Kini saatnya pemerintah ”total football” determinatif dari segi kebijakan, insentif, dan anggaran untuk mengembangkan berbagai potensi energi terbarukan, termasuk dalam ”applied research”.
Oleh
SETYO BUDIANTORO
·6 menit baca
Kompas
Didie SW
Dengan risau mesti diakui, masa depan dunia sangatlah muram. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres memperingatkan, kode merah umat manusia telah menyala. Sayangnya, hasil Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB atau COP 26 hanya membawa kemasygulan. Rendahnya komitmen negara maju dan negara besar berpengaruh mengandaskan harapan. Bumi ibarat kapal terbakar hampir tenggelam, bukannya memadamkan api, namun rebutan dan mempertahankan periuk terus terjadi. Hasil kesepakatan begitu normatif dan minim ambisi.
Bumi memanas melampaui 1,5 derajat celsius dibandingkan masa pra-industrial tak terelakkan akan terjadi. Bahkan, skenario kenaikan hingga 3 derajat telah muncul. Apabila ini terjadi, maka tak ada tempat aman di bumi, demikian disampaikan The Economist. Ekosistem laut sekarat karena matinya terumbu karang. Gunung es mencair menaikkan permukaan laut dan melenyapkan banyak pulau dari peta. Banjir dan kekeringan ekstrem akan datang silih berganti.
Sebuah riset menunjukkan, kenaikan 1 derajat celsius meningkatkan kemungkinan konflik antarkelompok sebesar 11,3 persen. Film fiksi ilmiah bumi kering kerontang dan penuh konflik perebutan sumber daya bisa terjadi nyata. Bencana dalam skala global yang melampaui dashyatnya pandemi Covid-19 di depan mata. Sebagian generasi Y, milenial, dan terutama generasi Z serta setelahnya mungkin akan mengalami.
Sebenarnya, konflik besar ”disumbangkan” perubahan iklim telah terjadi.
Sebenarnya, konflik besar ”disumbangkan” perubahan iklim telah terjadi. Sebuah studi memperlihatkan, Suriah menderita kekeringan terburuk sepanjang 2007 hingga 2010. Gagal panen dan ternak mati membuat 1,5 juta orang eksodus ke kota. Kejutan penambahan populasi besar membuat krisis hebat air dan pangan. Persoalan perut memperburuk ketidakpuasan sosial-politik. Dengan bergidik dunia menyaksikan, perang saudara kejam membuat negara berperadaban tua remuk.
Celakanya, sebuah riset memperlihatkan bahwa Indonesia termasuk lima negara paling terdampak perubahan iklim. Kekeringan dan banjir ekstrem akan berpengaruh pada produktivitas dan ketersediaan pangan. Seringnya bencana berimplikasi pada persepsi keselamatan sehingga memengaruhi citra pariwisata yang mulai menjadi andalan.
Menyaksikan skenario begitu suram, lalu apa yang mesti dilakukan. Pertanyaan merisaukan dan setengah putus asa, apakah masih ada jalan keluar bagi Indonesia? Agaknya, tidak perlu pesimistis. Bahkan sebaliknya, tantangan hebat ini justru menjadi peluang besar.
Perubahan iklim telah menjadi isu bersama dunia. Kerisauan keberlanjutan bumi makin menyatukan manusia dan ini pertama kalinya dalam sejarah. Kegagalan mengatasi perubahan iklim adalah megakrisis kemanusiaan berskala global. Isu lingkungan yang dulu hanya diteriakkan aktivis kini menjadi perhatian investor. Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) yang merupakan aliansi 295 institusi keuangan dunia dan mengelola Rp 1.820 kuadriliun aset berkomitmen mendorong net zero emission.
Indonesia adalah satu dari 10 negara terbesar pencemar emisi dengan sektor energi dan transportasi menjadi beberapa kontributor utama. Mayoritas energi listrik bersumber batubara dan transportasi berbahan bakar fosil. Tantangan terbesar pengembangan listrik energi terbarukan adalah dari sisi permintaan (demand side). Pulau Jawa telah mengalami oversupply listrik. Namun, konsumsi listrik per kapita Indonesia sebenarnya masih sekitar 1.100 kWh. Sebagai perbandingan, konsumsi Malaysia lebih dari empat kali lipat.
Disrupsi permintaan listrik perlu dilakukan di sektor rumah tangga dengan mengubah kompor elpiji menjadi kompor listrik. Defisit perdagangan sekitar Rp 60 triliun per tahun juga terjadi akibat impor elpiji, lalu pemerintah memberikan subsidi Rp 50 triliun per tahun untuk rakyat miskin. Di lapangan sangat mudah disaksikan subsidi ”elpiji melon” meleset sasaran, siapa pun bisa membeli entah kaya atau miskin.
Indonesia pernah mendisrupsi kebiasaan penggunaan minyak tanah menjadi elpiji, kini saatnya ditransformasikan menggunakan listrik seperti negara maju. Kompor listrik, di samping lebih bersih dan rendah emisi, juga lebih murah daripada elpiji. Kompor listrik (induksi) perlu mendapat insentif agar terjangkau, lalu subsidi elpiji diubah menjadi subsidi listrik yang lebih tepat sasaran sekaligus dengan peningkatan daya. Melalui hal ini, kue ekonomi listrik berpotensi bertambah setidaknya Rp 60 triliun sekaligus mengurangi defisit perdagangan.
Kompas
Supriyanto
Kendaraan listrik adalah potensi lain konsumsi listrik. Pengembangan kendaraan listrik lambat, salah satunya karena keterbatasan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). Untuk mengatasi ini, caranya tidak sulit. Pemerintah hanya perlu mengeluarkan regulasi pada pengelola lahan parkir lebih dari 50 mobil, hotel minimal bintang empat, dan pusat perbelanjaan wajib memiliki fasilitas fast charging. Beberapa hotel dan mal sebenarnya sudah memiliki, untuk menaikkan reputasi dan pendapatan. Melalui regulasi itu, belasan ribu ”SPKLU” tiba-tiba tersedia dan bahkan melampaui jumlah SPBU.
Transisi melalui mobil hybrid (HEV) tak perlu menjadi pilihan. Mobil hybrid bagaikan kendaraan yang menggotong generator listrik berbahan bakar fosil secara permanen. Kapasitas baterai mobil listrik sudah memadai untuk aktivitas sehari-hari. Apabila sesekali keluar kota dan masih khawatir kehabisan listrik, bisa membawa genset portable silent terjangkau seharga Rp 6 jutaan. Genset listrik sebesar koper kecil itu, selain untuk charging, juga berguna mengatasi padam listrik rumah atau aktivitas outdoor.
Tantangan lain mobil listrik adalah harga di atas Rp 600 juta. Apabila sebegitu mahal, mobil listrik sulit berkembang. Sebenarnya di dunia, kompetisi mobil listrik mulai ketat dan makin banyak pilihan terjangkau. Bahkan, kini mobil listrik berjenis sport utility vehicle (SUV) dengan jangkauan lebih dari 400 kilometer dan harga sekitar Rp 300 juta mulai dipasarkan di China, Australia, dan Eropa. Ini sekaligus menggugurkan mitos, mobil listrik mahal.
Insentif mobil listrik perlu diberikan bukan hanya berupa pajak barang mewah, melainkan juga pada bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penghasilan. Insentif dikurangi ketika pasar dan ekosistem kendaraan listrik telah kondusif sehingga produksi dalam negeri berkembang. Segmen pasar gemuk dan harga terjangkau segera membuat mobil listrik menjadi pemandangan sehari-hari di Indonesia.
Apabila kompor listrik dan kendaraan listrik memasyarakat, konsumsi listrik per kapita bisa meningkat minimal 50 persen dalam lima tahun dan terus meningkat. Implikasinya, kebutuhan produksi listrik melonjak dengan nilai ekonomi sekitar Rp 150 triliun per tahun. Mengingat pembangunan pembangkit listrik batubara baru dihentikan, inilah kesempatan berkembangnya listrik energi terbarukan.
Listrik energi terbarukan, selain pemasangannya cepat, juga makin murah, terutama tenaga surya.
Listrik energi terbarukan, selain pemasangannya cepat, juga makin murah, terutama tenaga surya. Untuk penyimpanan, keandalan, dan stabilisasi listrik perlu dibangun battery storage power station oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ini sekaligus mendukung industri dalam negeri karena Indonesia segera menjadi produsen baterai listrik sehingga baterai tidak perlu diimpor.
Secara umum, kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan tidak sebesar tenaga batubara. Ini justru bagus karena kue ekonomi terdistribusi dan Indonesia bisa menjadi ”kebun energi terbarukan” dari pemain besar, kecil, dan bahkan skala rumah tangga. Green jobs akan tercipta bagi sekitar 1 juta orang dalam jangka pendek dan 3 juta orang dalam jangka menengah, tergantung kecepatan transisi.
Apabila tahun 2030 transisi energi terbarukan berjalan lancar, kue ekonomi listrik terbarukan sekitar Rp 600 triliun akan terbagi luas. Demokratisasi energi ini mendorong demokratisasi ekonomi pula. Indonesia juga akan lebih bersih, rendah emisi, dan sekaligus mengatasi defisit perdagangan lebih dari Rp 300 triliun per tahun untuk minyak dan elpiji.
Kompas
Setyo Budiantoro
Ini adalah peluang sekali seumur hidup. Kini saatnya pemerintah total football determinatif dari segi kebijakan, insentif, dan anggaran untuk mengembangkan berbagai potensi energi terbarukan, termasuk dalam applied research. Karena perubahan iklim tetap menjadi fokus utama dan membutuhkan global collective action, presidensi Indonesia dalam G-20 tahun 2022 perlu memperlihatkan gestur leading by example. Inilah kesempatan Indonesia menunjukkan kapasitas global leadership by action, sekaligus membuka kerja sama konkret pengembangan energi terbarukan, kendaraan dan baterai listrik, yang menjadi kunci negeri ini maju.