Omicron harus diwaspadai walau sejauh ini hanya menimbulkan gejala ringan. Jangan sampai pengalaman pahit gelombang lalu terulang. Masyarakat perlu menahan diri untuk bepergian, terutama ke luar negeri.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Omicron sudah terdeteksi di Indonesia. Hingga hari Sabtu (18/12/2021), ada tiga kasus Omicron terkonfirmasi dan belasan kasus masih terduga.
Meski gejalanya ringan, bahkan tidak bergejala, belum ada bukti kuat Omicron tidak berbahaya. Organisasi Kesehatan dunia (WHO) mengumumkan, Omicron setidaknya telah beredar di 89 negara, belum termasuk Indonesia. Galur baru itu sangat cepat menular dan bisa menembus pertahanan vaksin.
Laporan peneliti dari Universitas Hong Kong, vaksin Sinovac tak menunjukkan antibodi cukup pada serum darah untuk menetralkan Omicron. Sementara yang divaksinasi dengan produk Pfizer-BioNTech hanya sebagian kecil yang memiliki antibodi cukup untuk menetralkan galur tersebut.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, Omicron menyebar pada tingkat yang belum pernah terlihat di galur sebelumnya. Karena itu, vaksin saja tidak akan membuat negara mana pun keluar dari krisis. Protokol kesehatan dengan mengenakan masker, menjaga jarak, ventilasi yang baik, dan menjaga kebersihan tangan harus dilakukan secara baik dan konsisten. Terkait dengan vaksin, harus semakin banyak penduduk dunia yang divaksinasi.
Pekan lalu, juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan, mobilitas warga meningkat sejak Juli 2021. Di sisi lain, baru tiga provinsi mencapai vaksinasi dosis lengkap lebih dari 70 persen. Artinya, bahaya masih mengancam, selain Omicron, galur Delta masih beredar dan bisa menimbulkan gejala parah.
Pemerintah pusat telanjur membatalkan PPKM level 3. Sebagai ganti, sejumlah pemerintah daerah menerapkan PPKM level 1. Ini memungkinkan masyarakat untuk pulang kampung atau berwisata. Kejenuhan masyarakat bisa dipahami. Namun, mobilitas perlu dibatasi. Presiden pun mengimbau warga membatasi bepergian, termasuk ke luar negeri. Hal itu juga berlaku bagi pejabat negara.
Kita perlu belajar dari pengalaman pahit gelombang pertama, Januari-Maret, dan gelombang kedua, Juni-Agustus, agar tidak terulang lagi. Kedua gelombang besar pandemi terjadi setelah libur Natal dan Tahun Baru, serta libur Idul Fitri.
Sepanjang gelombang kedua tercatat 2,5 juta kasus Covid-19 dan 94.000 di antaranya meninggal dunia. Indonesia juga mencatat penambahan kasus harian tertinggi di dunia.
Dampaknya sangat signifikan, produktivitas masyarakat merosot dan ekonomi makin terganggu. Terlebih lagi, banyak anak kehilangan orangtua sehingga kehidupan, pendidikan, dan masa depan mereka tidak menentu.
Karena itu, kita perlu waspada. Pandemi belum usai. Selain memperluas dan mempercepat cakupan vaksinasi, pemerintah perlu meningkatkan identifikasi dalam membantu mereka yang kesulitan ekonomi agar tetap sehat.
Omicron menyebar pada tingkat yang belum pernah terlihat di galur sebelumnya. Karena itu, vaksin saja tidak akan membuat negara mana pun keluar dari krisis.
Tes dan telusur kontak erat perlu digencarkan. Penapisan pelaku perjalanan dari luar negeri di pintu masuk negara diperkuat. Karantina pelaku perjalanan luar negeri harus dilakukan tanpa pandang bulu. Pengecualian karantina pada pejabat dan orang penting, selain diskriminatif, juga membahayakan kesehatan masyarakat karena Omicron bisa menular kepada siapa saja.
Hanya dengan melaksanakan semua itu, kita bisa berharap mampu melewati pandemi dengan selamat.