Berdasarkan prakiraan BMKG, wilayah Sirkuit Balap Mandalika berada pada Zona Musim (ZOM) 221. Di musim pancaroba ini, salah satu cirinya sering terjadi hujan tiba-tiba dengan intensitas tinggi dalam waktu singkat.
Oleh
MAKSUM PURWANTO
·4 menit baca
Hujan lebat pada Sabtu (20/11/2021) di Pertamina Mandalika International Street Circuit tak hanya menyebabkan penundaan ajang balapan kelas dunia tersebut, tetapi juga mengakibatkan genangan di sejumlah titik di kawasan sirkuit. Kejadian tersebut menjadi sedikit noda dalam gelaran internasional yang dilihat oleh jutaan pasang mata di seluruh dunia.
Saling tuding siapa yang harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut akhirnya terjadi. Terlepas dari perdebatan yang ada, kejadian ini seakan menegaskan bahwa kita memiliki sebuah takdir yang harus kita terima saat mendiami Benua Maritim Indonesia ini. Takdir kebencanaan akibat tingginya curah hujan.
Potensi hidrometeorologi berupa curah hujan yang tinggi memang menjadikan kita tidak harus berkonflik dengan negara tetangga akibat perebutan sumber daya air, seperti yang terjadi di beberapa negara lain. Namun, kejadian bencana yang diakibatkan curah hujan yang tinggi juga tak pelak akan sering kita alami.
Banyak yang masih belum sadar sepenuhnya bahwa di balik banyaknya sumber daya alam yang kita miliki, di sana ada potensi bencana yang tak kalah merusak. Di antaranya potensi hidrometeorologi yang menyumbang sebagian besar atau 95 persen dari bencana yang ada di Indonesia.
Hujan yang terjadi di sekitar wilayah Sirkuit Balap Mandalika memang termasuk kategori hujan lebat.
Hujan yang terjadi di sekitar wilayah Sirkuit Balap Mandalika memang termasuk kategori hujan lebat. Dari dua alat pengamatan cuaca berupa Stasiun Cuaca Otomatis (Automatic Weather Station/AWS ) yang dipasang di Sirkuit Mandalika, tercatat intensitas hujan tertinggi selama satu jam sebesar sebesar 54,6 mm dan 66,4 mm. Angka ini tentu saja berada di atas angka 20 mm dalam waktu satu jam dan atau 50 mm dalam waktu 24 jam sebagai batas hujan lebat dalam kategori BMKG.
Dari pantauan satelit, liputan awan yang terjadi konsisten dengan data hujan AWS tersebut. Pertumbuhan awan awalnya terbentuk di perairan sebelah utara Pulau Lombok. Kemudian awan tersebut bergerak ke arah pulau lombok, termasuk wilayah lintasan balap Mandalika. Setelahnya, awan terpantau bergerak menjauh ke arah barat.
Berdasarkan prakiraan BMKG, wilayah Sirkuit Balap Mandalika berada pada Zona Musim (ZOM) 221 yang mulai masuk musim hujan di dasarian ketiga Oktober hingga dasarian kedua November. Masa awal peralihan antara musim kemarau dan musim hujan ini kita kenal dengan musim pancaroba. Pada musim pancaroba ini salah satu cirinya sering terjadi hujan tiba-tiba dengan intensitas tinggi dalam waktu singkat. Dengan demikian, wajar terjadi hujan dengan intensitas tinggi dalam waktu singkat di wilayah sirkuit Mandalika saat itu.
ZOM 221 memiliki rata-rata curah hujan tahunan sebesar 1.449 mm. Curah hujan tahunan ini jika dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia bukanlah yang tertinggi, malah termasuk yang rendah. Adapun predikat curah hujan tertinggi berada di wilayah Papua yang tidak hanya tertinggi di Indonesia, tetapi juga termasuk kandidat curah hujan tertinggi di dunia.
Kandidat wilayah dengan curah hujan tertinggi di dunia itu adalah Mile 50 (MP50) yang berada di Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua. Berdasarkan rilis BMKG, data rata-rata curah hujan tahunan di MP50 mencapai hampir sepuluh kali lipat rata-rata curah hujan tahunan di ZOM 221, tempat Sirkuit Mandalika berada. Nilai rata- rata curah hujan tahunannya sebesar 12.143 mm yang juga mengalahkan rekor rata-rata curah hujan tahunan tertinggi yang tercatat di WMO pada saat ini, yaitu di Mawsynram, India, yang nilainya 11.872 mm.
Usulan Indonesia melalui BMKG kepada Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) untuk memasukkan Mile 50 (MP50) menjadi wilayah dengan curah hujan tertinggi di dunia sudah dilakukan. Upaya BMKG ini janganlah dianggap sebagai usaha untuk gagah-gagahan. Toh, curah hujan yang tinggi ini bukan upaya kita, melainkan pemberian dari Yang Maha Kuasa. Upaya ini seharusnya dianggap sebagai upaya penyadaran kepada anak bangsa bahwa kita mendiami tempat dengan potensi yang luar biasa di dunia, baik potensi positif maupun potensi negatifnya.
Yang lebih memprihatinkan, ternyata banyak peristiwa kebencanaan yang terjadi di Indonesia diperparah dengan kerusakan lingkungan yang terjadi.
Yang lebih memprihatinkan, ternyata banyak peristiwa kebencanaan yang terjadi di Indonesia diperparah dengan kerusakan lingkungan yang terjadi. Bahkan, kerusakan lingkungan malah menjadi penyebab utama bencana. Lagi-lagi, kita menghadapi kenyataan bahwa upaya untuk mengurangi risiko bencana belum menjadi pola pikir sebagian komponen bangsa. Kerusakan lingkungan yang masif itu menunjukkan kepedulian kita terhadap potensi bencana di wilayah Indonesia masih jauh panggang daripada api.
Kembali lagi ke Mandalika. Darinya kita belajar bahwa takdir kebencanaan ini bukan untuk diabaikan. Takdir kebencanaan ini sangat nyata. Yang bisa kita lakukan adalah dengan berdamai dengan takdir kebencanaan ini. Setelahnya, kita harus menjaga, merawat alam, dan beradaptasi serta memitigasi potensi bencana yang mungkin terjadi. Tanpa upaya adaptasi dan mitigasi yang serius, harga yang harus dibayar akibat bencana ini sangatlah besar. Termasuk harga diri bangsa saat disorot oleh jutaan mata dari seluruh penjuru dunia.
Maksum Purwanto, Pengamat Meteorologi dan Geofisika pada BMKG