Pasar keuangan, pasar obligasi, dan kurs rupiah akan terpengaruh oleh langkah The Fed. Namun, investor ritel masih berkesempatan mendapatkan keuntungan dari pasar. Sektor perbankan dan komoditas dapat diperhatikan.
Oleh
Joice Tauris Santi
·3 menit baca
Pasar saham tahun ini cukup memuaskan. Indeks Harga Saham Gabungan setidaknya bertumbuh 10 persen hingga pekan kedua Desember 2021. Menjelang akhir tahun, para investor, termasuk investor ritel, sudah bersiap menyusun strategi untuk tahun depan.
Tahun 2022, baik faktor domestik maupun asing turut memengaruhi pergerakan pasar keuangan, termasuk pasar saham. Faktor bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), merupakan faktor eksternal yang banyak memengaruhi pasar saham domestik.
Seperti mengulang jurus ketika terjadi krisis subprime mortgage 2008, The Fed melakukan kucuran likuiditas pada Maret 2020 agar tetap dapat menopang perekonomian AS di tengah serangan Covid-19. Hingga November 2021, The Fed telah membeli obligasi pemerintah dan surat utang lain bernilai lebih dari 4 triliun dollar AS.
Faktor bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), merupakan faktor eksternal yang banyak memengaruhi pasar saham domestik.
The Fed mengemban tugas untuk mencapai angka tenaga kerja maksimal dan inflasi di kisaran 2 persen. Oleh sebab itu, The Fed menjaga agar tingkat suku bunga sangat rendah, berada di kisaran 0 hingga 0,25 persen saja.
Belakangan ini laju inflasi menguat hingga melewati 2 persen dan pasar tenaga kerja juga terus membaik sehingga The Fed memutuskan mengurangi kucuran likuiditasnya. Mulai November 2021, The Fed mengurangi pembelian aset dan akhirnya pada Januari 2022 akan menghentikan pembelian aset.
Tidak seperti langkah pengurangan belanja aset pada 2013, tindakan The Fed kali ini sudah diperhitungkan oleh para investor juga regulator di berbagai negara karena sudah dikomunikasikan dengan lebih baik.
The Fed juga tidak mengurangi belanja aset secara bersamaan dengan kenaikan suku bunga. Diperkirakan, The Fed baru mulai menaikkan suku bunga pada Juni 2022. Posisi cadangan devisa negara berkembang, termasuk Indonesia, juga masih tebal karena ada kenaikan harga komoditas.
Faktor risiko terbesar adalah laju inflasi AS. Awal Desember, inflasi di tingkat produsen mencapai 6,9 persen dan merupakan posisi tertinggi sejak 1990. Ketika data menunjukkan terjadi inflasi tinggi, kemungkinan besar akan direspons negatif di pasar keuangan.
The Fed akan menaikkan tingkat suku bunga bertahap untuk melawan inflasi. Diperkirakan dalam dua tahun ke depan, akan terjadi kenaikan suku bunga oleh The Fed. Dampaknya, surat utang keluaran Pemerintah AS akan menjadi lebih menarik karena menawarkan tingkat suku bunga yang lebih tinggi.
Bisa jadi, ada perputaran arus investasi, dari negara berkembang yang berisiko lebih tinggi ke aset investasi di AS. Secara historis, pasar saham AS tetap menguat setelah The Fed melakukan pemangkasan belanja asetnya. Hanya saja, harga saham akan lebih berfluktuasi.
Pasar obligasi dan kurs rupiah akan terpengaruh oleh langkah The Fed tersebut. Tentu hal ini sudah diantisipasi oleh Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan imbal hasil obligasi.
Jangan khawatir, investor ritel masih berkesempatan mengikuti dan mendapatkan keuntungan dari pasar. Pengendalian wabah Covid-19 dan kinerja perdagangan yang baik menjadi faktor pendukung di dalam negeri.
Kenaikan harga komoditas menjadi salah satu pendukung penguatan kinerja ekspor. Biasanya, jika harga komoditas meningkat, arus dana investor asing pun semakin deras.
Sektor-sektor yang menunjang pemulihan ekonomi, seperti perbankan, ditambah sektor yang terkait langsung dengan kenaikan harga komoditas, dapat menjadi perhatian para investor.