Oposisi dan Perimbangan Kekuatan
Oposisi dalam negara dengan sistem presidensial seperti Indonesia mempunyai hak untuk hidup dan berkembang. Pintu harus tetap dibuka lebar bagi kehadiran oposisi yang konstruktif untuk memberikan alternatif yang positif.
Bagaimana presiden RI menikmati kekuasaannya? Dalam khazanah sejarah politik Indonesia, ada kultur politik yang membuat nyaman presiden menikmati kekuasaannya. Maksudnya, kekuasaan dikendalikan secara damai tanpa gejolak politik apa pun, tanpa oposisi, dan selalu berhasil mempertahankan kekuasaannya. Karena bagi setiap presiden RI, masalah utama adalah bagaimana ia dapat mempertahankan kekuasaannya selama mungkin. Dari sudut kultur politik diatas, dua presiden RI yang paling menikmati keuasaannya adalah Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.
Pertanyaan yang muncul sejauh ini adalah bagaimana kedudukan oposisi yang pas dalam sistem presidensial, dan karena itu bagaimana sistem perimbangan kekuatan yang ideal antara pemerintah yang berkuasa dan oposisi, khususnya dalam lembaga legislatif?
Lalu sekarang bagaimana dengan zaman Jokowi?
Ketika menyampaikan pidato mengenai Visi Indonesia di Sentul, Bogor, 14 Juli 2019, Presiden Jokowi menyatakan, antara lain: ”Menjadi oposisi itu juga sangat mulia. Silakan. Asal jangan oposisi menimbulkan kebencian. Apalagi disertai dengan hinaan, cacian, dan makian.” (Kompas, 15/7/2019).
Pernyataan presiden tersebut memberikan sinyal positif atau lampu hijau akan eksistensi oposisi, yang sempat menjadi kontroversial. Masalahnya, selain yang pro, ada pula yang kontra. Yang pro secara umum berpendapat bahwa oposisi itu diperlukan untuk memberikan kontrol atau sorotan berupa kritik yang positif bagi pemerintah yang sedang berkuasa agar terjadi keseimbangan atau checks and balances.
Oposisi dibutuhkan dalam negara demokrasi di mana pun. Karena, pemerintahan yang sehat membutuhkan oposisi yang sehat pula. Sementara yang kontra mungkin masih trauma masa lalu, yakni ketika di Indonesia oposisi itu dilarang dan dianggap sebagai musuh pemerintah bahkan negara.
Ada juga yang berpendapat bahwa dalam negara Pancasila dengan sistem presidensial oposisi tidak dikenal. Bahkan, juga tidak tercantum dalam konstitusi. Dan bukankah fungsi kontrol merupakan salah satu wewenang DPR?
Bukan barang baru
Bila kita pelajari sejarah ketatanegaraan Indonesia, oposisi bukanlah barang baru apalagi asing. Beberapa saat setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, para pemimpin negara kita segera memberlakukan sistem pemerintahan parlementer meskipun tidak sejalan dengan UUD 1945 yang menganut sistem presidensial.
Konon, ”pelanggaran” itu dilakukan untuk menarik simpati negara-negara Barat yang banyak menganut sistem parlementer agar kemerdekaan Indonesia segera memperoleh pengakuan dengan menampilkan diri sebagai negara demokrasi yang menganut sistem parlementer. Untuk sementara UUD 1945 diabaikan dan diganti untuk sementara dengan UUD Sementara 1949 dan 1950.
Maka, berturut-turut sejak saat itu Presiden Soekarno menunjuk atau memutuskan jabatan perdana menteri. Diambilkan dari tokoh politik, sedangkan partai-partai yang tidak mendukung berperan sebagai kekuatan politik di luar pemerintahan, dengan kata lain sebagai: oposisi.
Kita menyaksikan sejarah Indonesia sejak 1945 hingga Dekrit Presiden 1959 para ahli menyebut selama periode itu Indonesia menganut sistem parlementer, dengan jabatan PM sebagai kepala pemeirntahan yang diimbangi dengan kekuatan oposisi oleh partai-partai yang tidak mendukungnya.
Ketika Indonesia memasuki alam Demokrasi Terpimpin (1959-1966) atau lazim disebut zaman Orde Lama, oposisi tidak diperkenankan hidup lagi. Memang, ada sebagian kekuatan politik yang tidak mendukung Demokrasi Terpimpin dan berperilaku bagaikan kekuatan oposisi, tetapi tetap dilarang malahan dengan memberikan julukan kepada mereka kontra revolusi.
Selanjutnya pada zaman Orde Baru, oposisi juga tetap tidak diperkenankan. Golongan yang berseberangan dengan penguasa dianggap antipembangunan, mendapat julukan kelompok ekstrem, baik ekstrem kanan (Islam) maupun ekstrem kiri (komunis).
Barulah pada zaman reformasi sejak tumbangnya rezim Orba, secara berangsur-angsur keberadaan oposisi diakui kembali. Sebutan oposisi juga ditujukan kelompok-kelompok politik yang tidak duduk dalam pemerintahan. Maka, pengertian oposisi adalah partai-partai yang tidak diajak untuk ambil bagian dalam pemerintahan, atau atas kemauan mereka sendiri berdiri di luar pemerintahan.
Sebagai gambaran adalah partai terbesar, yakni PDI Perjuangan berdiri di luar pemerintahan dalam masa 10 tahun mulai tahun 2004 hingga 2014 ketika jabatan presiden dipegang oleh SBY. Tapi, sebutan PDI-P sebagai partai oposisi belum menonjol. Kemudian setelah PDI-P berhasil meraih kemenangan dengan mencalonkan Jokowi sebagai presiden, partai yang berkuasa sebelumnya adalah Partai Demokrat menjadi salah satu partai yang berada di luar pemerintahan.
Waktu itu sebutan bagi Partai Demokrat adalah sebagai partai penyeimbang. Dengan kata lain, kelompok politik yang berada di luar permerintahan masih malu-malu menyebut dirinya oposisi.
Dari dunia Barat
Dalam sejarah dunia, sejauh ini oposisi lebih dikenal dalam negara yang menganut sistem parlementer. Sistem perlementer berasal dari Eropa yang berangsur tampak jelas sejak akhir abad ke-19 mulai menganut sistem itu. Pada masa itu mulai timbul kesadaran bahwa pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang harus dibatasi kekuasaannya dan tidak boleh memerintah secara semena-mena.
Gagasan bahwa pemerintahan perlu dibatasi kekuasaannya, antara lain dicetuskan oleh seorang ahli sejarah Inggris yang kita kenal dengan nama Lord Acton. Ia mengingatkan bahwa pemerintahan selalu diselenggarakan oleh manusia dan bahwa pada diri manusia selalu melekat banyak kelemahan. Maka, kemudian Lord Acton merumuskan adagiumnya yang termasyhur sampai kini bahwa ”manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu (korupsi), tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas cenderung untuk menyalahgunakannya (korupsi) secara tak terbatas pula. ”Power tends corrupt, but absolute power corrupts absolutely”.
Praktik demokrasi parlementer di Inggris kemudian juga diikuti oleh beberapa negara lain di Eropa (terutama Eropa Barat). Kemudian pada abad ke-20 juga menyebar, termasuk ke negara-negara bekas jajahan Inggris yang akhirnya juga banyak menganut sistem parlementer. Di Inggris, dua partai besar dan berpengaruh, yakni Partai Buruh dan Partai Konservatif, secara bergantian memegang tampuk kekuasaan. Bila Partai Buruh yang berkuasa, Partai Konservatif menjadi oposisi, begitu pula sebaliknya.
Namun, negara yang menganut sistem presidensial, seperti Amerika Serikat, sebutan oposisi jarang atau tidak lazim disebut. Sebagai contoh, ketika Presiden Trump yang berasal dari Partai Republik berkuasa, Partai Demokrat jarang disebut sebagai partai oposisi, demikian pula sebaliknya ketika kemudian Biden tampil sebagai pemenang dari Partai Demokrat. Partai Republik juga tidak lazim disebut oposisi, sebagaimana halnya di negara-negara dengan sistem parlementer. Namun, kelompok ”oposisi” dalam sistem presidensial kekuasaannya di lembaga legislatif juga besar.
Seperti di AS, partai yang kalah pada pilpres dan menguasai mayoritas Senat atau DPR bertingkah laku seperti partai oposisi di negara parlementer. Jadi, kekuasaan legislatifnya cukup besar dan ikut menentukan ”nasib” kebijakan atau RUU untuk disahkan oleh presiden.
Kekuasaan oposisi di negara parlementer cukup besar juga, bila oposisi itu berhasil mengumpulkan suara di parlemen untuk menge”goal”kan mosi tak percaya dan bila itu mulus, pemerintahan yang dipimpin PM akan rontok dan mengembalikan mandat kekuasaannya kepada kepala negara. Sementara ”oposisi” dalam negara presidensial lebih sulit untuk menjatuhkan presiden melalui proses berliku yang disebut impeachment.
Maka, dari sejarah ketatanegaraan dunia, baik dari barat maupun timur Indonesia harus banyak belajar bagaimana oposisi berperan dalam kehidupan bernegara kita. Nilai-nilai yang dianggap positif dapat disesuaikan dan diterapkan dalam perikehidupan ketatanegaraan kita.
”Silent democracy”
Namun, yang menggembirakan, kesadaran akan pentingnya oposisi semakin menyebar luas di masyarakat. Dalam masa pemilu 2014 hingga 2019, sebutan ”oposisi” semakin santer kedengaran sebagai sebutan untuk kelompok-kelompok politik yang tidak mendukung kepresidenan Jokowi-JK.
Dalam jajak pendapat oleh harian Kompas beberapa waktu yang lalu, sebanyak 74,9 persen responden mengakui kekuatan penyeimbang di luar pemerintahan tetap harus ada sebagai alat kontrol terhadap jalannya kekuasaan. Mengapa oposisi ini harus tetap ada? Separuh lebih responden beralasan, demokrasi butuh checks and balances. Pemerintah perlu diawasi dan dikritisi (Kompas, 08/07/2019).
Dalam perkembangan akhir-akhir ini, diperkirakan dua partai yang ”kalah” dalam pilpres, yakni Partai Gerindra dan PKS akan tetap konsisten sebagai oposisi, setidaknya untuk sementara. Bahkan, sementara tokoh dari kubu Jokowi-Amin juga mengharapkan agar sebaiknya kedua partai itu tetap sebagai oposisi dalam periode pemerintahan yang sedang berjalan. Meskipun dalam perkembangan kemudian Partai Gerindra banting stir masuk ke dalam koalisi pendukung Jokowi-`Amin.
Lantas, bagaimana dengan fungsi DPR yang berkewajiban mengontrol pemerintah? Partai-partai pro koalisi tidak dapat diharapkan banyak menjadi pengontrol yang baik dan obyektif terhadap jalannya pemerintahan, karena bagaimana pun pemerintah akan selalu berusaha agar kebijakan-kebijakannya justru harus didukung oleh partai-partai yang bergabung dalam koalisi. Maka, harapan terakhir adalah kepada partai-partai oposisi dalam parlemen yang tanpa beban untuk lebih mengontrol dan mengkritisi jalannya pemerintahan.
Seorang ilmuwan politik Ludger Helms (2004) berpendapat bahwa demokrasi tanpa oposisi adalah demokrasi beku yang tidak sehat karena tanpa kritik konstruktif dan tanpa program alternatif. Sekali lagi, demokrasi modern membutuhkan saling kontrol (check and balances) antara partai pemerintah dan partai oposisi.
Formalnya, yang lazim disebut oposisi adalah partai-partai di parlemen yang di luar pemerintahan. Sementara kekuatan-kekuatan sosial-politik di luar legislatif dan eksekutif pendukung oposisi juga kurang tepat disebut oposisi, tetapi sebagai kekuatan penyeimbang, kekuatan moral, atau pendukung oposisi saja. Namun, kelompok ini juga tidak bisa dipandang dengan sebelah mata karena sewaktu-waktu mereka dapat menjelma menjadi kekuatan rakyat (people power) yang terbukti berperan besar dalam keruntuhan rezim Orde Lama dan Orde Baru pada masa lalu.
Ternyata dalam kenyataan, baik dalam periode pertama maupun kedua kakuasaannya, Presiden Jokowi juga ingin menikmati kekuasaannya sebagaimana yang pernah dirasakan oleh Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto pada masanya. Hanya bedanya, Presiden Jokowi tidak melarang oposisi, tetapi dengan melakukan strategi memperbesar koalisi pendukungnya.
Sedikit banyak strategi itu berhasil. Beberapa partai yang tadinya di luar koalisi, setelah pemilu, dengan berangsur-angsur berhasil dibujuk dan dijinakkan untuk masuk ke dalam kubu koalisi, dengan konsesi kursi kabinet. Maka, di parlemen, anggota-anggota dari partai yang baru bergabung juga menyatu dengan kelompok koalisi.
Di parlemen Presiden Jokwi dalam periode pertama pemerintahannya berhasil menghimpun 386 kursi parlemen (68,93 persen) dengan sebutan Koalisi Indonesia Hebat. Adapun dalam periode kedua Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin lebih behasil menghimpun dukungan sebanyak 471 kursi (81,9 persen). Partai-partai yang mendukung koalisi membengkak jadi tujuh partai: PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, PKB, PPP, Gerindra, dan terakhir PAN. Gerindra masuk koalisi yang ditandai dengan masuknya Prabowo Subianto ke dalam kabinet sebagai menteri pertahanan. Sementara PAN sejauh ini belum diberitakan memperoleh kursi kabinet.
Dari perkembangan di atas nyatalah betapa rapuhnya kekuatan oposisi di Indonesia. Partai-partai yang kalah dalam pemilu ternyata lebih condong berorientasi pada kekuasaan meskipun harus mengorbankan prinsip dan pendirian politik, juga ideologi, kalau ingin bergabung dengan kekuasaan.
Menurut hemat penulis, perkembangan itu tidak sehat bagi perkembangan demokrasi dan pengelolaan kekusaan itu sendiri. Partai-partai yang kalah, dalam hal ini para pemimpinnya sebagian lebih dikuasai oleh ”ideologi” baru yang berkembang pada masa reformasi ini, yakni ”pragmatisme” dan ”oportunisme”. Dua ”ideologi” itulah yang menandai warna politik Indonesia sekarang.
Sebenarnya yang ideal adalah kekuatan atau partai-partai oposisi harus mendapat iklim yang positif, leluasa dan biarkanlah mereka menjalankan peran sebagai oposisi di parlemen. Memang, partai-partai yang berkuasa perlu memiliki kekuatan lebih dari 50 persen di perlemen. Namun, pihak oposisi, meskipun lebih kecil, dengan jumlah yang cukup memadai untuk mengimbangi partai yang berkuasa. Dengan demikian, akan terjalin perimbangan kekuatan di parlemen.
Di arena parlemen bukan lagi adu suara (voting), melainkan adalah adu argumentasi untuk masalah-masalah nasional yang mencuat menyangkut kehidupan ketatanegaraan. Itulah idealnya. Pernah beberapa belas tahun yang lalu di negara tetangga, Singapura, pihak partai yang berkuasa merasa masygul karena kecilnya oposisi di parlemen, dan pemerintah yang berkuasa ingin agar oposisi diberi kesempatan tumbuh lebih kuat untuk mengimbangi kekuatan partai yang berkuasa.
Harus ditumbuhkan kultur baru dalam perpolitikan di Indonesia, yakni agar presiden tidak lagi gentar menghadapi oposisi dan atau people power. Oposisi haruslah menjadi partner untuk berargumentasi, bukan berkonfrontasi. Di luar gedung eksekutif dan legislatif, rakyat juga harus tetap digairahkan untuk berpartisipasi agar juga urun rembuk atas masalah-masalah nasional yang krusial atau kontroversial yang diperdebatkan di parlemen bersama pemerintah.
Dengan demikian, demokrasi akan lebih hidup. Tidak seperti sekarang, di mana sementara pengamat berpandangan bahwa yang terjadi di Indonesia sekarang adalah silent democracy, demokrasi diam-diam, di bawah meja, kolaborasi antara eksekutif dan legislatif. Rakyat tidak leluasa berpartisipasi. Maka, yang terjadi adalah produk-produk hukum berupa undang-undang yang kontroversial ditolak oleh rakyat, seperti Revisi Undang Undang KPK dan terakhir Undang-Undang Cipta Kerja yang dianulir Mahkamah Konstitusi.
Maka, semakin nyatalah bahwa oposisi dalam negara dengan sistem presidensial, seperti Indonesia mempunyai hak untuk hidup dan berkembang. Pintu harus tetap dibuka lebar bagi kehadiran oposisi yang konstruktif untuk memberikan alternatif yang positif bagi pemerintah yang sedang berkuasa!
Pramudito, Mantan Diplomat.