatan mahadahsyat yang tidak bisa dipatahkan oleh musuh.
Kawasan jelajah PDRI itu panjang sekali, di atas 1.000 kilometer. Namun, tempat menetap para pemimpinnya yang agak lama adalah di nagari Bidar Alam (Solok Selatan), nagari Koto Tinggi (Kabupaten Limapuluh Kota), dan yang terpendek di nagari Sumpur Kudus-Silantai (di Kabupaten Sijunjung sekarang).
Tiga nagari inilah yang tak terduga sebelumnya pernah menjadi pusat pemerintahan darurat Indonesia. Rapat besar PDRI untuk menolak Persetujuan Roem-Royen pada bulan Mei 1949 dilakukan di Silantai, sebuah nagari kecil di lingkungan Kecamatan Sumpur Kudus.
Demikianlah selintas sketsa perjuangan gerilya PDRI yang berhasil memperpanjang napas negara RI yang baru berusia ”setahun jagung” itu.
Demikianlah selintas sketsa perjuangan gerilya PDRI yang berhasil memperpanjang napas negara RI yang baru berusia ”setahun jagung” itu. Penghargaan negara terhadap PDRI harus menunggu selama 58 tahun kemudian. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Keppres No 28, tertanggal 18 Desember 2006, telah menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara, sebuah pengakuan resmi negara kepada perjuangan PDRI yang setiap tahun diperingati.

Ahmad Syafii Maarif
Dengan kehadiran PDRI, kicauan pongah Belanda yang semula lantang itu menjadi redup dengan sendirinya. HA Salim atas pertanyaan wartawan asing tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menjawab: ”Daripada menyerahkannya kembali kepada Belanda, lebih baik saya bakar Indonesia ini.” (Lihat Hazil Tanzil/Ketua Panitia Buku Peringatan, Seratus Tahun Haji Agus Salim. Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hlm 258)
Harga kemerdekaan itu mahal dan mahal sekali. Oleh sebab itu, jangan dikhianati!
Ahmad Syafii Maarif, Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005