Memaknai Pergeseran Perspektif Pemajakan di Indonesia
Kehadiran UU HPP diharapkan mampu menjadi panasea atau setidaknya stimulus bagi pembenahan kinerja pajak secara menyeluruh demi mendorong terciptanya efisiensi, produktivitas, profitabilitas, dan daya saing bagi bangsa
Oleh
Ricky Karunia Lubis
·4 menit baca
Kompas
Didie SW
Isu utama perpajakan selalu berkutat pada dua hal: efisiensi ("efficiency") dan pemerataan ("equality:). James Mirrlees, peraih penghargaan Nobel di bidang Ekonomi tahun 1996, menawarkan model pemajakan optimal yang dapat digunakan pemerintah. Pemajakan yang optimal merupakan ekuilibrium antara efisiensi dan pemerataan di mana pemerintah tetap dapat meredistribusi kesejahteraan dengan distorsi terhadap efisiensi yang minimal.
Dalam pandangan Mirrlees, sistem perpajakan harus mampu menyediakan insentif yang memadai bagi individu berkemampuan tinggi (high-ability) untuk terus bekerja dan menghasilkan output secara lebih efisien. Pada awalnya, Mirrlees menyarankan tingkat pajak marjinal sebesar nol (zero marginal tax rate) bagi individu berpenghasilan tertinggi.
Namun, seiring dengan berkembangnya studi tentang sistem perpajakan yang lebih relevan seperti diajukan Tuomala (1990) dan Saez (2001), pemerintah di berbagai belahan dunia cenderung memakai sistem perpajakan progresif dalam memajaki penghasilan individu.
Pergeseran ini sebenarnya bukanlah barang baru dan telah lama menjadi diskursus di kalangan akademisi dan pembuat kebijakan.
UU No 7 Tahun 2021
Ada beberapa pergeseran model pemajakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir, termasuk melalui UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang baru saja disahkan, yaitu dari pemajakan berbasis penghasilan menjadi konsumsi.
Pergeseran ini sebenarnya bukanlah barang baru dan telah lama menjadi diskursus di kalangan akademisi dan pembuat kebijakan. Pestel dan Sommer (2016), ekonom dari Jerman, menyebutkan, pergeseran beban pajak dari upah ke konsumsi, atau dikenal dengan istilah devaluasi fiskal, berkutat pada dua isu utama.
Pertama, pergeseran itu memberikan insentif kepada individu untuk bekerja lebih keras dan produktif karena tarif pajak marjinal yang lebih rendah. Kedua, pajak konsumsi yang lebih tinggi sering dikaitkan dengan regresivitas yang lebih tinggi sehingga berimbas pada tingkat ketimpangan yang lebih tinggi. Namun, pergeseran dari pajak penghasilan ke pajak konsumsi dapat memacu penggunaan kapasitas produktif yang tidak terpakai sehingga meningkatkan penawaran tenaga kerja dan permintaan.
Pestel dan Sommer berargumen pajak penghasilan dan konsumsi acapkali mengalami trade-off di mana pajak penghasilan yang lebih rendah akan menginsentif orang bekerja dan menggunakan tax savings yang mereka peroleh untuk pengeluaran yang produktif, tetapi ketimpangan akan meningkat.
Namun, desain perpajakan yang dirancang dalam UU HPP tampaknya telah memitigasi risiko ini melalui kenaikan batasan lapisan pertama dari Rp 50 juta menjadi Rp 60 juta dan menambah satu lapisan tertinggi dari 30 persen menjadi 35 persen bagi penghasilan di atas Rp 5 miliar. Selain memberikan insentif lebih untuk bekerja, desain pemajakan ini diharapkan dapat mencapai keadilan berdasar ability-to-pay principle.
Alhasil, pergeseran ini dapat meningkatkan efisiensi sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat pengangguran. UU HPP mengatur bahwa tarif PPN akan dinaikkan secara bertahap dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022 dan kemudian dinaikkan lagi menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025. Selain itu, pemerintah juga menurunkan batasan peredaran bruto yang dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan UMKM menjadi Rp 500 juta setahun.
Toto Sihono
Toto Sihono
Implikasi makro
Bergesernya model pemajakan yang berbasis penghasilan ke konsumsi bisa jadi berpengaruh terhadap melemahnya konsumsi yang notabene adalah penyumbang terbesar pada perekonomian (58 persen dari PDB), tetapi akan dapat dikompensasi dengan naiknya investasi dan diikuti oleh peningkatan ekspor dalam jangka panjang yang diharapkan mampu memperbaiki kinerja neraca transaksi berjalan.
Namun, pergeseran ini harus terus dievaluasi agar insentif terhadap penghasilan dan disinsentif terhadap konsumsi dapat memacu naiknya tabungan masyarakat sehingga berdampak pada naiknya investasi, terutama investasi di sektor riil dan berorientasi ekspor. Disin -sentif terhadap konsumsi diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk lebih memilih menabung dan berinvestasi dibandingkan konsumsi, sehingga pelaku ekonomi memiliki banyak alternatif pendanaan dengan biaya modal rendah.
Pergeseran ini juga seharusnya dijadikan momentum untuk mendorong masyarakat agar semakin giat menabung. Tabungan domestik Indonesia pada 2020 hanya 29,61 persen dari PDB, sementara kontribusi investasi terhadap PDB sebesar 31,73 persen. Lebih kecilnya tingkat tabungan dibandingkan investasi menyebabkan terjadinya defisit transaksi berjalan di Indonesia. Belum lagi, porsi investasi ini dianggap tak efisien dalam memacu perekonomian mengingat Incremental Capital Output Ratio (ICOR — rasio investasi terhadap output) yang tinggi, yaitu 6,8 persen.
Pergeseran ini juga seharusnya dijadikan momentum untuk mendorong masyarakat agar semakin giat menabung.
Sementara, suku bunga pinjaman (lending rate) Indonesia pada 2020 rata-rata 9,5 persen, lebih tinggi dibanding negara lain, seperti Singapura (5,3), Filipina (7,1), Malaysia (3,9), dan China (4,3). Penurunan tarif pajak penghasilan diharapkan bisa memberikan tax savings ke perusahaan dan masyarakat sehingga bisa dimanfaatkan baik untuk konsumsi, menabung, maupun investasi.
Kenaikan tarif pajak konsumsi memang akan mendisinsentif masyarakat dalam menambah konsumsi, sehingga tingkat konsumsi marjinal turun. Namun, andai pun masyarakat tetap memutuskan untuk menambah konsumsi, pemerintah dapat menuai manfaatnya berupa naiknya penerimaan pajak. Sebaliknya, jika masyarakat memutuskan untuk menabung, tingkat tabungan domestik akan meningkat, sehingga suku bunga pinjaman rata-rata dapat turun.
Sementara jika masyarakat memilih berinvestasi, produsen dalam negeri menuai manfaat berupa melimpahnya sumber penghimpunan dana di pasar modal. Semakin besar sumber pendanaan, semakin rendah biaya modal yang ditanggung produsen, sehingga semakin efisien mereka dalam menambah produksi. Dengan demikian, kehadiran UU HPP diharapkan mampu menjadi panasea atau setidaknya stimulus bagi pembenahan kinerja pajak secara menyeluruh demi mendorong terciptanya efisiensi, produktivitas, profitabilitas, dan daya saing bagi bangsa kita.
Ricky Karunia LubisStaf di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan