Jalan Tol Trans Jawa, Merajut Konektivitas Bebas Hambatan
JTTJ memang menjadi lahan investasi yang basah bagi para investor, terlebih ketika ekonomi pulih pasca-pandemi. Namun, perlu keseimbangan antara keuntungan investor dengan manfaat yang diperoleh masyarakat.
Beberapa abad lalu, tepatnya 1808, untuk kepentingan perdagangan (transportasi komoditas) dan militer, Gubernur Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, membangun infrastruktur konektivitas darat yang menghubungkan ujung barat dengan ujung timur Pulau Jawa.
Infrastruktur konektivitas darat ini dikenal sebagai Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan atau Anyer-Batavia-Panarukan, dan Batavia – Buitenzorg – Cisarua – Cianjur – Rajamandala - Bandung-Parakanmuncang – Sumedang - Karangsembung. Pemberontakan di Cirebon dan blokade Inggris di Teluk Jakarta kala itu, menyebabkan trase jalan dari Buitenzorg menuju pelabuhan ekspor Cirebon berputar sedemikian rupa, tidak langsung lurus dari Buitenzorg, Batavia, dan Cirebon.
Mega proyek zaman kolonial itu selesai hanya dalam waktu satu tahun. Jalan raya ini menghubungkan sentra-sentra beberapa komoditas penting saat itu, seperti kopi, teh, dan beras. Keberadaan jalan raya ini kemudian memfasilitasi sistem tanam paksa ‘Cultuur Stelsel’ pada pertengahan abad 19 yang mewajibkan para petani di Pulau Jawa menanam tanaman ekspor.
Maka, membangun jalan tol yang tersambung dari ujung barat ke ujung timur Pulau Jawa benar-benar merajut konektivitas.
Sebagian besar ruas Jalan Raya Pos atau Jalan Raya Anyer-Panarukan itu kini telah menjelma menjadi jalan raya pantai utara (pantura) Jawa yang padat lalu lintas dan bahkan sering macet, apalagi menjelang Lebaran. Satu media massa edisi 22 Agustus 2012 memuat judul utama “Pantura Macet Parah, Jalur Alternatif dan Tol Harus Dibangun’.
Dari perspektif teori Path Dependency, pembangunan Jalan Tol Trans Jawa (JTTJ) ‘menempel’ pada koridor jalur Pantura. Sementara jalur Pantura sebelumnya juga merupakan hasil pengembangan Jalan Raya Pos Anyer – Panarukan di era Daendels.
Padatnya lalu lintas jalan raya Pantura kemudian memunculkan urgensi untuk merajut konektivitas bebas hambatan, juga dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa, untuk meningkatkan dan memperlancar arus barang dan kendaraan, meningkatkan efisiensi logistik, dan menstimulasi pertumbuhan wilayah.
Frasa ‘merajut konektivitas’ mungkin cukup pas untuk merefleksikan satu proses yang cenderung lama atau berjalan lambat. Di era demokratisasi atau reformasi, membangun jalan tol tidaklah mudah, terutama pada tahapan pembebasan lahan. Urusan pembebasan lahan membutuhkan waktu relatif lama yang tidak hanya berbulan-bulan, tapi bisa dalam hitungan tahun sejak sosialisasi awal proyek. Maka, membangun jalan tol yang tersambung dari ujung barat ke ujung timur Pulau Jawa benar-benar merajut konektivitas.
Baca juga : Jadi Tumpuan Ekonomi Sumut, Jalan Tol Perlu Didukung Jalur di Luarnya
Salah satu contohnya adalah JTTJ ruas Probolinggo-Banyuwangi yang bahkan pernah diwacanakan untuk beroperasi tahun 2019. Namun, rencana jalan sepanjang 171,5 kilometer (km) dengan tiga seksi ini, pembebasan lahan untuk seksi I saja (ruas Probolinggo-Besuki sepanjang 29,6 km) per Juli, 2021, baru mencapai 24,88 persen.
Pengembangan konektivitas bebas hambatan dilakukan dengan menyambung ruas tol yang telah dibangun terdahulu, antara 1983-1996, yakni ruas Cilegon, Jakarta, Bogor dan Cirebon, dilanjutkan ke Brebes, Semarang, Solo, Ngawi hingga Surabaya. Ruas pamungkas dari Jalan Tol Trans Jawa, yakni ruas Probolinggo-Banyuwangi direncanakan konstruksinya mulai tahun depan.
Konektivitas jalan tol Jakarta-Surabaya, dua kota terbesar di Indonesia, resmi terwujud 2018. Namun, penuntasan konektivitas jalan tol yang menghubungkan ujung barat Pulau Jawa di Cilegon dan ujung timur di Banyuwangi diperkirakan baru akan terwujud 2024.
Hingga 2021 panjang total JTTJ yang operasional mencapai 1.167 km, sedangkan jalan tol operasional di seluruh Indonesia mencapai 2.391 km. Dengan panjang total operasional 1.167 km relatif terhadap luas Pulau Jawa, kepadatan jalan tol di Pulau Jawa saja mencapai 0,91 km per 100 kilometer persegi (km2). Kepadatan jalan tol per 100 km2 wilayah untuk Pulau Jawa saja sudah cukup baik kendati masih di bawah Singapura, China, dan Jepang. Namun, secara keseluruhan (Indonesia), kepadatan jalan tol hanya 0,12 km per 100 km2.
Hal ini karena belum selesainya Jalan Tol Trans Sumatera, dan masih kecilnya panjang jalan tol di pulau-pulau Kalimantan dan Sulawesi. Di Papua bahkan belum ada jalan tol. Selain itu, banyak pulau, termasuk yang tak berpenghuni, yang tidak memungkinkan dibangun jalan tol, tapi luasnya dihitung sebagai denominator dari panjang jalan tol per 100 km2 luas wilayah. Total rencana panjang JTTJ hingga 2024 ditargetkan 5.103 km. Jika target ini tercapai, pada 2024 kepadatan jalan tol per 100 km2 akan membaik menjadi 0,27 km.
Beberapa tahun terakhir, pemerintah secara masif membangun atau melanjutkan pembangunan proyek-proyek infrastruktur konektivitas, baik darat, laut , maupun udara, sekalipun di tengah pandemi. Beberapa di antaranya berskala mega proyek, terutama yang sifatnya konstruksi baru (‘greenfield project’). Tidak hanya jalan tol, tapi juga bandar udara internasional baru, dan pelabuhan-pelabuhan besar yang baru.
Total rencana panjang JTTJ hingga 2024 ditargetkan 5.103 km.
Mega proyek infrastruktur konektivitas itu umumnya bersifat directly cost recovery, sehingga dapat dikerjasamakan dengan mitra investor, baik dari dalam negeri, maupun luar negeri. Skema kemitraan pemerintah dan swasta (Public Private Partnership/PPP), Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), dan BOT (Build-Operate-Transfer), sangatlah membantu ketika beban APBN makin berat akibat pandemi.
JTTJ dikenal sebagai lahan investasi yang ‘basah’ dan atraktif bagi investor. Tak hanya investor dalam negeri, tapi juga investor asing. Namun, investor asing cenderung berinvestasi secara aman, yakni melalui transaksi divestasi pada ruas-ruas yang sudah operasional. Artinya, mereka cenderung tak berinvestasi ketika jalan tol masih dalam tahap konstruksi dan pembebasan lahan.
Beberapa di antara investor asing itu adalah Road King Infrastruktur, perusahaan asal Hong Kong, melalui entitas anak PT Kings Key Limited, mengakuisisi saham PT Waskita Toll Road sebesar 40 persen pada ruas Solo-Ngawi dan Ngawi-Kertosono melalui entitas PT Jasa Marga.
Selanjutnya, Metro Pacific Tollways Corps melalui entitas Marga Mandala sakti pada ruas Tangerang-Merak (15,69 persen), dan Canada Pension Fund menguasai 55 persen saham pada ruas Cikopo-Palimanan melalui entitas PT Lintas Marga Sedaya.
Baca juga : Presiden Jokowi Berkomitmen Bangun Lebih Banyak Infrastruktur Berkualitas
Atraktifnya JTTJ sebagai lahan investasi selain karena volume lalu lintas yang cenderung tinggi atau memenuhi skala ekonomi, juga karena masa konsesi yang fleksibel panjang dan ketentuan tarif tol yang menguntungkan pihak investor. Masa konsesi 35 tahun bisa diperpanjang hingga 50 tahun atau lebih.
Secara umum bisnis jalan tol tahun 2021 sudah mendekati situasi sebelum pandemi (2019). Indikasinya, angka lalu lintas harian rata-rata (LHR) pada ruas tol PT Jasa Marga (Persero) Tbk per April 2021 telah mencapai sekitar 81,25 juta kendaraan. Sementara itu, LHR Tol Jasa Marga sepanjang 2019 berada di level 104,8 juta kendaraan.
Dari perspektif teori ekonomi pasar, bisnis jalan tol merupakan monopoli murni. Sebab, tak ada kompetitor sama sekali, pengguna jalan tol tak memiliki alternatif untuk memilih jalan tol dengan tarif lebih murah pada koridor yang sama.
Namun, dari perspektif teori biaya transaksi, keberadaan JTTJ bisa mengeliminasi asimetri informasi dan ketidakpastian. Ini karena banyaknya kemungkinan hambatan pada jalan non-tol (jalur Pantura) yang berimplikasi pada panjangnya waktu tempuh, naiknya risiko, dan tambahan biaya lain, termasuk bahan bakar, konsumsi, akomodasi.
Berperan vital
Pada satu sisi JTTJ menjadi lahan investasi yang atraktif bagi investor, akan tetapi pada sisi lain keberadaan JTTS vital bagi pertumbuhan wilayah yang dilalui. Pada wilayah-wilayah aglomerasi, konektivitas jalan tol dapat memangkas waktu perjalanan menjadi lebih singkat dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan fisik wilayah yakni meluasnya lingkungan terbangun. Hal ini tampak misalnya pada megapolitan Jabodetabek setelah JORR 1 dan JORR 2 tersambung.
Kehadiran JORR 2 dapat mereduksi atau mengeliminasi kemacetan pada JORR 1 yang sudah terlebih dulu beroperasi. Namun peran ruas-ruas JTTJ di wilayah Jabodetabek, yang telah lebih dulu dibangun, terhadap pertumbuhan wilayah aglomerasi, mungkin bukan lagi hal baru. Sebab, pengembangan jalan tol di megapolitan ini menjadi cerita yang tak habis-habisnya, seperti suatu ‘lingkaran setan' (vicious circle).
Kemacetan dan naiknya jumlah kendaraan menjadi alasan untuk membangun ruas jalan tol yang baru. Namun, pembangunan ruas tol baru juga memicu naiknya jumlah kendaraan baru, dan seterusnya.
Konektivitas jalan tol melengkapi integrasi antar-moda transportasi perkotaan, misalnya pada bandara internasional Adisumarmo yang selain dapat diakses melalui jalan tol (ruas Solo-Ngawi), juga dapat diakses dengan kereta api bandara (dari stasiun balapan) dan bus kota (dari terminal Tirtonadi). Sebagai informasi saja bahwa antara stasiun dan terminal Tirtonadi tersambung oleh skybridge yang memudahkan para warga untuk berpindah moda transportasi.
Kehadiran jalan tol, khususnya JTTS, hendaknya menjadi bagian dari solusi untuk mengatasi mahalnya biaya logistik.
Konektivitas JTTJ menjadi amat penting untuk mendukung keberadaan operasionalisasi infrastruktur, terutama yang dibangun baru sama sekali, seperti pelabuhan Patimban dan bandara internasional Jawa Barat (BIJB), serta bandara internasional Yogyakarta/YIA.
Pelabuhan Patimban, misalnya, membutuhkan konektivitas jalan tol dengan kawasan industri di sekitar Bekasi Timur, Karawang, Indramayu, Subang, dan Purwakarta. Keberadaan pelabuhan Patimban bersama-sama akses tol yang tengah dibangun memungkinkan efisiensi logistik dengan terpangkasnya waktu perjalanan, terutama karena bisa menghindari masalah kemacetan lalu lintas.
Terajutnya konektivitas JTTJ ‘backbone’ ke wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, memungkinkan mobilitas industri dan investasi antarwilayah. Dalam beberapa tahun terakhir telah berlangsung relokasi sejumlah industri dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, karena faktor upah tenaga kerja (Upah Minimum Regional/UMR) yang jauh lebih murah.
Pembangunan Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) dimungkinkan karena adanya dukungan akses JTTJ yang telah terbangun dan rencana pengembangan jalur kereta api logistik dari dryport di KITB ke pelabuhan ekspor Tanjung Emas Semarang. KITB juga dipersiapkan untuk menampung relokasi industri dari luar negeri.
Baca juga : Jalan Tol Serang-Rangkasbitung, Harapan Baru Pengungkit Ekonomi Banten
Pengembangan konektivitas JTTJ ‘backbone’ ke wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, memberi peluang pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), khususnya pada rest area. Peluang bisnis UMKM ini mulai dari restoran /rumah makan, kedai kopi, cendera mata, minimarket, hingga SPBU.
Tak hanya pada tempat peristirahatan, peluang bisnis UMKM juga terbuka pada kawasan sekitar exit toll, seperti toko oleh-oleh dan restoran, bahkan sektor properti juga terpicu berkembang karena adanya akses ke jalan tol. Hal ini tampak pada setiap kawasan sekitar exit toll di ruas-ruas tol yang baru beroperasi, yang kemudian muncul sebagai simpul-simpul pertumbuhan baru.
Efisiensi
Dalam teori ekonomi dikenal ‘Pareto Optimum” yang identik dengan ‘Nash Equilibrum’ dalam Game Theory. JTTJ memang menjadi lahan investasi yang basah bagi para investor, terlebih ketika ekonomi pulih pasca-pandemi. Namun, perlu keseimbangan antara keuntungan investor dengan manfaat yang diperoleh masyarakat, termasuk di dalamnya efisiensi logistik.
Kehadiran jalan tol, khususnya JTTS, hendaknya menjadi bagian dari solusi untuk mengatasi mahalnya biaya logistik. Maka, dibutuhkan suatu kerangka kerja institusional yang dapat mendukung efisiensi pengelolaan jalan tol, terutama terkait tarif, konsesi, fasilitasi, dan pembebasan lahan.
Konektivitas bebas hambatan pada JTTJ, terutama pada kawasan sekitar exit/entry toll, juga perlu diintegrasikan dengan konektivitas jaringan jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, hingga jalan desa, untuk memperlancar distribusi dan pemasaran produk-produk unggulan daerah perdesaan.
Wihana Kirana Jaya Guru Besar FEB Universitas Gadjah Mada